Jumat, 31 Agustus 2012

riwayat Y.M Bante Jinadhammo Maha Tera


PERJALANAN SOSOK PENGABDI BUDDHA DHAMMA DI BUMI ANDALAS 
Riwayat Y.M. Jinadhammo Maha Thera Terlahir di desa Gempok Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada tanggal 3 September 1944 dari pasangan Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem. Suatu proses kelahiran yang biasa saja, tidak ada yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak pernah menyangka kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal menjadi seorang anggota Sanghayang cukup dihormati di Indonesia khususnya di Rayon I Sumatera Utara.

Bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Sunardi, tumbuh menjadi seorang bocah. Masa kecil Sunardi boleh dibilang tak terlalu dinikmatinya, maklum selain keadaannya sendiri yang sering sakit-sakitan, situasi pada saat itu juga tidak memungkinkan. Walaupun Indonesia telah merdeka tapi sekutu masih menguasai negara kita, suasana perang membuat Sunardi kecil dan keluarganya harus selalu berpindah-pindah. Kadang ke Timur, kadang ke Barat, Utara dan Selatan yang penting menghindar ke arah berlawanan dari suara senapan. Bukan hanya ketakutan yang dirasakan tapi kelaparan juga kerap kali menghantui warga kampung. Pada waktu itu, makan nasi dengan lauk kacang sudah merupakan suatu yang patut disyukuri dan terasa sangat nikmat. Tapi walaupun keadaan susah di masa perang, Sunardi berhasil menyelesaikan pendidikannnya di Sekolah Rakyat (Sekarang SD. RED). Semasa di Sekolah Rakyat, Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan, ketrampilannya mengukir batu dan batok kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjadi topi dll, setidaknya dapat menghiburnya untuk melupakan suasana perang. Selain mempunyai kelebihan di kerajinan tangan ternyata Sunardi juga senang di bidang olahraga. Olahraga yang dipilih yakni atletik, lompat jauh dan lompat tinggi. Kegiatan sekolah memang menyita waktunya, tapi biarpun begitu sepulang sekolah Sunardi selalu membantu orang tuanya di sawah. Sekali waktu ia menerima upahan dari para tetangga untuk mengembalakan ternak kerbau dan kambing. Dan sambil menunggui gembalaannya merumput, lagi-lagi Sunardi meneruskan kesukaannya yakni mencari batu atau sesuatu yang bisa digunakan untuk diukir.

Waktu terus berlalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat, Sunardi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yakni SMP. Walau terlahir dari keluarga sederhana, tapi Sunardi punya kemauan belajar yang keras. Paruh waktu sepulang sekolah dipakai dengan menjadi tenaga cukur bayaran. Sunardi paling suka mencukur rambut orang. Yang pasti tempat untuk mencukur itu harus dekat dengan warung makanan. Upahnya tak beliin kue, habis.. kenang Beliau sambil tertawa.
Tak heran kalau sampai sekarang keahlian mencukur Bhante masih digunakan. Bhante itu kalau mencukur cepat sekali aku salah seorang anggota pabbaja yang pernah dicukur Bhante yaitu Sdr. Upa. Wan Hui. Dari kecil, Sunardi paling senang bila ada pesta atau keramaian. Karena bila ada keramaian, itu pertanda bakal diadakan pertunjukkan wayang kulit, mengidolakan tokoh Arjuna, tapi tak pernah melewatkan tokoh-tokoh lain. Bagi Sunardi yang penting ada acara Wayang dan ia dengan betah akan menonton acara tersebut hingga mkehidupan.html”title=”" >alam melarut dan walaupun menjelang subuh.
Pada masa remaja Sunardi bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak jauh dari rumahnya. Di candi-candi tersebut banyak sekali gambar relief dan patung yang sangat indah di sepanjang dinding candi. Setelah kesalahan.html”title=”" >melihat semua keindahan yang ada di candi tersebut, sejumlah pertanyaan terasa mengelitik di dada. Siapakah yang membuatnya? Untuk apa bangunan tua itu dan apa manfaatnya ? Pertanyaaan demi pertanyaan senantiasa menimbulkan keinginan untuk mengetahuinya. Mungkin karena karma Sunardi telah berbuah, melalui seorang rekannya dari Bandung ia mendapat kiriman majalah Lembaran Mutiara Minggu (LMM) yang isinya memuat 4 agama besar di Indonesia yakni Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Setelah membaca majalah tersebut barulah Sunardi mengenal apa yang disebut agama Buddha. Akhirnya jawaban dari setiap pertanyaan yang timbul tentang relief-relief dan patung-patung tersebut menggambarkan kebesaran agama Buddha di Indonesia pada zaman dahulu kala yakni zaman Sriwijaya dan Majapahit.
Ternyata Sunardi tidak puas dengan jawaban tersebut, Sunardi terus mempelajari agama Buddha melalui majalah LMM yang selalu dikirim kepadanya. Semakin banyak yang dibaca dan dihayati maka akhirnya Sunardi mengambil kesimpulan bahwa dari ke-4 agama yang ada, agama Buddhalah yang menjadi pilihan keyakinannya. Sunardi merasa Buddha Dharma semakin menarik dan semakin terasa begitu menentramkan, membahagiakan. Satu kesempatan yang membawa langkahnya ke kota Kembang (Bandung), mempertemukan Sunardi dengan Y.A. Maha Anayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera. Dari Beliaulah Sunardi mulai mempelajari paritta-paritta suci dan Dharma. Sejak saat itulah Sunardi lebih aktif mempelajari Buddha Dharma. Berkat kemauan dan ketekunan hati yang kuat terhadap agama Buddha, maka dalam waktu singkat Sunardi telah menguasai paritta-paritta suci dan kemudian Sunardi ditunjuk sebagai pemimpin kebaktian mahasiswa-mahasiswi serta pemuda-pemudi di ViharaVimala Dharma Bandung.
Pada tahun 1962, Sunardi mulai memasuki organisasi agama Buddha di Bandung. Oleh Bhante Ashin, Sunardi ditunjuk mendampingi beliau dalam mengembangkan agama Buddha baik dari pulau Jawa maupun di luar Jawa yaitu di Sumatera.
Setelah satu tahun di Bandung, Sunardi ditugaskan oleh Bhante Ashin untuk mengabdi di Sumatera, Padang dan Pekan Baru. Selah mengabdi selama 3 tahun, Sunardi pun menerima Visudhi Trisarana dan tak lama kemudian dilantik menjadi upasaka di Pekan Baru. Berlatih Vippassana-Bhavana Di bawah bimbingan langsung Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Sunardi beserta puluhan peserta lainnya mengikuti suatu pelatihan Vipassana Bhavana secara intensif. Pelatihan berlangsung dengan disiplin yang ketat dan keras. Ada peserta yang setelah berlatih lebih kurang 2 minggu mengalami kejadian lucu dan unik. Ketika mendengar ada suara penjual ice cream lewat di depan vihara, tiba-tiba saja ia berlari ke depan vihara. Ia membeli ice cream kemudian sambil bernyanyi-nyanyi dan menari, ia mengajak peserta pelatihan untuk menikmati ice cream juga. Tentu saja ia dianggap gagal dalam pelatihan.
Sunardi sendiri punya pengalaman yang sangat berkesan dalam pelatihan tersebut. Ia sehari-harinya pembersih dan paling tidak suka melihat tempat yang kotor dan tidak dibersihkan. Dalam pelatihan ini, ia terusik dengan keberadaan sarang laba-laba di tempatnya berlatih. Seperti biasanya, ia segera tergerak untuk membersihkan sabut. Tetapi belum sempat kejadian, tiba-tiba suara Bhikkhu Ashin telah menggeledek: Pergunakan waktumu sebaik-baiknya, goblok… Bentakan itu meninggalkan kesan yang kuat bagi Sunardi. Dan ternyata, setelah pelatihan berakhir, hanya Sunardi bersama 4 orang lainnya yang dinyatakan lulus di antara sekian puluh orang peserta.
Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang patut dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela. (Dhammapada, 1996; Atta Vagga:158)
Ketika masih menjadi seorang Upasaka, Sunardi sering mendampingi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita berkeliling Sumatera (Indonesia) sebagai Upataka dan orang yang bisa menjadi Upataka Bhante Ashin pada waktu itu (1960 s/d 1970an) sudah dianggap hebat oleh umat Buddha Indonesia. Pada masa 1960 sampai 1970-an, Bhikkhu Indonesia masih sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari tangan. Tidak heran jika Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai putra Indonesia pertama yang menjadi Bhikkhu sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit sering memberi motivasi kepada murid-murid beliau agar mau menjadi anggota Sangha. Beliau benar-benar serius untuk membangkitkan kembali agama Buddha yang tertidur selama 5 abad.
Sunardi pada waktu menjadi pengikut Bhikkhu Ashin juga sering didesak untuk segera menjadi samanera. Saat itu ia belum bersedia. Dan ini berulang-ulang sampai kurun 6 tahun lamanya. Sunardi masih berkeras hati tidak mau menjadi samanera. Suatu ketika, mungkin karena sudah habis kamus, Bhikkhu Ashin berkata pada pemuda Sunardi: Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto? Mengapa Jenderal Sumantri? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu? Itu karena saya membayar hutang. Demikian pertanyaan yang dilontarkan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang kemudian dijawab oleh beliau sendiri.
Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah Jawa seperti Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha. Dan tekadnya mendapat restu dari orang tua dan saudaranya.
Upasampada Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang Samanera, Bhante Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, “Kamu sebenarnya sudah terpilih menjadi seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk perkembangan Buddha Dhamma. Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi seorang Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera lain, Samanera Dhammasushiyo di Upasampada. Kelima Samanera itu adalah sebagai berikut:
S. Jinasuryabhumi (U.P. Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu : Aggajinamitto). 
S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari 1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.
S.Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20 Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.
S.Dhammasushiyo (Sunardi), lahir Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo.
S.Djumadi, lahir Jumat 19 Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.

Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang mana pentabhishan tersebut dilakukan oleh :
1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa sekarang Sangha Raja. 
2.Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \ Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta). 
3.Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma Sobhana) 
4.Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris) 
5.Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia) 
6.Upa. Saksi (Ven. Subhato/Indonesia)

Pada saat Sinivijaya dan Jinadhammo meminta upasampada sesaat langit seakan berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan. Dan akhirnya upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekitar pukul 04.52 sore.
Belajar ke Wat Bovoranives Vihara
Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris (hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu Jinadhammo) kemudian berangkat ke Negara Gajah Putih, Muangthai. Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan guru-guru beliau.
Bhante Jin mengkhususkan pada pelajaran Vinaya. Selain itu juga berlatih meditasi pada guru meditasi yang mumpuni(ahli). Setelah hampir 2 tahun belajar di Bangkok, baru Bhante Jin berani mengunjungi tempat berlatih meditasi yang terkenal keras. Bhante Jin pergi ke daerah Udon thani, sebelah Timur Laut dari kota Bangkok. Beliau mendatangi Wat Patibat (tempat praktek meditasi) yang dipimpin oleh Ajahn Boowa, seorang Master Meditasi yang terkenal.Wat Ban Tad (Dibaca menurut lidah orang Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini merupakan salah satu pusat meditasi yang sangat terkenal di Muangthai selain Wat Ba Phong tempat Ajahn Chah. Bhante Jin pernah 2 kali retreat di Wat Ban Tad. Ajahn Boowa adalah seorang master meditasi yang terkenal memiliki kemampuan abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini Ajahn Boowa melakukan gerakan Rakyat Menyelamatkan Negara. Beliau berkampanye mengumpulkan sumbangan dari rakyat untuk disumbangkan kepada negara yang sedang mengalami krisis ekonomi yang berat seperti negara Indonesia. Dan rakyat Thai berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn Boowa. Sudah milyaran dolar Amerika (dalam bentuk uang dan emas batangan) yang diserahkan Ajahn Boowa kepada pemerintah. Sewaktu belajar di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air hujan (mungkin itu sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada saat itu, Vihara di Muangthai belum memiliki air ledeng dari PAM (Perusahaan Air Minum)
Ketika tinggal di vihara hutan, juga mengalami bagaimana sederhananya kehidupan para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali sudah keluar untuk Pindapatta (menerima dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah daging kodok rebus atau ulat kelapa (orang Jawa bilang : Gendon)
Bhikkhu Theravada dalam Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan umat termasuk daging (yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang Bhikkhu hanya menerima makanan dari daging apabila : 
1. Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut. 
2. Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya. 
3. Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk dirinya.

