Rabu, 20 November 2013

makna waisak

makna dibalik WAISAK ?

WAISAK 
( TIGA MOMEN )
Oleh: Selamat Rodjali
Tiga peristiwa penting pada bulan Waisak yang diperingati oleh kita semua, umat Buddha, ialah peristiwa kelahiran Bodhisatta Siddhattha Gotama, peristiwa pencapaian pencerahan agung (Penerangan Sempurna) Buddha Gotama, dan Parinibbana Buddha Gotama. Ketiga peristiwa ini terjadi pada saat purmama pada bulan Waisak. Masih segar di sanubari kita beberapa petikan sutta yang sering diulang, yang berkorelasi dengan tiga momen di atas, sebagaimana berikut ini:
“Akulah yang terkemuka di dunia,
Akulah yang tertinggi di dunia,
Akulah yang teragung di dunia,
Bagiku, tak akan ada lagi tumimbal lahir.”
Kata-kata di atas diucapkan beberapa saat setelah kelahiran Bodhisatta Siddhattha Gotama. Kata-kata pertama yang diucapkan Buddha Gotama setelah mencapai penerangan sempurna, ialah :
”Dengan melalui banyak kelahiran
Aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan).
Terus mencari, namun tak kutemukan pembuat rumah ini.
Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini.””O pembuat rumah, engkau telah kulihat,
engkau tak dapat membangun rumah lagi.
Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah.
Sekarang batinku telah mencapai Keadaan Tak Berkondisi (nibbana).
Pencapaian ini merupakan akhir daripada napsu keinginan.”
(Dhammapada 153-154)
Petikan sutta yang berkaitan dengan momen ketiga yang sebenarnya merupakan kata-kata terakhir yang dinyatakan oleh Buddha Gotama sebelum Parinibbana, ialah :
“ ‘Dengarlah baik-baik, 0 para bhikkhu, nasehatku.
Segala sesuatu yang merupakan perpaduan unsur-unsur akan hancur kembali;
berjuanglah dengan sungguh-sungguh!”
Petikan Sutta di atas tidak asing bagi semua umat Buddha yang mengakui Buddha Gotama sebagai guru Agungnya. Kata-kata tersebut merupakan refleksi tiga momen penting kehidupan beliau. Ketiga momen ini terjadi pada bulan Waisak, saat purnama: peristiwa kelahiran, Pencerahan Sempurna, dan Parinibbana.
MOMEN PERTAMA
Andaikata sekarang, seorang awam mengumbar kata-kata: “Akulah Yang terkemuka di dunia ini” dan seterusnya; atau bahkan mengaku dirinya sebagai ‘guru para dewa dan manusia’ atau sebagai ‘Buddha Baru’ mungkin hal ini dinilai sebagai kesombongan semata. Mengapa hal tersebut tidak layak diucapkan pada zaman materi ini? Lalu, kapan kata-kata tersebut tepat diucapkan? Oleh siapa?
Kata-kata yang tertulis dalam petikan sutta di atas mengandung kebenaran yang tinggi, dan untuk memahaminya, kita harus paham akan kehidupan dan teladan seorang Bodhisatta.
Secara literal, Bodhisatta berarti ‘makhluk bijaksana’ dan secara tak langsung menyatakan seorang manusia yang bertekad untuk mencapai penerangan sempurna secara mandiri, tak peduli berapa banyak kelahiran harus ditempuh. Tekad untuk menjadi seorang Sammasambuddha, seorang yang mencapai penerangan sempurna secara mandiri adalah untuk kepentingan banyak makhluk. Bodhisatta juga bertekad, bahwa ia akan menolong semua makhluk, sebagai manifestasi dari sepuluh kesempurnaan (parami) yang dipupuknya sebagai fondasi bagi tercapainya penerangan sempurna. Parami ini tidak hanya dipraktekkan dalam satu kehidupan, melainkan secara kontinyu selama Bodhisatta berada dalam lingkaran tumimbal lahir, baik sebagai manusia, dewa atau bahkan sebagai binatang. Perbuatan baiknya ini merupakan praktek yang paniang, memakan banyak kappa. Setiap saat ia sungguh bermaksud membawa manfaat dan kebaikan bagi yang lain dengan sesempurna mungkin.