Kembali ke Indonesia Setelah 3 tahun belajar di kerajaan Muangthai, Bhante Jin dipanggil pulang ke Indonesia oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita (Sukong). Bhante Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia.
Sewaktu baru pulang ke Indonesia, Bhante Jin pernah diajak seorang umat Buddha dari Tulung Agung, Jawa Timur ke Gunung Willis. Orang tersebut dipanggil Om Yan oleh Bhante Jin. Ia mempunyai tanah perkebunan di lereng Gunung Willis. Bhante Jin diajak menginap di kebunnya Om Yan tersebut. Tinggal di pondok sendirian. Malam tidak ada lampu. Gelap gulita. Suara satwa malam pun mendirikan bulu roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke dalam gubuk Bhante Jin. Bhante Jin belum tidur waktu itu. Ada apa Om Yan? Tengah malam kok ngintip-ngintip? tegur Bhante Jin tiba-tiba. Om Yan ketawa terbahak-bahak.
Saya cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di gubuk.

Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin tinggal di sebuah vihara yang dikelolanya di daerah Tulung Agung. Bhante Jin diberi sebuah kamar aneh untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata. Banyak batu-batu persegi dan bulat yang timbul di atas permukaannya. Bhante Jin menginap di kamar tersebut beberapa malam dengan tenang.
Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya. Apakah Bhante merasa tenang tinggal di vihara ini ? tanya Om Yan. Tenang. Tenang sekali. Jawab Bhante Jin. Bhante bisa tidur nyenyak ? tanya Om Yan dengan mimik wajah yang ganjil. Oh … bisa… bisa. Jawab Bhante Jin. Kenapa rupanya tanya Bhante Jin kembali. Ah, tidak ada apa-apa koq. Cuma nanya saja. Jawab Om Yan senyum-senyum mencurigakan. Di vihara tersebut memang suasananya sangat sepi dan sunyi di hari biasa. Kecuali pada hari kebaktian umum. Jika malam hari, suasananya benar-benar senyap.
Bhante Jin tinggal di vihara tersebut dengan seorang penjaga vihara yang rada-rada aneh. Tetap penjaga vihara tersebut tidak pernah mau jika diajak tidur di kamar berlantai aneh tempat Bhante Jin. Saya tak berani tidur di situ. Katanya polos. Kenapa rupanya ? Kamarnya kan luas. Kata Bhante Jin. Penjaga vihara tersebut diam saja. Tidak berani berbicara. Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk menjemput Bhante Jin. Om Yan bertanya tentang kesehatan Bhante. Apa Bhante sehat-sehat saja ? tanya Om Yan sambil tersenyum. Sehat jawab Bhante Jin singkat. Selama tidur di kamar tersebut apa ada kejadian aneh ? tanya Om Yan dengan nada menyelidiki. Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa saja koq. Wah ! Bhante ini hebat ya. Biasanya enggak ada yang berani tidur di kamar itu. Lho, ada apa dengan kamar itu ? Apa Bhante belum tahu ? Di situ kan ada batu-batu menonjol di lantai. Bhante tahu batu apa itu ? tanya Om Yan serius. Wah, mana saya tahu. Saya hanya heran untuk apa batu-batu itu dibuat? Begini Bhante, tapi ini sebenarnya rahasia. Kamar itu sebenarnya lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya. Jawab Om Yan. Oh ! Begitu rupanya. Kok saya tidak diberitahu dulu ? Ha… ha … ha… Itu kan untuk menguji Bhante. Jadi, ya, tidak diberitahu. Jawab Om Yan gembira.
Bertugas Di Sumatera
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pimpinan Sangha kemudian menugaskan Bhante Jin ke Sumatera. Daerah pembinaan Bhante Jin meliputi Sumatera Utara, Riau, Aceh dan Padang. Bhante Jin menetap di Vihara Borobudur, Medan.
Pada saat itu (1970-an) masih sedikit sekali vihara dan cetiya. Seiring perjalanan waktu dan pengabdian Bhante Jin, di daerah-daerah pun mulai berdiri vihara-vihara dan cetiya. Semangat umat Buddha kian hari kian menggelora. Sekolah-sekolah pun mulai meminta tenaga guru agama Buddha.
Bhante Jin sering diminta oleh daerah-daerah untuk mengirimkan tenaga pengajar Agama Buddha, baik untuk sekolah maupun vihara. Bhante Jin kemudian bersama-sama dengan Bapak Giriputra berusaha mendatangkan tenaga-tenaga pengajar Agama Buddha dari Pulau Jawa.
Guru-guru Agama Buddha yang datang dari Pulau Jawa kemudian dikirim bertugas ke daerah-daerah. Dan mereka-mereka ini diangkat sebagai upasaka pandita oleh Bhante Jin agar dapat memberikan pelayanan kepada umat mewakili Sangha. Tersebutlah Romo Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yang berjasa merintis pendirian Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat, Romo Pandita Kumala di Kisaran, Pak Dharmanto di Kota Medan, dan lain-lain.
Pabbajja-Samanera
Pada masa awal Bhante Jinadhammo tinggal di Vihara Borobudur Medan, beliau sering harus masak sendiri. Waktu itu belum ada yang bantu masak di vihara. Vihara Borobudur sendiri di awal 1970-an masihlah sangat sederhana. Dapurnya masih berdinding triplek dan beratap rumbia. Tidak setiap hari umat memasak untuk Bhante. Kadang Bhante Jinadhammo hanya makan mie instant. Bhante Jinadhammo Maha Thera tinggal di vihara bersama Bapak Wirawan Giriputra dan Bapak Otong Hirawan. Mereka dikenal sebagai Tiga Serangkai yang saling bahu-membahu memajukan agama Buddha di Medan dan daerah-daerah lainnya.
Bhante sering dibonceng pakai sepeda motor saja oleh almarhum Romo Dharmavirya atau Romo Dharmaloka ke vihara-vihara lain, seperti : Vihara Dharma Wijaya Medan, Vihara Buddha Ramsai Deli Tua, dan lain-lain. Hasil latihan di Muangthai maupun kebiasaan hidup sederhana sejak kecil, sangatlah membantu Bhante dalam menjalani pengabdian kepada Buddha-Dhamma dan umat. Bhante Jin adalah Bhikkhu yang sangat mudah dilayani, fleksibel, simpel, dan humoris. Tidak neko-neko. Tetapi ketat terhadap vinaya yang dilatih pada diri sendiri.
Mulai awal 1980-an, sudah ada yang tertarik mengikuti pelatihan Pabbajja-Samanera di bawah bimbingan Beliau. Orang pertama, seorang pilot bernama Diono yang berlatih selama 3 minggu. Selanjutnya Romo Kumala Kusumah, guru agama Buddha di Perguruan Diponegoro Kisaran, berlatih selama 1 bulan. Orang ke-3 mahasiswa UDA Medan yang Drop-out. Yang ke-4, Kassapa dari Riau. Yang ke-5 dan 6, dua putra Romo Surya dari Rantau Prapat. Orang ke-7 dan ke-8, Yap Ik Sen dan Edy dari P.M.B. Dhammacari Medan. Ke-9, Tolip. Ke-10 dan ke-11, Cin Huat (Albert Kumala) dan Sin Kiat (sekarang Bhikkshu Nyana Prabhassa).
Pada tahun 1988 telah diselenggarakan program pabbajja-Samanera massal pertama untuk Rayon I Sangha Agung Indonesia, diselenggarakan di Vihara Avalokitesvara yang berada di tepi laut Teluk Tapian Nauli Sibolga. Angkatan I ini diikuti oleh 38 peserta. Angkatan II tahun 1989, di tempat yang sama, diikuti 37 orang peserta dari Sangha Agung Indonesia Rayon I, Rayon II, dan Rayon XII (seluruh Sumatera). Dan Angkatan III tahun 1990, di tempat yang sama, diikuti oleh 108 orang peserta dari seluruh Indonesia.
Program Pabbajja-Samanera massal ini telah berlanjut setiap tahun secara rutin. Semua itu berkat inisiatif Romo U.P. Padmajaya Ombun Natio dan Romo Pandita W.Giriputra.
Dalam setiap penyelenggaraan Program Pabbajja-Samanera tersebut, juga diikuti oleh peserta wanita yang menjalankan Atthangika-Sila dan berjubah putih. Dan yang menjadi Uppajjhaya (Guru pentahbis) dalam setiap angkatan adalah Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Dari setiap penyelenggaraan Program Pabbajja-Samanera massal (nasional) tersebut, selalu ada peserta yang tidak lepas jubah. Beberapa orang tetap menjadi samanera di bawah bimbingan Bhante. Beberapa tahun terakhir ini beberapa samanera tersebut dikirim Bhante untuk belajar ke Muangthai. Mereka di Upasampada menjadi Bhikkhu di Vihara Wat Bovoranives.
Tampaknya benih yang ditanam Bhante Jinadhammo Maha Thera mulai berbuah sekarang. Jatah lima belas kepala Bagi peserta Pabbajja-Samanera yang sempat dicukur oleh Bhante Jinadhammo, tentu memiliki kesan yang tak dapat dilupakan. Bhante Jinadhammo benar-benar terampil dan ahli di dalam mencukur botak kepala calon Samanera maupun Bhikkhu. Crak ! Crok ! Craaak !! Croook!!!… demikian suara yang ditimbulkan pisau cukur yang digunakan Bhante di kepala yang sedang dibotak licinkan. Orang yang sedang dicukur bisa kembali mendengarnya. Serasa kulit kepala ikut terkelupas. Tetapi herannya tidak terasa sakit, hanya agak aneh. Namun sepanjang pencukuran yang berlangsung cepat sekali. Craak! Crook! Crak! Crok!, jantung ini terasa ketar-ketir dan empot-empotan.
Tak banyak orang tahu bahwa Bhante Jinadhammo Maha Thera mempunyai reputasi tersendiri di dalam mencukur botak-licin kepala Bhikkhu dan Samanera. Beliau bahkan sempat dipuji oleh seniornya dari Inggris yang terkenal, Bhikkhu Khantipalo, yang bertugas mengawasi Bhikkhu-Bhikkhu Internasional di Wat Bovoranives, Bangkok, Muangthai. Jinadhammo, kamu lebih hebat dari saya meskipun saya lebih senior. Kamu bisa mencukur rambut sendiri, sedangkan saya harus dibantu orang lain, kata Bhikkhu Khantipalo suatu kali. Itu terjadi setelah telinga beliau tercukur pisau ketika ia mencoba bercukur sendiri. Telinganya mengeluarkan banyak darah. Untung saja tidak sampai dijahit dokter. Lho, Bhante kan sudah berlatih vippassana. Kalau hati-hati tentu bisa mencukur sendiri, jawab Bhante Jinadhammo.
Karena memiliki keahlian mencukur rambut, maka Bhante Jinadhammo kemudian dipercaya untuk mencukur rambut 15 orang Bhikkhu dan Samanera setiap bulannya. Jadi setiap bulan menjelang hari Uposattha, bulan purnama, Bhante Jinadhammo diberi jatah mencukur botak 15 kepala Bhikkhu dan Samanera yang tinggal di Wat Bovoranives.
Pekan Penghayatan Dharma
Setelah diselenggarakan program Pabbajja-Samanera massal, yang biasanya dilaksanakan pada bulan Juni-Juli ketika liburan sekolah, kegiatan pelatihan lainnya di Rayon I Sangha Agung Indonesia (Sumut, Riau, Aceh, Padang) mulai ikut terdorong. Pada akhir bulan Desember 1990, telah diselenggarakan SADHARSI (Sapta Dharma Ratana Ramsi) Angkatan I di Vihara Buddha Ramsi Delitua, Deli Serdang. Pelatihan berlangsung selama 7 hari diikuti 23 orang peserta, melaksanakan Atthanga-Sila dan berjubah putih. Kegiatan ini dipimpin dan dibimbing oleh Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera dan Bhikkhu Prajna Nyana Nanda (almarhum). Materi pelatihan meliputi : sila, pembacaan Paritta dan Sutra, Dharma Class, dan vippassana-bhavana intensif 3 hari. Pelatihan yang berlangsung sepekan ini kemudian juga diadakan di daerah-daerah lainnya. Bahkan kemudian ada pelatihan yang berlangsung 3 hari dan satu hari dengan memanfaatkan hari-hari libur nasional, seperti yang dilakukan oleh PMV Dharma Wijaya Medan dengan bimbingan Bhikkhu Kampiro.
Program Latih Diri Vippassana Bhavana
Pada akhir Desember 1996, Bhante Jinadhammo membimbing pelatihan Vippassana-Bhavana intensif selama 7 hari di Hutan Kebon Sawit milik Pak Husin, Rantau Prapat-Labuhan Batu, Sumut. Lokasi tempat berlatih cukup terisolir. Medannya cukup menggetarkan nyali orang kota yang jarang turun ke desa, kebun, dan hutan. Apalagi bagi yang sama sekali belum pernah turun ke desa/hutan. Tanggung jawab guru pembimbing sungguh berat dalam pelatihan ini. Lokasi pelatihan berada di tengah-tengah alam kebun sawit yang berdampingan dengan hutan. Peserta yang pria dan wanita semua tidur dalam pondok masing-masing, menjalankan Atthanga Sila, makan satu kali sehari. Tidak boleh berbicara, mengurangi tidur. Mengembangkan kesadaran terhadap segala fenomena yang timbul dan tenggelam. Peserta diberi kesempatan bertanya pada waktu sore hari kepada pembimbing jika ada hambatan yang tidak dapat diatasi. Malam hari di lokasi diberi penerangan dengan lampu badai (lampu kapal). Suara satwa hutan siang dan malam terus menerus memainkan orkestra alam, nyanyian alam itu bisa terdengar seperti suara pembacaan sutra (nien cing; liam keng).
Sebagai pembimbing, Bhante Jinadhammo siang malam mengawasi dan menjaga semua peserta dari gangguan-ganggguan yang tidak diharapkan. Beliau bahkan sempat tidak tidur. Pada Vippassana-Bhavana Angkatan I masih banyak peserta yang belum mampu melaksanakan latihan secara baik. Dan banyak gangguan yang dialami. Namun sekitar 30 orang peserta latihan semuanya sehat selamat sampai akhir pelatihan. Bhante Jin sendiri berkata, Semua peserta bisa keluar dengan selamat, sudah boleh dikatakan sukses pelatihan ini. Pelatihan Angkatan II diselenggarakan di Kebun Sawit Pak Kasim di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Jumlah peserta juga berkisar 30 orang. Jika peserta angkatan I umumnya dari medan dan Rantau Prapat, angkatan II pesertanya meliputi wilayah Sumatera Utara. Pada angkatan II mulai nampak peningkatan kesungguhan berlatih peserta dan lebih tertib. Tampaknya gangguan yang ada relatif sedikit dibandingkan dengan pada angkatan I. Hanya faktor cuaca yang dingin di malam hari terutama dini hari, sedang siangnya panas menyengat sebab pohon sawit yang ada masih setinggi lebih kurang satu meter. Peserta sebagian besar tidur dalam tenda, sebagian kecil dalam pondok. Selesai latihan, peserta dibawa berziarah ke Candi Bahal Portibi, Gunung Tua. Setelah pelatihan Angkatan II, tercetus ide untuk mendirikan vipassana centre, yang kelak diharapkan dapat menjadi tempat berlatih yang lebih baik dalam program Vipassana Bhavana yang akan datang. Pembangunan Vipassan Bhavana Centre di Sibolangit ini sedang dilaksanakan dan Bhante Jinadhammo diangkat sebagai penasehat Panitia Pembangunan Vippassana Centre tersebut.
Pada pelatihan angkatan III, kembali diselenggarakan di Hutan Kebun Sawit Pak Husin, Rantau Prapat. Kali ini partisipasi pengurus Vihara Buddha Jayanthi dan umat cukup membanggakan seperti di Vihara Avalokithesvara Padang Sidempuan (Angkatan II). Pesertanya pun lebih banyak (+ 50 orang) dan lebih beragam : pemuda orang dewasa, termasuk pula ibu-ibu wanita buddhis. Angkatan III berlangsung lebih sukses lagi. Pada hari terakhir pelatihan, Bhante Jinadhammo mentabhiskan Saudara Gunung menjadi Samanera Giri Vicaya. Suasana yang menggembirakan dan sekaligus mengharukan. Setelah pelatihan angkatan III, Bhante Jinadhammo atas nama Sangha telah mendapat sumbangan tanah di atas perbukitan Pulau Moro Riau. Maksud sumbangan tersebut adalah untuk tempat latihan Vippassana Bhavana. Dan atas permohonan umat yang mensponsori kegiatan Pelatihan Vippassana-Bhavana, maka telah disusun rencana pelatihan Angkatan IV tahun 1999 di Padang Sidempuan, Angkatan V di Vippassana Centre Sibolangit (2000), dan Angkatan VI di Pulau Moro Riau (2001). Pengalaman peserta selama latihan sungguh beraneka-ragam. Dan gangguan-gangguan selama latihan di alam terbuka memang cukup banyak dirasakan para peserta. Tetapi semua itu masih dapat dikendalikan di bawah pengawasan Bhante Jinadhammo Maha Thera. Para peserta memperhatikan bahwa selama 7 hari pelatihan berlangsung, Bhante Jin barangkali tidak sempat tidur. Beliau siang malam mengawasi dan membimbing serta melindungi para peserta. Sungguh besar dan berat tanggung jawab guru pembimbing meditasi di alam terbuka dan pinggiran hutan.
Mengangkat Sumpah Sarjana Kedokteran dan Pegawai Negeri Bertahun-tahun Bhante Jin selalu diminta oleh Universitas Sumatera Utara untuk mengangkat Sumpah bagi Sarjana Kedokteran U.S.U yang beragama Buddha. Demikian pula di Universitas Methodist Medan. Sudah tidak terhitung lagi berapa orang banyaknya. Setiap pengangkatan pegawai negeri yang beragama Buddha, Bhante Jinadhammo Maha Thera juga yang diminta oleh pemerintahan daerah Wilayah Sumut dan Medan Kota. Demi Sanghyang Adi Buddha, saya bersumpah ……, demikianlah selalu diucapkan oleh yang bersangkutan, seperti juga pada waktu acara pelantikan Bimas Buddha Tingkat I Sumut, Bapak Drs. Arifin Anwar (1994).
Memberikan Bimbingan dan Bantuan Spiritual
Kehidupan di kota besar seperti Medan, kota terbesar ke-3 di Indonesia, kian hari kian kompleks, sumpek, dan menimbulkan ketegangan jiwa bagi para penghuninya, termasuk juga umat Buddha. Almarhum Bhikkhu Prajna Nyana Nanda (murid Bhante Jin) sering nyeletuk pada masa hidupnya, Umat Buddha biasanya kalau sudah ada masalah baru mau datang ke Vihara. Ini bisa kita buktikan jika mau nongkrong di Vihara Borobudur Medan untuk beberapa waktu. Banyak sekali umat yang datang ke vihara menjumpai Bhante Jin. Mereka membawa beban batin dan masalahnya masing-masing. Mulai dari broken heart sampai yang kena PHK, dari yang broken home sampai stres berat karena uangnya dilarikan bisnis MLM Penggandaan Uang yang menghebohkan, dari korban penjarahan hingga pengungsi Aceh yang lari diancam bunuh oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Komplitlah segala macam Dukkha bisa disaksikan. Ramai. Tua dan muda, pria dan wanita, semua ada. Mereka datang mohon konsultasi dengan Bhante Jin. Ada yang minta berkah. Ada yang minta air aqua. Ada yang sekedar mengharap penghiburan. Ada yang minta dorongan. Ada yang mencari ketenangan batin. Ada yang minta perlindungan. Ada yang minta rekomendasi alias Katabelece. Bahkan yang minta duit juga banyak, apakah orang yang susah betulan, orang susah karena malas (tipu-tipuan), atau OKP serta preman Medan.
Orang yang serius datang mencari Dhamma yang langka ada beberapa kasus, orang tertentu yang berlatih meditasi tanpa guru dan mendapat gangguan psiko-fisik : kundalininya teraktifkan, cakra tertentu terlalu aktif, gangguan dari luar (makhluk halus), mereka datang ke Bhante Jin dan mendapat bantuan yang praktis atau nasehat yang sederhana tetapi jitu langsung ke akar persoalan. Terkadang Bhante Jin suka memberi petunjuk secara tidak langsung meskipun yang bersangkutan tidak mengutarakan permasalahannya. Bagi yang waspada dan tahu maksudnya, beruntung. Bagi yang belum tahu cara komunikasi khusus ini, biasanya bengong alias tidak tahu ujung dan pangkal. Bhante Jin juga sering memberi teguran dan peringatan kepada muridnya maupun umat dengan gaya bahasa Marah Anak Sindir Menantu. Maksunya, menegur si A tetapi tujuannya adalah memarahi/memperingatkan si B ataskesalahan dan kekeliruannya. Efeknya, si A bisa-bisa kebingungan dan berpikir, Apa yang terjadi … ya ? Namun si B pastilah merasa, seperti bunyi pepatah, siapa makan cabai pasti merasakan pedasnya.
Sokongan Bhante di Bidang Pendidikan Agama Buddha
Bhante Jinadhammo juga punya perhatian yang besar untuk kemajuan sarana pendidikan Buddhis di tanah air. Ketika Institut Ilmu Agama Buddha Samaratungga berdiri di Ampel Boyolali Jawa Tengah, Bhante Jin menyumbangkan beberapa unit perangkat komputer untuk fasilitas mahasiswa dan institut. Juga buku-buku ensiklopedi dan buku pintar lainnya. Ketika Institut Ilmu Agama Buddha Samaratungga Cabang Medan didirikan, Bhante Jin menjadi penasehat yayasan sekaligus dosen. Dan sejak 1993 hinggal 1996, Bhante Jin mengasuh mata kuliah Vinaya Pitaka. Mahasiswa Bhante Jin di IIAB Samaratungga Medan pada mulanya agak bingung menerima mata kuliah Vinaya yang diasuh Bhante. Sebab gaya ceramah Bhante Jin memiliki Style tersendiri. Mahasiswa harus ekstra konsentrasi, jika tidak bisa-bisa tidak menangkap alur komunikasi Bhante. Bahkan terkadang suara Bhante Jin menjadi sangat perlahan. Hampir tidak terdengar artikulasi kalimat yang diucapkan. Untungnya ada mahasiswa yang punya kiat tersendiri, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan terarah. Ini mendapat jawaban Bhante yang lebih jelas dan wawasan Bhante menjadi tersalur keluar. Terutama bila membahas kasus-kasus yang berkaitan dengan Vinaya. Mengikuti perkuliahan Bhante Jin, mahasiswa merasa rileks. Bhante Jin biasanya suka bicara humor. Suasana jadi menyegarkan. Ada ungkapan Bhante Jin yang selalu diingat mahasiswa. Jangan memakai kaca pembesar dalam mempelajari vinaya. Maknanya, memandanglah secara proposional terhadap Vinaya, baik dari segi teoritis maupun praktisnya ; dan haru sberlandaskan pada Jalan Tengah ajaran Buddha Gautama. Di Ampel maupun Medan, Bhante Jin mempunyai beberapa anak asuh di IIAB Samaratungga. Setelah mempunyai pekerjaan, anak asuh tersebut dilepaskan agar belajar mandiri, bekerja sambil kuliah. Di Vihara Borobudur Medan sejak awal 1990-an telah pula memiliki Kitab Suci Tripitaka sebanyak 2 set. Satu set berbahasa Pali, satu set lagi berbahasa Inggris. Kitab Suci Tripitaka ini dipesan Bhante Jin dari Muangthai. Sekarang sudah diperbanyak oleh beberapa pihak di Medan. Keberadaan Kitab Suci Tripitaka ini telah pula merangsang berdirinya penerbit Buddhis Pundarika. Dan berguna pula bagi bahan perkuliahan serta penulisan skripsi mahasiswa. IIAB Samaratungga Medan telah menerbitkan 2 Kitab Suci Sutta pitaka, yaitu Ittivutaka dan Udana. Kedua kitab yang diterjemahkan tersebut telah pula menjadi bahan perkuliahan mahasiswa. Kitab-kitab lain sedang dalam proses penerjemahan saat ini. Selain untuk pendidikan Buddhis kalangan sendiri, Bhante Jinadhammo Maha Thera juga sering didatangi oleh para mahasiswa dari IAIN (Institut Agama islam Negeri) Medan. Mahasiswa-mahasiswa itu biasanya dari jurusan Ushuluddin (Perbandingan agama) yang mendapat tugas membuat makalah atau skripsi yang berhubungan dengan agama Buddha. Demikian juga dari mahasiswa Sekolah tinggi Teologi Kristen. Bhante selalu memberikan jawaban-jawaban yang lugas, dan mudah dipahami. Untuk referensi yang diperlukan, biasanya Bhante merekomendasikan mahasiswa tersebut ke IIAB Samaratungga Medan dan Bimas Buddha Departemen Agama Tingkat I Sumut.
VIHARA-VIHARA
Vihara Swastimuni Siang itu udara begitu cerah, burung-burung yang hinggap di atas atap Vihara Swastimuni, bersiul riuh rendah secara serentak memberi semangat pada matahari yang sedang menyirami bumi dengan cahayanya yang penuh kehangatan. Angin berhembus sepoi-sepoi menyamai benih kebahagiaan. Suasana di kota kecil produsen peyek Kisaran itu begitu ceria, lain dari biasanya. Awan putih di atas sana mengintip penuh keheranan, siapa gerangan yang akan datang, mengapa alam tampak begitu berseri ? Tak ingin lama berada dalam kebingungan ia pun bertanya pada ikan yang sedang menari-nari di dalam sungai Silo, sambil sesekali mereka melompat, menghirup udara segar dan menyemplung lagi ke dalam sungai, ikan-ikan itu tak kuasa menyembunyikan suasana hati mereka yang sedang bahagia. Saking asyiknya mereka sampai tak mendengar pertanyaan si Awan Putih. Beberapa saat kemudian dari peraduannya di langit biru Awan melihat ke bawah, ada sebuah mobil yang memasuki kota Kisaran, roda mobil itu terus berputar dan akhirnya berhenti di depan Vihara Swastimuni. Di sana telah banyak umat yang sedang menunggu, mereka tanpa dikomando lagi langsung merangkupkan kedua tangan di dada bersikap anjali. Salah satu dari mereka membukakan pintu mobil tersebut. Dari dalam keluar seseorang yang telah menggetarkan alam dengan kebajikan yang telah ditanamnya. Dengan menyungging senyum di wajahnya yang polos beliau membalas sapaan orang-orang yang menyambut kedatangannya. Diikuti oleh para umat beliau yang terkenal dengan ketaatannya pada Vinaya mengayunkan langkah memasuki Vihara Swastimuni. Di dalam bhaktisala telah tersedia alat-alat kebaktian, umat duduk dengan tenang bersiap-siap mengikuti Kathina Puja yang akan dipimpin oleh Bhikkhu yang sekaligus mewakili Sangha Agung Rayon I itu. Selesai kebaktian Bhikkhu yang sudah akrab di mata umat Buddha ini berkenan memberikan Dhammadesana. Yang Arya memberitakan asal-usul dan makna Hari Kathina. Bhikkhu Jinadhammo bukan hanya pada hari-hari besar saja memberikankhotbah Dhamma, tetapi juga setiap hari bagi mereka yang sedang membutuhkannya, beliau akan menjawab kegelisahan mereka dengan Buddha Dhamma yang didukung oleh pengalaman hidupnya. Begitulah Bhikkhu Jinadhammo yang selalu berusaha menyejukkan di saat kegerahan.