Seorang manusia yang dikenal sebagai Pangeran Siddhattha, di dalam kehidupannya yang terakhir sebelum dilahirkan sebagai manusia, adalah dewa yang tinggal di Tusita bhumi. Buah kamma baiknya yang menakjubkan yang membuatnya dilahirkan di alam tersebut. Setelah melalui jangka waktu yang panjang, akhirnya tibalah waktunya untuk terlahir sebagai manusia. Kelahiran ini merupakan kelahirannya yang terakhir karena penerangan sempurna akan dicapainya. Pangeran Siddhattha dilahirkan dari rahim Ratu Mahamaya saat purnama di bulan Waisak, ayahnya adalah seorang raja dari suku Sakya.
Sebagai bayi manusia, ia berbeda dari kebanyakan bayi lainnya. Pikirannya terang, penuh kewaspadaan, penuh potensi bagi pengembangan kualitas-kualitas yang menakjubkan. Walaupun ia dilahirkan sebagai bayi yang baru lahir, ia telah siap untuk menuju penerangan sempurna!
Sangat jelas bagi kita, mengapa kata-kata di atas diucapkan, karena ia patut dihomat. “Terkemuka, tertinggi dan teragung”, itulah beliau dan pada deretan manusia seumurnya, tiada yang menandinginya, dan sejarah ikut memperkuat dan mempertegas kebesarannya. Kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang pangeran, seorang bayi, kebenarannya tidak mengandung kesombongan. Beliau sangat sadar bahwa dalam kehidupannya ini kesempurnaan akan dicapainya, sehingga dikatakannya: “Bagiku, tak akan ada lagi tumimbal lahir.”
MOMEN KEDUA
Mungkin bagi kebanyakan orang, masih banyaknya tumimbal lahir tampak sebagai ide yang baik. Mereka menganggap bahwa hal ini adalah prospek untuk memperbaiki diri. Namun, apabila kita sadar dan mau melihatnya dengan mendalam, kelahiran kembali bukan merupakan prospek. Peluang terbukanya ‘pintu’ alam menyedihkan sangat besar bagi kebanyakan manusia karena manusia zaman sekarang kebanyakan belum mencapai tingkat-tingkat kesucian; apalagi pada zarnan materi ini, perbuatan amoral (akusala kamma) sangat pesat berkembang, dan semakin canggih.
Mereka yang meresapi hakekat kehidupan ini menganggap sungguh menderita berada dalam roda kelahiran dan kematian. Dengan dilandasi kebodohan dan nafsu keinginan (moha dan tanha), kedamaian dan kebahagiaan sejati sungguh sulit diperoleh. Kedamaian dan kebahagiaan sejati (Nibbana) tidak mungkin dialami hanya dengan percaya tetapi harus dimenangkan dengan pengembangan kebijaksanaan dan pemurnian batin.
Pangeran Siddhattha tidak memiliki seorang guru pun yang mampu menunjukkan jalan merealisasi Nibbana. Namun, kita semua, umat Buddha khususnya, sangat beruntung (akibat kamma baik tentunya) karena kita masih mempunyai tradisi praktek Dhamma dan Vinaya yang merupakan warisan Buddha Gotama. Jalan untuk mencari ‘pembuat rumah ini’ telah ditunjukkan dengan sempurna, berada sangat dekat dan mengundang untuk dibuktikan. Tentunya bukti akan diperoleh hanya dengan mempraktikkan jalan tersebut, tidak bisa dengan berspekulasi atau berteori atau menjadi ‘bunglon’ terhadap diri sendiri karena menganggap dirinya intelek. Intelek bukan berarti bijaksana! Juga intelek bukan berarti tidak dibutuhkan. Intelek hendaknya diimbangi dengan sifat-sifat batin yang baik, dengan kebijaksanaan.