Beliau yang ramah dan disiplin sudah menjadi langganan undangan oleh vihara-vihara yang merayakan hari-hari besar umat Buddha, termasuk juga Vihara Swastimuni di Kisaran. Surat dari Vihara Buddha Warman Padang. Bhante Jinadhammo adalah sosok anggota Sangha yang sudah tidak asing lagi bagi umat Buddha di Vihara Buddha Warman, Padang dan juga umat Buddha di Sumatera Barat. Beliau adalah ibarat Pelita Dharma bagi kami, yang senantiasa menerangi, membina, dan mengayomi kami dalam keadaaan senang dan susah. Beliau adalah Bhikkhu senior yang sangat sederhana dan bersahaja serta sikap beliau yang tenang, penuh cinta kasih, dan kadangkala juga bisa humor. Mungkin kejadian yang akan kami kisahkan ini dapat memberi gambaran betapa kesederhanaan dan bersahajanya beliau. Pada suatu hari Bhante Jinadhammo secara mendadak tanpa kabar terlebih dahulu berkunjung ke Vihara Buddha Warman padahal pada waktu itu vihara tidak ada penghuni, sehingga Bhante terpaksa menunggu cukup lama sampai pintu vihara dibuka. Sewaktu kami tanyakan pada Beliau, Mengapa Bhante datang mendadak dan mengapa Bhante tidak memberi kabar terlebih dahulu ?, sambil tersenyum Beliau balik bertanya, Kalau kami beri kabar terlebih dahulu, apakah mau diadakan upacara penyambutan ? Bukan begitu Bhante, kan kasihan Bhante terpaksa menunggu lama, dan lagi pula kamar kuti belum dipersiapkan. Dengan santai Bhante menjawab, Ah… itu tidak jadi masalah, tidur di mana pun boleh, bahkan di meja pingpong ini pun jadilah, tidak apa-apa kok, di desa-desa juga banyak vihar ayang belum punya kuti, jadi tidurnya ya … di lantai Bhaktisala saja. Keteguhan Beliau menjalankan sila keBhikkhuan adalah cara mengajar dan mendidik umat yang lebih ampuh daripada hanya sekedar khotbah dengan kata-kata. Petunjuk dan nasehat Beliau yang begitu terasa begitu spontan dan kadangkala dianggap lucu serta kurang dimengerti oleh umat, padahal sesungguhnya mengandung makna yang sangat dalam.
Ketika masa-masa sulit dialami oleh Cetiya Buddha Warman sekitar tahun 19760-1978 dimana terjadi kemunduran dalam kegiatan perkembangan agama Buddha di Padang, hanya Bhante Jinadhammo yang masih rutin mengunjungi cetiya kami, dua atau tiga bulan sekali. Ketika kegiatan cetiya mulai bangkit kembali pada tahun 1979 dengan berdirinya Gelanggang Remaja Buddhis Padang (yang sekarang berubah nama menjadi Persaudaraan Muda Mudi Vihara Buddha Warman Padang), Beliau juga sangat berperan dalam memberikan motivasi dan semangat pada generasi muda waktu itu. Tahun 1980 Beliau pulalah yang menaikkan status cetiya kami menjadi Vihara Buddha Warman Padang. Pada bulan Mei 1983, ketika Gelanggang Remaja Buddhis Padang (GRBP) mengadkan Dharmasanti Waisak 2527 di Aula SMA Don Bosko Padang Bhante Jinadhammo berkenan hadir dan menyampaikan Kata Sambutan serta Renungan Waisak 2527. bahkan beberapa kali acara Dharmasanti Waisak yang diadakan di Padang, beliau berkenan menghadirinya.
Beliau juga sangat berperan dalam merintis berdirinya vihara-vihara lain di Propinsi Sumatera Barat, seperti Vihara Buddha Sasana Bukit Tinggi, Vihara Buddha Metta Payakumbuh, dan Vihara Karuna Murti Padang Panjang. Ketika rencana kami untuk memindahkan lokasi Vihara Buddha Warman dari jalan Kelenteng I/3 ke Jalan Muara No. 34 terkatung-katung karena kekurangan dana untuk membeli tanah di lokasi yang baru, Beliaulah yang dengan penuh kharisma memberikan saran dan petunjuk serta nasehat kepada Bapak Wijaya Effendy (alm.), Ketua Yayasan Triratna Padang, sehingga Bapak Wijaya Effendy bersedia meminjamkan uang pribadinya untuk membeli tanah guna membangun gedung vihara yang baru. Dan ketika pembangunan gedung baru Vihara Buddha Warman Padang dimulai, pada tanggal 29 Juli 1988 tepat pada peringatan Hari Suci Asadha2543, beliau bersama-sama dengan Y.A. Sthavira Aryamaitri, Y.A. Bhikshu Nyanamaitri dan seorang Samanera melaksanakan pembacaan doa dan melakukan peletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung baru vihara. Bahkan Bhante juga membantu kami mengumpulkan dana/sumbangan untuk pembangunan gedung baru vihara dari umat Buddha di Medan. Pada pelantikan Pengurus Yayasan Triratna Padang dan sekaligus peringatan HUT ke-30 Yayasan Triratna Padang tanggal 22 Agustus 1996, Beliau dan Bhante Arya Maitri berkenan hadir untuk melantik dan memberkahi serta memberikan semangat dan motivasi pada para pengurus yayasan yang baru. Akhir-akhir ini memang Bhante Jinadhammo tidak punya jadwal rutin lagi untuk berkunjung dan membina umat Buddha di Padang (Sumatera Barat), hanya sekali-sekali Beliau masih menyempatkan waktu untuk berkunjung ke Vihara Buddha Warman Padang dan juga bilamana ada acara-acara penting yang mengharapkan kehadiran Beliau.
Hal ini dapat kami maklumi karena pada kenyataannya masih banyak umat di vihara-vihara lain di Rayon I yang lebih memerlukan sentuhan pembinaan dan asuhan dari Beliau. Apalagi mengingat bahwa usia Beliau juga semakin lanjut, tentu saja Beliau tidak bisa seperti dulu lagi terlalu sering berpergian jauh ke daerah-daerah, lagipula sekarang telah ada para Bhikkhu muda dan Samanera yang Beliau bina untuk membantu meringankan tugas-tugas pembinaan Beliau di Rayon I. Sampai saat ini bilamana ada masalah dan persoalan yang cukup berat harus kami hadapi dan selesaikan, kami selalu menghubungi beliau melalui telepon untuk mendapatkan petunjuk dan saran, serta nasehat dari Beliau yang bijaksana. Dengan sedikit berkurangnya kesibukan Beliau membina umat, diharapkan agar Beliau mempunyai lebih banyak waktu untuk menyendiri guna kemajuan kesucian Beliau sebagai seorang anggota Sangha Agung Indonesia yang senior.
Akhir kata kami para murid dan umat asuhan Bhante di Vihara Buddha Warman Padang senantiasa berdoa semoga Bhante senantiasa sehat dan bahagia dalam berkah dan lindungan Sanghyang Adi Buddha, Sang Triratna serta para Bodhisatva. Kembalinya Buddha Dhamma di Bumi Sriwijaya Boleh dikatakan propinsi Riau merupakan tanah Sriwijaya, karena di sinilah kerajaan Sriwijaya dulu terpusat. Pada masa tersebut agama Buddha tumbuh dengan subur, dan bahkan menjadi salah satu pusat pendidikan Buddhis di dunia. Namun sejalan dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya, agama Buddha juga seolah sirna dari daerah Riau. Sekian lama terpendam, akhirnya agama Buddha muncul kembali di bumi Sriwijaya ini dan kembali menunjukkan kiprahnya. Hal ini ditandai dengan munculnya vihara-vihara di daerah Riau, seperti Vihara Buddha Sakyamuni dan vihara Buddhasasana (Andiva) yang terdapat di Bagansiapiapi, Vihara Dharma Loka di Pekan Baru, dan Vihara Buddha Diepa di Tanjungbalai Karimun. Suburnya tumbuh kembang vihara-vihara di Riau pada masa sekarang ini, tak lepas dari semangat dan usaha seorang pengabdi Dhamma, yakni Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera selaku Ketua Rayon I Sangha Agung Indonesia. Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera ikut serta dalam berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh penduduk setempat, baik dalam acara peltakkan batu pertama pendirian vihara, acara peresmian vihara, pensakralan buddha rupang, maupun kebaktian hari besar Agama Buddha.
Pada tahun 1990 Bhikkhu Jinadhammo bersama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita melakukan upacara pensakralan Buddha Rupang milik Vihara Buddha Diepa (yang pada waktu itu belum berdiri). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1996 Bhante Jinadhammo disertai Samanera Nyana Kirti menghadiri acara peletakkan batu pertama pembangunan Vihara Buddhasasana. Dan pada tahun yang sama pula Bhikkhu Jinadhammo menghadiri acara peresmian Vihara Buddha Diepa di Tanjung Balai Karimun bersama Bhikkhu Aryamaitri, tepatnya pada tanggal 22 Nopember 1996. Berdiri dan berkembangnya Vihara Sakyamuni di Bagansiapiapi juga tak terlepas dari jasa Bhikkhu Jinadhammo. Dari daerah ini pula kemudian menelorkan seorang Bhikkhu muda, yakni Bhiksu Nyana Prajna. Bukan hanya menghadiri acara-acara keagamaan di vihara-vihara namun yang di luar vihara pun juga dihadiri oleh Bhikkhu Jinadhammo. Tanpa memilih tempat, beliau menyebarkan Dhamma. Perhatiannya juga dicurahkan untuk para penduduk transmigran yang berasal dari Kampung Sela, Jawa Tengah, yang sekarang bermukim di daerah pemukiman penduduk transmigran di Kecamatan Kampar di Riau. Dharma Wijaya Medan Seperti rumah ibadah umat Buddha lainnya, Vihara Dharma Wijaya pun disinggahi oleh sang pelanglang buana Y.A. Bhante Jinadhammo Mahathera. Beliau tak hanya singgah, tetapi juga meresmikan renovasi pertama vihara yang terletak di jalan Wahidin tersebut. Selain itu Bhante yang selalu ramah kepada siapa saja ini juga selalu menghadiri perayaan hari-hari besar umat Buddha yang diadakan di vihara tersebut. Di mata muda-mudi pemutar roda organisasi Persaudaraan Muda-Mudi Vihara Dharma Wijaya(PMVDW) sendiri, beliau yang telah menjajaki hampir di setiap jengkal daerah Sumatera Utara, khususnya yang berpenduduk buddhis ini adalah seorang humoris, namun bukan berarti beliau tidak bisa diajak serius.
Genap tiga puluh tahun vassa yang telah dijalaninya, banyak sudah asam garam yang dicicipinya. Suka duka seorang penyambung lidah Sang Buddha pun telah dirasakannya. Tak pelak lagi pengetahuannya di bidang Buddha Dhamma semakin luas. Semua ini terungkap lewat khotbah-khotbah beliau ataupun dalam percakapan sehari-hari dengan umat. Tak jarang kita sebagai umat biasa yang masih jauh tertinggal di bawahnya bila diukur dengan meteran dhamma sulit sekali mencerna kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut beliau. Fenomena seperti ini seharusnya dijadikan sebagai cambuk bagi kita untuk lebih giat lagi menggali khasanah Buddha Dharma. Namun sayang obrolan yang tidak nyambung oleh karena kadangkala pengetahuan yang kita miliki ini sering menimbulkan kejenuhan dalam diri kita sebagai umat biasa untuk melanjutkan obrolan tersebut. Kenyataan tersebut di atas bukan hanya diakui oleh muda-mudi yang berkecimpung di organisasi PMVDW, tetapi juga disadari oleh kita semua sebagai orang yang pernah bersua dengan beliau. Andai saja mau menjadikan pengalaman hidupnya menjadi milik kita, tentu saja banyak yang dapat kita peroleh darinya. Caranya ? Salah satu caranya dengan membaca buku biografi tentang diri beliau yang sedang berada di genggaman kita tentunya.
Vihara Bodhi Mandapa Di daerah Sukaramai, Medan, ada sebuah vihara yang cukup bersemangat dalam pengembangan Dhamma dalam wujud nyata berupa kegiatan sosial. Vihara itu tak lain tak bukan adalah Vihara Bodhi Mandapa yang terletak di Jalan Perguruan yang berdiri pada tanggal 21 Mei 1991. Dalam usianya yang masih cukup muda, Vihara dan Generasi Muda Buddhis Vihara Bodhi Mandapa sudah memiliki prestasi yang cukup dapat dibanggakan. Bagi para pengurus vihara dari Generasi Muda Buddhis Vihara Bodhi Mandapa ini, semangat mereka terpacu berkat kehadiran Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Figur inilah yang selalu membawa kesejukan, keteladanan dan semangat bagi mereka. Kehadiran Bhikkhu Jinadhammo dalam peletakkan batu pertama dan pemberkatan pembangunan vihara, juga memimpin doa syukuran selesainya pembangunan vihara merupakan berkah tersendiri bagi mereka. Apalagi Sang Figur bersedia dan sering memenuhi undangan khotbah dan pemberian Visudhi Tisarana di Vihara Bodhi Mandapa. Buddha Jayanthi Vihara Buddha Jayanthi merupakan salah satu vihara yang terkenal di daerah Rantau Prapat. Vihara Buddha Jayanthi yang terletak di Jalan Gatot Subroto No. 12-14 Rantau Prapat merupakan vihara yang umum dikunjungi oleh Sangha Agung Indonesia Rayon I, khususnya Yang Arya Bhante Jinadhammo Maha Thera.
(Bersambung…) ke Riwayat Hidup Bhikkhu Jinadhammo Mahathera (Bagian 2)