Apakah ‘rumah’ ini? dan apakah si ‘pembuat’? Rumah ini berarti kombinasi dari jasmani dan batin (rupa-nama) yang tersusun sedemikian rupa sehingga kita sering kali menyebutnya sebagai kepribadian ‘ku’. Apakah si ‘pembuat’? Apakah si ‘pembuat’ berada di luar rumah itu? Andai si pembuat rumah berada di luar, maka tidak ada kemungkinan untuk mencapai penerangan sempurna! Si pembuat adalah nafsu keinginan (tanha), berada di dalam ‘rumah’ tiap individu, yaitu keinginan akan kesenangan indera (kamatanha), ingin untuk hidup terus (bhavatanha) dan bahkan ingin memusnakan diri (vibhavatanha). Oleh karena itu, di dalam kata-kata pertama setelah pencapaian penerangan sempurna, Sang Buddha menyatakan pekik kemenangan atas kebodohan dan nafsu keinginan (tanha).
Di dalam rumah dari nama dan rupa yang disusun oleh tanha, tiang-tiang yang menunjang rumah itu merupakan kekotoran-kekotoran batin. Kekotoran batin ini telah dirobohkan. Rakit-rakit yang menyangga atap rumah itu, yang merintangi masuknya cahaya dan udara segar telah dihancurkan. Terbukalah rumah itu, tak ada lagi alangan bagi cahaya mentari ‘pencerahan’ dan udara segar ‘kebenaran sempurna’.
Batin mencapai keadaan tak berkondisi, demikianlah Sang Buddha telah mencapai akhir dari ‘pencarian’ dan mencapai keadaan tanpa syarat, Nibbana. Semua yang berkondisi merupakan gabungan yang juga ditunjang oleh berbagai kondisi. Semua yang merupakan perpaduan tidak pernah mendatangkan kebahagiaan kekal, tak ada yang dapat diharapkan darinya. Keadaan yang tak berkondisi, Nibbana, dapat dialami oleh setiap insan, asalkan mereka mau melaksanakan ‘sesuatu’. Tak bisa didoakan! Nibbana hanya dapat dialami dengan melaksanakan Jalan menuju Nibbana. Nibbana tak pemah berubah dan merupakan kedamaian dan kebahagiaan yang tak terkena hukum perubahan (anicca).
Kebahagiaan pencapaian Nibbana bukanlah berarti kebahagiaan menikmati perasaan senang atau puas. Kebahagiaan pencapaian Nibbana merupakan refleksi padamnya semua nafsu duniawi atau surgawi. Nibbana telah direalisasi oleh Buddha Gotama ketika beliau duduk di bawah pohon ‘Bodhi’ (Ficus religiosa) di Buddha Gaya, di India Utara, saat purnama pada bulan Waisak.
Beliau pemah hidup sebagai pangeran dan pernah pula hidup dalam kemewahan, namun akhirnya beliau meninggalkan semuanya, beliau hidup tanpa rumah. Sebelum menjadi Buddha, beliau pemah melakukan penyiksaan tubuh selama enam tahun, yang semula dianggap mampu membawa ke ‘tujuan’. Ternyata ditemukannya bahwa hal ini tak berfaedah; demikian pula Pemuasan keterikatan terhadap kemewahan. Kedua ekstrim ini ditinggalkannya. Beliau bertekad melaksanakan ‘Jalan Tengah’ dan setelah memulihkan kesehatannya, beliau duduk di bawah pohon Bodhi, untuk mencari ‘Obat dukkha’. Akhimya, saat purnama pada bulan Waisak, batin-Nya telah bebas; beliau telah menjadi Buddha, Buddha Gotama, yang berbeda dengan pertapa Gotama yang duduk di bawah pohon Bodhi tersebut sebelum momen pencapaian itu. Kebijaksanaannya telah sempurna.
Kebijaksanaan Buddha Gotama secara alami disertai dengan kasih sayang yang sempurna. Kasih sayang ini muncul secara alami di dalam batin-Nya ketika beliau melihat betapa menyedihkannya kehidupan makhluk-makhluk, semuanya mencari ‘kebahagiaan’, namun sungguh sedikit yang dapat menerima jalan menuju kebahagiaan seiati. Kasih sayangnya ini juga dapat disimak melalui sejarah selama 45 tahun beliau menyebarkan ajaran-Nya, baik kepada brahmana, raja, pertapa atau umat awam. Semua itu dilakukan sampai menjelang Parinibbana. Semua ajarannya didasari oleh kebijaksanaan dan kesucian batinnya yang sempurna, yang telah menembus hakekat sesungguhnya dari segala sesuatu. Segala sesuatu adalah tanpa inti yang kekal (anatta).
MOMEN KETIGA
Ketika Buddha Gotama berbaring untuk terakhir kalinya di Kusinara, Beliau masih menyediakan waktu untuk kebaikan semuanya. Beliau menanyakan kepada para bhikkhu apakah masih ada yang ingin ditanyakan mengenai ajaran dan peraturan yang ditetapkan. Namun, para bhikkhu begitu puas; tak satu pun yang bertanya. Beliau kemudian memberikan petuah mengenai beberapa hal. Bahkan, beliau sempat pula mentahbiskan Subhadda.
Sang Buddha berbaring di tubuh sebelah kanannya, kepalanya dialasi tangan kanannya, kakinya menumpang di atas kaki yang lain. Tubuhnya dialasi jubah luarnya. Di atasnya terdapat dua cabang pohon Sala. di antara cabang tersebut terlihat bulan purnama. Bunga harum bertaburan tersebar dari kedua pohon Sala ini. Hal ini terjadi pada bulan Waisak.
Di sekitar Buddha Gotama berkerumun beratus bhikkhu yang telah mencapai kesempurnaan. Mereka tidak mengalami stress karena mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa semua yang berkondisi tidak kekal. Bahkan jasmani Sang Buddha tidak luput dari hukum perubahan, demikian pula tubuh kita. Namun, para bhikkhu yang belum mencapai kesempurnaan, mengalami stress’, mereka berpikir: “Guru kita tak akan bersama kita lagi. Demikian cepat cahaya dunia berlalu!” Untuk menenangkan mereka, Buddha Gotama mengucapkan kata-katanya yang terakhir, satu nasehat untuk dipraktekkan: “Dengarlah baik-baik, 0 Para bhikkhu, nasehatku: segala sesuatu yang merupakan perpaduan unsur-unsur akan hancur kembali; berjuanglah dengan sungguh-sungguh.’ Setelah mengucapkan kata-kata ini, beliau tidak mengucapkan apa-apa lagi. Beliau memasuki perenungan batin yang hanya dapat diketahui oleh mereka yang telah mengembangkan batinnya dengan baik. Beberapa saat kemu4ian Beliau Parinibbana. Apakah artinya ini? Bagaimana seseorang dapat mengetahui seseorang telah Parinibbana?
Kesunyataan ini tidak dapat diterangkan oleh kata-kata karena apabila semua ‘dhamma’ telah hancur, tak ada lagi kata-kata yang tepat untuk melukiskannya. Hanya terdapat satu cara untuk mengetahui masalah ini, dan cara tersebut adalah jalan yang Sang Buddha tempuh. Oleh karena itu, setiap orang patut melaksanakan petuahnya sehingga dapat mengalami kesunyataan ini secara mandiri.
Kata-kata terakhir yang diucapkan tidak mustahil berlaku pula bagi orang awam, karena semua individu merupakan subjek dari kehancuran. Apabila kita melekat kepada hal yang merupakan perpaduan, maka kita akan mengalami penderitaan (dukkha). Memang umumnya kita masih memiliki kemelekatan terhadap tubuh, namun apakah kita menyadari betapa berbahayanya kemelekatan ini dan berapa banyak penderitaan yang akan menyertainya? Sang Buddha mengajarkan jalan untuk mengikis kemelekatan terhadap segala sesuatu. Seorang arahat tidak melekat terhadap sesuatu yang berkondisi (sankhata) juga tidak melekat terhadap Nibbana (asankhata).