Incoming search terms:

kebutuhan meditasi


4 Alasan Orang Butuh Meditasi


4 Alasan Orang Butuh Meditasi

Vera Farah Bararah – detikHealth

Jakarta, Saat ini belum banyak orang yang mau melakukan meditasi, padahal kegiatan ini bisa memberikan manfaat bagi tubuh dan kesehatan. Ini dia 4 alasan seseorang harus melakukan meditasi.
Meditasi merupakan kegiatan yang memainkan peran pikiran, perasaan, tindakan dan sensasi tubuh secara obyektif serta sudah terbukti bisa meredakan nyeri. Hal ini karena nyeri tidak hanya peran dari sensor peraba, tapi juga emosional, pikiran dan perasaan yang berkecamuk sehingga menimbulkan ketidaknyamanan.

“Karena semua pikiran bergejolak maka akan menimbulkan sensasi yang tidak menyenangkan. Tapi kalau seseorang bermeditasi maka ia dapat fokus sehingga mengurangi penderitaan,” ujar Jon Kabat Zinn, PhD, seorang profesor di University of Massachusetts, seperti dikutip dari Prevention.com, Senin (17/1/2011).

Berikut ini adalah 4 alasan yang membuat seseorang harus melakukan meditasi untuk meningkatkan kesehatannya yaitu:

1. Mengendalikan emosi makan
Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan meditasi bisa mengendalikan emosi seseorang untuk makan secara berlebihan sehingga kehilangan kontrol. Dengan meditasi, emosional makan seseorang berkurang sekitar 4 kali lipat per minggunya.
Teknik yang bisa dilakukan seperti meditasi kismis yang dirancang untuk mengganggu hubungan emosional dengan makanan. Pegang kismis (atau cemilan lainnya) dan periksa seolah-olah belum pernah melihatnya. Perhatikan bagaimana buah tersebut terasa di jari-jari, menghirup aromanya, masukkan kismis ke bibir dan perhatikan bagaimana air liur yang keluar, kunyah secara perlahan sambil dirasakan hingga akhirnya tertelan.

2. Meningkatkan semangat dan imunitas
Meditasi bisa mengurangi kecemasan sebesar 44 persen dan gejala depresi sebesar 34 persen yang secara bersamaan meningkatkan imunitas. Stres dan depresi yang berkurang akan berdampak pada peningkatan semangat.
Cara meditasi yang dilakukan bisa dengan berjalan perlahan-lahan secara bolak-balik atau melingkar di tempat yang tenang. Rentangkan pandangan ke depan dan fokus pada satu aspek. Lakukan hal ini selama 10 menit.

3. Mengurangi rasa sakit
Berdasarkan studi oleh University of Pittsburgh diketahui meditasi dapat membantu orang dewasa mengatasi rasa sakit kronis di pinggang. Dengan melakukan meditasi 4 hari seminggu seseorang bisa memperbaiki fungsi fisiknya, mengurangi rasa sakit yang diderita serta mengurangi asupan obat-obatan.
Cobalah berbaring dengan mata tertutup, lalu fokus pada setiap sensasi yang terasa mulai dari jari kaki kiri, pergelangan kaki, tulang kering, lutut dan paha, ulangi hal yang sama untuk kaki kanan. Selanjutnya pindah ke pinggang, punggung, dada, bahu, kedua lengan, leher, tenggorokan, wajah, bagian belakang kepala dan bagian atas kepala. Lakukan selama 10-20 menit sambil menarik napas secara teratur.

4. Memperkuat hubungan
Studi terbaru dari University of North Carolina-Chapel Hill menemukan bahwa teknik-teknik meditasi bisa meningkatkan hubungan pribadi dengan pasangan. Pasangan yang melakukan meditasi selama 8 minggu merasa jauh lebih puas dengan hubungannya dibanding sebelum meditasi, serta melaporkan berkurangnya kadar stres dalam hubungan. Cobalah melakukan meditasi dengan cara ‘Say Hello’ pada orang lain atau pasangan serta berusaha untuk meningkatkan keintiman.

Sumber :
http://www.detikhealth.com/read/2011/01/17/171629/1548572/766/4-alasan-orang-butuh-meditasi?ld991107763

buddhayana






      
  
  

   



KEHIDUPAN TIDAK PASTI, NAMUN KEMATIAN ITU PASTI
(LIFE IS UNCERTAIN, DEAD IS CERTAIN)

Oleh: Ven. Dr. K. Sri Dhammananda

Sang Buddha bersabda: “Kehidupan tidak pasti, namun kematian itu pasti”. Setelah menyadari dengan jelas bahwa kematian pasti akan datang dan merupakan suatu akhir yang wajar, serta harus dihadapi setiap makhluk maka sebenarnya kita tidak perlu takut akan kematian. Namun, kenyataannya masih banyak diantara kita yang merasa takut menghadapinya. Karena itu kita tidak ingin mengingat-ingat bahwa kematian itu tak terelakkan dan kita ingin terus melekat pada kehidupan tercinta ini.

Lahirnya seorang anak ke dunia membawa kebahagiaan dan kegembiraan bagi seluruh sanak keluarganya. Bahkan, sang ibu merasa sangat puas dan bahagia walau ia harus menanggung penderitaan yang hebat pada saat melahirkan. Ia merasa semua kesulitan dan penderitaan yang dialaminya cukup berharga untuk itu. Namun, sang anak pada waktu kelahirannya di dunia ini juga menunjukkan penderitaan yang turut ditanggungnya dengan menangis.

Kemudian sang anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Ia melakukan berbagai perbuatan baik dan buruk. Dari dewasa kemudian menjadi tua dan akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini dengan meninggalkan sanak keluarga dalam kesedihan yang dalam. Demikianlah alur kehidupan seorang manusia yang senantiasa berusaha membebaskan diri dari perangkap kematian ini, namun tak seorangpun yang mampu mengatasinya. Dengan pikiran yang berputar-putar di sekitar tabungan kekayaan yang telah dikumpulkannya dan terus-menerus mengkhawatirkan anak-anak tersayang yang berkumpul mengelilinginya, serta tidak ketinggalan pula selalu menjaga dan memperhatikan kesehatan tubuhnya.

Akan tetapi walaupun telah dirawat dengan hati-hati dan penuh perhatian, tetap akan kian lapuk dan melemah, yang akhirnya menimbulkan suatu kesedihan harus berpisah dengan tubuhnya tercinta. Hal demikian memang sukar diterima oleh kita, namun tak dapat dihindarkan oleh setiap orang, dan cara yang biasa ditempuh oleh kebanyakan orang dalam meninggalkan dunia ini adalah dengan keluh kesah dan ratap tangis. Kematian yang datang tiba-tiba telah dipandang sangat menakutkan, dan sikap ini timbul karena ketidak-tahuan mereka.

RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN
Manusia merasa terganggu bukan hanya diakibatkan oleh sebab-sebab dari luar, tetapi juga oleh sebab-sebab dari dalam, seperti misalnya pandangan mereka terhadap kematian. Hal ini sebenarnya tidak perlu ditakutkan, karena rasa takut dan ngeri hanya muncul di dalam pikiran kita. Keharusan untuk menerima kenyataan akan penderitaan sering menyakitkan, terutama bagi pikiran yang tidak mampu menghadapinya. Namun, hal ini dapat membantu mengurangi atau menghilangkan perasaan takut dalam menghadapi kematian. Sekali kehidupan dimulai, akan terus berlangsung seperti peluru yang meluncur menuju ke sasarannya, yaitu kematian.
Setelah menyadari hal ini, kita harus berani berhadapan muka dengan kefanaan kita sendiri, dan apabila kita ingin dipandang sebagai manusia yang bebas dalam kehidupan, maka kita harus bebas dari rasa takut terhadap kematian. Kita telah mengetahui bahwa ilmu pengetahuan mengajarkan tentang proses kematian, yakni bahwa kematian hanya merupakan suatu proses pelapukan fisik dari tubuh manusia. Karena itu kita tidak perlu membohongi diri sendiri dengan bayang-bayang atau khayalan-khayalan menyeramkan yang tak pernah terwujud. Seorang dokter termasyur, Sir Williams Oslet mengatakan: “Menurut pengalaman saya yang cukup lama di bidang kedokteran, sebenarnya banyak orang yang meninggal tanpa rasa sakit atau takut.” 

Seorang perawat berpengalaman menceritakan pengalamannya sebagai berikut: “Bagiku selalu tampak sebagai suatu tragedi besar bahwa demikian banyak orang yang sepanjang hidup mereka dihantui ketakutan akan kematian, namun ketika saatnya tiba mereka akan menyadari bahwa kematian sama wajarnya seperti kehidupan itu sendiri dan hanya sedikit orang yang merasa takut pada saat menjelang kematiannya. Sepanjang pengalaman saya, hanya satu orang yang kelihatannya merasa ngeri, yakni seorang wanita yang telah berbuat salah terhadap saudara perempuannya, dan kesalahan itu sudah terlambat untuk diperbaiki kembali. Sesuatu yang indah dan mengherankan terjadi pada mereka yang telah tiba di penghujung jalan kehidupan mereka; semua rasa takut dan kengerian hilang lenyap. Saya seringkali mengamati kebahagiaan yang terpancar dari mata mereka pada saat-saat terakhir kehidupan mereka.

Kemelekatan terhadap kehidupan di dunia telah menciptakan rasa takut yang tidak wajar atas kematian, juga dapat menciptakan orang-orang Hypochordriac, yakni orang yang tidak pernah berani mengambil resiko, bahkan untuk sesuatu yang benar sekalipun. Orang-orang seperti itu hidup dalam ketakutan bahwa sesuatu penyakit atau kecelakaan dapat memutuskan hidup mereka yang begitu berharga dan sangat dicintainya. Dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan, maka orang-orang yang mencintai hidup di dunia ini akan pergi berdoa untuk menyatakan harapan mereka, agar jiwa mereka diterima di surga. Namun, tak seorangpun dapat berbahagia dengan godaan rasa takut dan harapan seperti itu. Akan tetapi nampaknya sukar bagi kita untuk mencela atau tidak mau tahu atas segala perwujudan naluriah untuk keselamatan diri mereka tersebut.

Hanya ada satu cara untuk mengatasi hal tersebut, yakni dengan cara melupakan kepentingan pribadi dan berusaha menolong orang lain disertai pancaran kasih sayang dari dalam diri kita, yaitu dengan mengembangkan pelayanan kemanusiaan dan mencurahkan kasih sayang terhadap semua makhluk. Karena melalui peningkatan pelayanan terhadap orang lain, maka anda akan segera menyadari sendiri bahwa segala harapan dan kemelekatan yang mementingkan diri sendiri, kesombongan dan anggapan hanya diri sendiri benar adalah tidak bermanfaat sama sekali.

PENYAKIT DAN KEMATIAN
Diserang penyakit ataupun kematian merupakan gejala-gejala yang wajar dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kita dan semua itu harus diterima dengan keseimbangan batin. Menurut teori Ilmu Jiwa Modern, tekanan mental yang berat dan hebat disebabkan oleh penolakan kita untuk menghadapi dan menerima kenyataan-kenyataan hidup. Tekanan-tekanan tersebut bila tidak diatasi akan dapat menimbulkan penyakit fisik yang hebat, dan apabila kita membiarkan perasaan cemas dan sedih yang tidak pada tempatnya dalam menghadapi suatu masalah, malah akan dapat
memperburuk keadaan.

Kematian tidak seharusnya ditakuti oleh mereka yang bersih dalam pikiran dan perbuatan. Kita hanya merupakan bagian kehidupan dari alam semesta, oleh karena itu pada hakekatnya tidak ada suatu pribadi individu yang meninggal dunia. Sisa-sisa karma sebagai hasil buruk yang muncul dari perbuatan jahat di masa lampau dapat mengikuti kita pada kelahiran kita yang berikutnya, dan menyebabkan kita harus memikul penderitaan akibat karma pada kehidupan yang lalu.

Kejadian semacam itu dapat dihindari jika kita selalu berusaha mengumpulkan jasa-jasa kebaikan, dengan cara menjalani kehidupan yang baik dan banyak melakukan perbuatan baik di mana saja dan setiap saat bila memungkinkan. Dengan melakukan hal itu kita dapat menghadapi masa depan tanpa rasa takut dan penuh keyakinan. Kita harus berani menghadapi dan menerima kenyataan, sesuai dengan ajaran Sang Buddha bahwa tidak ada “Juru Selamat” yang dapat diserahkan untuk memikul beban kita agar terbebas dari akibat perbuatan jahat yang pernah kita lakukan.

Kita harus kerapkali mengingatkan diri sendiri akan nasihat Sang Buddha: “Jadikanlah dirimu sebagai pulau dan pelindung bagi dirimu sendiri dengan bekerja dan berusaha yang giat”. Umat Buddha tidak seharusnya tenggelam ke dalam ratap tangis dan kesedihan yang hebat dalam menghadapi kematian dari sanak saudara ataupun teman-teman mereka, karena roda kehidupan terus berputar tanpa hentinya. Bila seseorang meninggal dan hasil perbuatannya (karma) menjadikannya suatu makhluk baru, mereka yang ditinggalkan harus menerima kematian tersebut dengan ketenangan, keluhuran budi dan pengertian bahwa kematian hanya merupakan suatu proses yang tak terhindarkan di dunia ini.

Hal ini merupakan sesuatu yang pasti terjadi di alam semesta, dan kita tahu bahwa hutan bisa menjadi kota dan kota dapat menjadi padang pasir, serta gunung dapat berubah menjadi danau.

Ketidak pastian terdapat di mana-mana, namun hanya ada satu hal yang pasti, yakni “kematian” dan semua hal lain hanyalah bersifat sementara. Kita semua mempunyai nenek moyang dan nenek moyang kita pun mempunyai nenek moyang juga, namun di mana mereka kini berada? Mereka telah pergi ke “Gerbang Kematian”.

Janganlah menganggap bahwa pandangan pesimis terhadap kehidupan yang dimunculkan di sini merupakan pandangan yang paling sesuai dengan kenyataan dari semua kenyataan. Untuk apa kita menghindari diri dari kenyataan dan menutup mata kita terhadap suatu kenyataan yang sudah pasti, karena bukankah kematian itu mencakup segala hal? Maka janganlah kita sampai melupakannya. Peranan kematian adalah untuk menyadarkan setiap manusia akan akhir kehidupannya, bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun bantuan teknologi ataupun Ilmu Kedokteran yang dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama, apakah di dalam kubur ataupun menjadi segenggam debu. Haruskah karena hal itu kita kemudian mengenakan kain karung dan meratapi kehidupan yang telah menjadi debu? Tidak! Hal demikian bukanlah merupakan tujuan hidup, bukan pula tujuan dari kematian, karena proses kelahiran dan kematian akan terus berlangsung hingga kita mencapai kesempurnaan batin.