Umat Buddha, umumnya, melakukan peringatan tiga momen ini dengan berupacara dan berbuat baik pada bulan Waisak. Mereka menghormat Guru Agung mereka. Menghormat Sang Buddha bukan berarti menghormatinya pada bulan Waisak saja. Menghormat Sang Buddha berarti melaksanakan ajaran-Nya dengan baik dan benar (tanpa manipulasi kotor) di dalam kehidupan sehari-hari selama berada dalam lingkaran kelahiran dan kematian sehingga akhirnya mengalami atau merealisasi Nibbana.
Bahan Pustaka Utama :
- Khantipalo, 1983. Pointing to Dhamma- King Mah-a Makuta’s Academy, BangKok, 272p.
- Khantipalo, 1986. Buddhism Explained. Mahamkut Rajavidyalaya, Bangkok, 240p.
- Sangha Theravada Indonesia. 1985. Dhammapada. Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta, 215 hal.
- Widyadhanna, S. 1986. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda Jakarta, 269 hal.

Kisah Raja & Burung Kecil

Kisah Raja & Burung Kecil

Sang Raja dan Burung Kecil
Ada sebuah cerita kuno di India. Pada suatu siang hari, beberapa orang dewasa sedang mengobrol dengan santai di bawah pohon yang rindang. Tiba-tiba terdengar suara burung dengan nada sedih yang sedang berusaha terbang sekuat tenaga. Ketika dilihat seekor burung kecil terbang rendah sekali, sebentar jatuh dan terbang lagi, tetapi sama sekali tidak berhasil, tampak menderita sekali.
Di belakang burung kecil itu, ada sekelompok anak sedang mengejarnya dengan riang gembira, sementara para orang dewasa hanya tertawa terbahak-bahak dianggapnya itu mainan yang lucu. 
Nah, pada saat itulah muncul orang tua yang berpakai baju putih mendekati dan menghalangi anak-anak yang mengejarnya, dan berjongkok mengambil burung kecil itu pelan-pelan dengan kedua tangan.
Oh! Sayap burung itu ternyata diikat dengan tali dan di ujung tali terikat satu biji batu, pantas burung itu tidak dapat terbang! Orang berbaju putih itu merasa kasihan pada burung kecil itu.
“Burung itu punya kami, pulangkan kepada kami,” kata anak-anak itu dengan nada kurang sopan.
Tapi, orang berbaju putih itu berujar, “Aku akan membeli burung ini, berapa harganya?”
Mendengar uang, anak-anak itu sangat gembira dan menjualnya kepada orang itu.
Orang berbaju putih tersebut dengan penuh belas kasih membuka talinya dan melepaskannya, burung itu terbang berputar-putar di atas kepalanya dengan riang seolah ingin mengucapkan terima kasih.
Selanjutnya, orang berbaju putih ini mengelus kepala anak-anak itu: “Lihatlah anak-anak, burung kecil itu terbang bebas dan bernyanyi gembira, ini indah sekali bukan? Setiap jiwa pun mempunyai harga dan hak untuk hidup, ini adalah jiwa yang indah di dalam langit bumi.”
Anak-anak itu hanya menundukkan kepala, dan orang-orang dewasa yang di samping itu juga merasa malu. Orang berbaju putih sekali lagi mengelus kepala setiap anak, lalu pergi…….
Mereka melihat bayang-bayang di belakangnya, terdapat kelapangan dada yang luar biasa, dengan kelembutannya bertutur. Tiba-tiba seorang anak berujar, “Aku ingat! Beliau adalah sang raja kami.”
Saat itu adalah zaman kerajaan di mana rajanya seorang penganut agama Buddha yang taat, rakyatnya disayang seperti anaknya sendiri, sering memakai berbaju putih, masuk ke perkampungan penduduk untuk memahami keadaan rakyat, dan sering menolong orang yang susah. Sebagai sesama, kita berusaha memahami jiwa yang indah, dan juga harus selalu bermurah hati kepada orang yang membutuhkan pertolongan, serta memupuk kasih sayang kepada semua jiwa.