EKSISTENSI PENGARUH MANUSIA

Sang Buddha berkata: “Tubuh manusia dapat berubah menjadi debu, namun pengaruhnya tetap bertahan”. Pengaruh kehidupan yang telah berlalu kadang-kadang dapat menjangkau waktu yang lebih jauh dan lebih potensial bila dibandingkan dengan masa hidup seseorang yang mempunyai batas-batas waktu tertentu. Seringkali kita bertindak berdasarkan ilham dari kepribadian-kepribadian yang pemiliknya telah menjadi debu. Dalam tindak-tanduk kita hasil-hasil pikiran mereka juga memainkan peranan penting. Setiap manusia yang hidup di dunia ini dapat dikatakan merupakan susunan dari semua nenek moyang yang telah mendahului kita. Dengan anggapan semacam ini, maka para pahlawan di masa lampau, para filsuf terkemuka, para pertapa, penyair dan para seniman musik dari keturunan apapun, karya mereka tetap ada bersama kita.

Bila kita menghubung-hubungkan diri sendiri dengan orang-orang suci dan para pemikir di masa lampau kita dapat memperoleh kebijaksanaan hasil pemikiran mereka, ide-ide mulia mereka dan bahkan musik klasik yang abadi. Karena walaupun tubuh mereka sudah lama musnah, namun pengaruh mereka masih tetap hidup hingga kini. “Tubuh” ini bukan merupakan apa-apa selain perwujudan abstrak dari kombinasi unsur-unsur kimia yang terus-menerus berubah. Maka insan manusia yang menyadari bahwa hidup mereka hanya seperti setetes air di sungai yang terus mengalir, akan merasa bahagia bila dapat memberi andil bagi arus besar yang disebut kehidupan.

Insan manusia yang lupa akan kewajaran hidup mereka akan terhempas di dunia ini. Ia meratap, bersedih dan kadang-kadang tersenyum hanyalah untuk menangis kembali. Namun bila ia menyadari akan kewajaran hidup yang sesungguhnya, maka ia akan melepaskan semua benda-benda yang bersifat sementara untuk mencari keabadian, ia harus menghadapi kematian yang berulang-ulang, karena kematian itu sendiri sukar untuk dihindari. Tidakkah manusia harus berusaha untuk mengatasi putaran kelahiran dan kematian yang terus-menerus ini?

Menurut agama Buddha, kehidupan kita bukanlah kehidupan pertama atau terakhir yang harus kita jalani di dunia ini. Jika kita berbuat baik, maka akan mendapatkan hidup yang lebih baik pada kehidupan mendatang. Di samping itu, bila kita tidak ingin terlahir kembali, maka harus berjuang mencapai kebebasan akhir dengan selalu berusaha mengikis semua kekotoran batin yang ada pada pikiran kita.



FILSAFAT AGAMA BUDDHA
Para orang suci yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi tidak meratapi meninggalnya sanak kerabat mereka, karena mereka telah mengikis habis semua emosi manusiawinya. Yang Ariya Arahat Anuruddha tidak menangis ketika Sang Buddha Gotama wafat, namun Yang Ariya Ananda yang ketika itu baru mencapai tingkat kesucian Sotapanna atau Yang Masih Belajar, telah menunjukkan kesedihannya. Bhikkhu Ananda yang bersedih tersebut masih harus diingatkan mengenai pandangan Sang Buddha terhadap kematian melalui kata-kata sebagai berikut:

“Ananda, bukankah Sang Buddha pernah mengatakan pada kita bahwa segala sesuatu yang dilahirkan, yang muncul, yang terbentuk, akan lenyap kembali? Ini merupakan sifat dari semua bentuk yang bersyarat, yakni muncul dan akan lenyap kembali. Dengan menyadari bahwa semua itu akan lenyap kembali, maka muncullah kedamaian dan kemuliaan”. 
Kata-kata ini menguraikan suatu dasar yang di atasnya dibangun bangunan Filsafat Agama Buddha.

PENYEBAB KESEDIHAN
Sebab dari kesedihan dan penderitaan kita ialah kemelekatan (Tanha) dalam segala bentuknya. Jika kita ingin menghentikan kesedihan, maka kita harus membuang kemelekatan, baik kemelekatan terhadap manusia maupun terhadap harta benda. Hal ini merupakan pelajaran kebenaran tentang kematian, karena kematian akan menyerang dan mengisi hidup kita dengan kengerian, kecuali bila kita telah dapat memahaminya. Kenyataan ini dengan indah telah dibabarkan oleh Sang Buddha melalui sabda berikut ini: “Kematian akan menyeret manusia yang melekat pada anak-anak dan harta bendanya, bagaikan banjir besar menyeret desa yang tertidur”.

Dalam peribahasa tersebut tersirat makna bahwa bila desa itu tidak tertidur namun terjaga dengan waspada, maka kerugian yang ditimbulkan oleh banjir tersebut akan dapat berkurang jauh.

KEMATIAN BERLAKU BAGI SELURUH ALAM SEMESTA
Marilah kita melihat bagaimana Sang Buddha menyelesaikan masalah kematian yang menimpa diri dua orang, yang karena kemelekatan mereka telah menderita kesedihan hebat akibat adanya kematian. Pertama adalah kisagotami yang putra tunggalnya meninggal dunia setelah digigit seekor ular. Ia pergi menemui Sang Buddha sambil menggendong mayat putranya untuk memohon pertolongan agar menghidupkannya kembali. Sang Buddha memintanya membawa segenggam biji lada dari satu keluarga yang tidak pernah mengalami kematian, namun ia tidak dapat menemukan keluarga seperti itu. Setiap rumah yang didatangi sedang berkabung atau pernah berkabung atas kematian orang tua ataupun sanak saudara mereka. Akhirnya ia dapat menyadari kenyataan hidup yang pahit ini. Kematian berlaku dimana-mana. Kematian akan menyerang semua makhluk dan tak satupun yang dapat terlolos darinya. Karena itu kesedihan merupakan warisan bagi semua orang.

Orang kedua yang mendapat pertolongan dan bimbingan Sang Buddha adalah Patacara. Hal yang dialaminya jauh lebih menyedihkan, yakni dalam waktu yang singkat ia telah kehilangan kedua putranya, suami, saudara, orang tua, dan seluruh harta bendanya, bahkan kehilangan akalnya. Ia berlari-lari dengan bertelanjang dan liar di jalan-jalan hingga akhirnya berjumpa dengan Sang Buddha. Sang Buddha telah membuatnya waras kembali dengan menjelaskan bahwa kematian harus dapat kita terima sebagai suatu gejala yang wajar bagi setiap makhluk hidup.

Sang Buddha berkata: “Engkau telah menderita dari keadaan yang serupa bukan hanya sekali, Patacara. Namun telah berulang kali selama kelahiran-kelahiran terdahulu. Untuk waktu yang lama sekali engkau telah menderita akibat kematian ayah dan ibu, anak dan sanak kerabat. Selama engkau menderita telah meneteskan air mata lebih banyak dibandingkan dengan air yang ada di samudra”.
Pada akhir pembicaraan tersebut, Patacara menyadari akan ketidak-pastian dari kehidupan ini.

Baik Patacara maupun Kisagotami dapat memahami penderitaan dari pengalaman tragis mereka sendiri. Dengan menyadari sungguh-sungguh akan Kesunyataan Mulia yang pertama yakni “Penderitaan”, maka ketiga Kesunyataan Mulia lainnya juga akan dapat dipahami. Sang Buddha bersabda: “Barang siapa yang mengerti akan penderitaan, juga akan mengerti munculnya penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan untuk melenyapkan penderitaan”.


LIMA KELOMPOK KEHIDUPAN
Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci Agama Buddha adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri dari pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh jasmani atau materi. Keempat kelompok yang pertama adalah kelompok batin atau NAMA yang membentuk suatu kesatuan kesadaran. Kelompok kelima adalah RUPA, yakni kelompok fisik atau materi. Gabungan batin dan jasmani ini secara umum dinamakan individu, pribadi atau ego. Sebenarnya apa yang ada bukanlah merupakan suatu individu yang berwujud seperti itu. Namun dua unsur pembentuk utama, yakni NAMA dan RUPA hanya merupakan fenomena belaka. Kita tidak melihat bahwa kelima kelompok ini sebagai fenomena, namun menganggapnya sebagai pribadi karena kebodohan pikiran kita, juga karena keinginan terpendam untuk memperlakukannya sebagai pribadi serta untuk melayani kepentingan kita.

Kita akan mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bilamana memiliki kesadaran dan keinginan untuk melakukannya, yakni bila kita ingin melihat ke dalam pikiran sendiri dan mencatat dengan penuh perhatian (Sati). Mencatat secara objektif tanpa memproyeksikan suatu ego ke dalam proses ini dan kemudian mengembangkan latihan tersebut untuk waktu yang cukup lama, sebagaimana telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam SATIPATHANA SUTTA. Maka kita akan melihat bahwa kelima kelompok ini bukan sebagai suatu pribadi lagi, melainkan sebagai suatu serial dari proses fisik dan mental. Dengan demikian kita tidak akan menyalahartikan kepalsuan sebagai kebenaran. Lalu kita akan dapat melihat bahwa kelompok-kelompok tersebut muncul dan lenyap secara berturut-turut hanya dalam sekejap, tak pernah sama untuk dua saat yang berbeda; tak pernah diam namun selalu dalam keadaan mengalir; tak pernah dalam keadaan yang sedang berlangsung namun selalu dalam keadaan terbentuk.

Masa berlangsungnya kelompok-kelompok mental ini sangat singkat sedemikian rupa, sehingga selama satu kilatan cahaya halilintar telah terjadi beribu-ibu bentuk pikiran atau saat berpikir yang berturutan dalam pikiran kita. Kelompok materi atau jasmani berlangsung sedikit lebih lama, yakni kira-kira tujuh belas kali dari saat berpikir tersebut. Karena itu setiap saat sepanjang kehidupan kita, bentuk-bentuk pikiran muncul dan lenyap. Lenyapnya yang dalam waktu sekejap mata ini merupakan suatu bentuk dari kematian.

Lenyapnya elemen-elemen dalam waktu sekejap ini tidaklah jelas, karena kelompok-kelompok yang berturutan akan muncul dengan segera untuk menggantikan yang lenyap, dan mereka inipun muncul dan lenyap sebagaimana terjadi dengan hal-hal terdahulu. Inilah yang kita katakan sebagai “Terus berlangsungnya kehidupan”.

Namun dengan berjalannya waktu, maka kelompok materi atau jasmani kehilangan kekuatannya dan mulai terjadi kelapukan. Saatnya akan tiba di mana kelompok-kelompok ini tidak dapat berfungsi lebih lanjut, dan menurut istilah yang biasa dipakai inilah akhir dari suatu kehidupan yang kita sebut sebagai “Terjadinya kematian”.


KELAHIRAN KEMBALI
Namun, keempat kelompok mental, yaitu: kesadaran dan ketiga kelompok mental lainnya yang membentuk “NAMA” atau “KESATUAN KESADARAN” akan terus berlangsung tanpa berhenti. Muncul dan lenyap seperti semula, walaupun tidak pada tempat yang sama, karena tempat terdahulu telah tiada. Kelompok-kelompok mental ini harus segera menemukan suatu landasan fisik yang baru seperti saat sebelumnya agar ia dapat berfungsi dengan serasi. Hukum karmalah yang melakukan kesemua ini, yakni dengan segera menempatkan kembali kelompokkelompok tersebut, yang kita kenal sebagai “KELAHIRAN KEMBALI”.

Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa sesuai dengan Ajaran Agama Buddha, tidak dikenal adanya perpindahan jiwa suatu inti dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Menurut filsafat agama Buddha, apa yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa “JAVANA” atau “PROSES BERPIKIR AKTIF YANG TERAKHIR” dari orang yang meninggal dunia telah melepaskan kekuatan-kekuatan tertentu, yang bervariasi sesuai dengan kesucian dari kelima saat berpikir Javana dalam serial tersebut (Lima, bukannya tujuh saat berpikir Javana seperti pada keadaan normal). Kekuatan-kekuatan ini disebut “KAMMA VEGA” atau “TENAGA KARMA” yang mendekatkan diri pada suatu landasan materi yang dihasilkan oleh sepasang orang tua dalam rahim seorang ibu. Kelompok materi dalam gabungan benih ini harus memiliki sifat yang sesuai untuk menerima jenis tertentu dari tenaga karma tersebut.

Pendekatan diri dengan cara ini dari berbagai jenis kelompok jasmani yang dihasilkan oleh sepasang orang tua, terjadi melalui bekerjanya kematian yang memberikan suatu peluang bagi kelahiran kembali yang menguntungkan pada seseorang yang meninggal dunia. Namun pikiran yang tidak baik akan menghasilkan suatu kelahiran kembali yang tidak menyenangkan.


KUMPULAN UNSUR DAN TENAGA
Secara singkat dapat kita katakan bahwa kombinasi dari kelima kelompok disebut “kelahiran”. Munculnya kelompok-kelompok tersebut dalam suatu kumpulan disebut “kehidupan”, sedangkan lenyapnya kelompok-kelompok tersebut disebut “kematian”, dan penggabungan kembali kelompok-kelompok ini disebut “kelahiran kembali”. Namun tidaklah mudah bagi seorang manusia biasa untuk mengerti bagaimana kelompok-kelompok tersebut bergabung kembali.

Dalam hal ini pengertian yang benar akan sifat tenaga-tenaga karma, mental dan unsur-unsur, serta kerja sama tenaga-tenaga alam semesta adalah sangat penting kita ketahui. Bagi sementara orang kejadian yang sederhana dan wajar ini, yakni kematian hanya berarti meleburnya kelima unsur dengan kelima unsur yang sama, sehingga menurut mereka tidak ada yang tersisa.

Sementara itu ada pula kelompok orang yang berpendapat bahwa kematian adalah berpindahnya jiwa dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Ada juga kelompok yang menganggap kematian itu merupakan masa transisi yang tak terbatas dari jiwa, atau dengan kata lain kematian adalah menunggu hari pengadilan (akhir). Bagi umat Buddha, kematian hanya merupakan akhir sementara dari gejala yang bersifat sementara, dan kematian bukan merupakan kemusnahan total dari suatu makhluk.


SEBAB-SEBAB TERJADINYA KEMATIAN
Menurut agama Buddha, kematian dapat terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
(i) Kematian dapat disebabkan oleh habisnya masa hidup sesuatu makhluk tertentu. Kematian semacam ini disebut “AYU-KHAYA”.
(ii) Kematian yang disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat terjadinya kelahiran dari makhluk yang meninggal tersebut. Hal ini disebut“KAMMA-KHAYA”.
(iii) Kematian yang disebabkan oleh berakhirnya kedua sebab tersebut di atas, yang terjadi secara berturut-turut. Disebut “UBHAYAKKHAYA”.
(iv) Kematian yang disebabkan oleh keadaan luar, yaitu: kecelakaan, kejadian-kejadian yang tidak pada waktunya, atau bekerjanya gejala alam dari suatu karma akibat kelahiran terdahulu yang tidak termasuk dalam butir (iii) di atas. Disebut“UPACHEDAKKA”.

Ada suatu perumpamaan yang tepat sekali untuk menjelaskan keempat macam kematian ini, yaitu perumpamaan dari sebuah lampu minyak yang cahayanya diibaratkan sebagai kehidupan. Cahaya dari lampu minyak dapat padam akibat salah satu sebab berikut ini:

(i) Sumbu dalam lampu telah habis terbakar. Hal ini serupa dengan kematian akibat berakhirnya masa hidup suatu makhluk.
(ii) Habisnya minyak dalam lampu seperti halnya dengan kematian akibat berakhirnya tenaga karma.
(iii) Habisnya minyak dalam lampu dan terbakar habisnya sumbu lampu pada saat bersamaan, sama halnya seperti kematian akibat kombinasi dari sebab-sebab yang diuraikan pada butir (i) dan (ii) di atas.
(iv) Pengaruh dari faktor luar, misalnya ada angin yang meniup padam api lampu. Sama halnya seperti kematian yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar.

Oleh karena itu karma bukan merupakan satu-satunya sebab dari kematian. Dalam Anguttara Nikaya dan Kitab-kitab lainnya, Sang Buddha menyatakan dengan pasti bahwa karma bukan merupakan penyebab dari segala hal.


CARA MENGHADAPI KENYATAAN
Bagaimana cara terbaik bagi seseorang dalam menghadapi peristiwa kematian yang tak terelakkan ini? Terlebih dahulu kita harus menyadari dan merenungkan bahwa kematian akan dan pasti tiba dalam waktu yang cepat atau lambat. Akan tetapi hal ini bukanlah berarti umat Buddha harus memandang kehidupan dengan suram, karena kematian merupakan kenyataan dan harus dihadapi oleh setiap makhluk. Buddha-Dhamma adalah suatu agama atau Ajaran yang dapat diterima oleh akal pikiran dan umat Buddha dilatih untuk menghadapi kenyataan yang kadang-kadang tidak menyenangkan. Guru Nanak berkata: “Dunia mencemaskan kematian, tetapi bagiku kematian itu membawa kebahagiaan”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa orang-orang besar dan mulia tidak takut akan kematian, dan mereka selalu siap menghadapinya. Banyak orang besar yang telah mengorbankan hidup mereka demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak.

Nama-nama mereka tercatat dalam sejarah dunia dengan tinta emas. Pemimpin besar Amerika, Saul Alinsky berkata: “Satu hal terpenting yang pernah saya pelajari adalah bahwa saya akan mengalami kematian, dan sekali anda dapat menerima kematianmu sendiri, maka seketika itu juga anda bebas untuk hidup. Anda tidak lagi peduli dan selama hidup dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai suatu tujuan yang anda yakini”. Hal ini merupakan cara pribadi-pribadi besar memandang konsep tentang kematian.


KEMATIAN TAK TERELAKKAN
Tampaknya agak bertentangan bahwa meskipun kita seringkali melihat kematian yang menghentikan kehidupan, namun kita jarang sekali berhenti untuk merenungkan bahwa kitapun dapat dengan segera menjadi korban maut. Karena keterikatan kita yang kuat terhadap kehidupan, maka merasa segan untuk membawa-bawa pikiran yang menakutkan tersebut. Walaupun
merupakan suatu kenyataan bahwa kematian adalah suatu kejadian yang pasti. Namun kita lebih suka menyingkirkan pikiran yang menakutkan ini sejauh mungkin, dan menipu diri sendiri dengan menganggap bahwa kematian hanya merupakan gejala yang jauh dan tidak perlu dirisaukan. Kita harus mempunyai cukup keberanian untuk menghadapi kenyataan tersebut dan harus siap menerima bahwa kematian merupakan kejadian yang nyata. Jika kita dapat menghargai peristiwa seperti itu dan melengkapi diri dengan kesadaran bahwa kematian merupakan suatu peristiwa tak terelakkan, yang harus diterima sebagai suatu kejadian biasa dan bukan merupakan suatu peristiwa yang menakutkan, maka kita akan mampu menghadapi, bilamana peristiwa itu tiba, dengan ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri.


TUGAS DAN KEWAJIBAN KITA
Setelah mengetahui bahwa kematian akan menghampiri kita pada suatu saat, maka kita harus dapat memutuskan dengan ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri yang sama untuk melepaskan tugas dan kewajiban kita pada generasi penerus. Kita tidak boleh berleha-leha dan menunda hingga besok hal-hal yang dapat kita kerjakan hari ini. Kita harus dapat menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan menjalankan kehidupan yang bermanfaat. Tugas terhadap istri atau suami dan anak-anak harus dijalankan dalam waktu yang sama. Kita harus melaksanakan keinginan dan wasiat terakhir tanpa menunggu saat-saat yang terakhir, sehingga di kemudian hari tidak menimbulkan kesulitan dan masalah akibat dari kelalaian kesulitan dan masalah akibat dari kelalaian itu. Kematian dapat memanggil setiap saat dan tidak mengenal waktu, oleh sebab itu kita harus mampu menghadapi saat-saat terakhir dengan berani dan tenang.


KESERAKAHAN DAN KEBODOHAN
Dapatkah kematian diatasi? Jawabannya adalah dapat! Kematian terjadi karena adanya kelahiran. Hal ini merupakan dua mata rantai dalam lingkaran kehidupan yang dikenal dengan nama“Pattica Samuppada”, dan keseluruhannya ada dua belas mata rantai dalam lingkaran tersebut, yang beberapa di antaranya adalah Kilesa atau kekotoran batin. Beberapa karma atau perbuatan menimbulkan Vipaka atau Hasil (dalam lingkaran kehidupan ini) dan Vipaka ini terjadi berulang-ulang. Pengulangan dari kelahiran yang tak terhitung ini disebut Samsara. Jika kita ingin menghentikan lingkaran kehidupan ini hanyalah dengan cara memotongnya pada tahap kekotoran batin, yaitu: Avijja (kebodohan) dan Tanha (nafsu keinginan). Inilah akar-akar dalam lingkaran kelahiran yang harus dimusnahkan, karena itu jika kita dapat memotong nafsu keinginan dan kebodohan, maka kelahiran akan dapat diatasi dan sekaligus kematian juga dapat diatasi, sehingga Samsara teratasi dan tercapailah Nibbana


SEGALA SESUATU ADALAH TIDAK PASTI
Kita harus berusaha mengerti bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini adalah tidak pasti. Kehidupan hanyalah suatu khayalan dan bayangan. Bila kita mengadakan analisa terhadap segala sesuatu, baik secara ilmu pengetahuan ataupun secara filosofis, maka akhirnya kita tidak akan menemukan apa-apa, kecuali kekosongan.

Menurut Sang Buddha, ketidak-kekalan, ketidak-puasan dan ketidak-mampuan untuk menguasai di dalam segala hal merupakan gejala yang wajar dalam alam semesta ini. Mereka yang telah memahami ketiga sifat ini akan terbebas dari ketakutan yang tidak perlu, ketegangan, kekecewaan dan kesedihan. Hanya dengan menyadari kebenaran universal inilah kita akan dapat mempertahankan kedamaian dan ketenangan di dalam diri kita.

Penerjemah : Tidak tercantum
Sumber :internet