(Sumber: Mingxin.net

Apakah Agama Buddha Itu Kuno ?

Apakah Agama Buddha Itu Kuno?

Oleh Bhikkhu Uttamo Mahathera
Kalau kita melihat agama Buddha ‘secara sepintas’ maka kita akan dihadapkan pada satu anggapan bahwa agama Buddha adalah agama yang tidak menarik, agama yang kadang-kadang terlihat bersifat mistis dan sudah tidak cocok lagi dengan kehidupan modern seperti sekarang ini. Mengapa demikian? Coba kita perhatikan semua perlengkapan sembahyang yang ada di altar. Ada patung yang maha besar dan kita bernamaskara atau satu persujudan kepada patung tersebut sehingga orang lalu menyatakan bahwa agama Buddha adalah penyembah berhala. Kita juga akan menemukan dupa/hio dan bunga yang mirip seperti untuk sesajen. Kemudian ada lilin yang seolah-olah berkata bahwa agama Buddha belum percaya akan adanya listrik. Belum lagi terlihat gentong yang memberi kesan seolah-olah kita sedang berada disebuah toko barang antik. Kalau kita perhatikan lagi, kita akan menemukan makhluk-makhluk yang lebih antik lagi; yakni bahwa di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, kita tetap duduk di lantai bila sedang melaksanakan kebaktian. Dari sinilah kritikan-kritikan terhadap agama Buddha dilontarkan! Kita mungkin pernah mendengar orang mengatakan bahwa agama Buddha adalah agama yang sudah kuno dan ketinggalan zaman. Hal ini dapat dimengerti karena mereka hanya melihat dari sudut tradisi/luar saja. Padahal ajaran Sang Buddha tidak pernah ketinggalan zaman.
Lalu apa buktinya bahwa agama Buddha itu mengikuti perkembangan zaman? Setiap kali kita mengikuti kebaktian, kita tentu membaca tuntunan Tisarana dan Pancasila yaitu menghindari pembunuhan dan penganiayaan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukkan. Apakah Pancasila ini sudah kuno dan milik umat Buddha saja? Apakah agama lain menghalalkan pembunuhan dan penganiayaan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukkan? Tentu kita akan menjawab: “Tidak!” karena semua manusia pasti harus melaksanakan Pancasila baik pada masa yang lampau, sekarang maupun masa yang akan datang. Ini adalah satu bukti bahwa ajaran Sang Buddha selalu mengikuti perkembangan zaman.
Mungkin hal ini belum dapat memuaskan Saudara karena masih terlalu umum. Untuk itu mari kita lihat intisari/jantung dari seluruh ajaran Sang Buddha. Apakah intisari/jantung ajaran Sang Buddha itu? Intinya adalah “kurangi kejahatan, tambahlah kebaikan, sucikan hati dan pikiran”. Apakah hal tersebut hanya berlaku di zaman Sang Buddha dan hanya milik agama Buddha saja? Apakah agama lain menganjurkan: “tambahlah kejahatan, kurangi kebaikan dan kacaukan pikiran?” tentu tidak! Dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa ajaran Sang Buddha sudah kuno dan ketinggalan zaman. Karena sesungguhnya ajaran Sang Buddha selalu mengikuti zaman! Bahkan Albert Einstein yang terkenal sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan pernah menyatakan bahwa “Agama yang bisa menjawab tantangan ilmu pengetahuan adalah agama Buddha”.
Oleh karena itu berbahagialah kita sebagai umat Buddha. Namun hanya berpuas diri sebagai umat Buddha masih belum cukup, karena ada ajaran yang lebih dalam lagi yaitu kita hendaknya bisa melaksanakan ajaran Sang Buddha di dalam kehidupan sehari-hari. Ini penting sekali karena ajaran Sang Buddha itu tidak hanya bersifat teori tetapi perlu dilaksanakan! Hal ini sama halnya dengan contoh orang yang mempunyai hobby berenang. Misalnya Saudara diberitahu bahwa berenang itu menyenangkan dan dengan bisa berenang maka Saudara tidak perlu lagi takut kepada air. Lalu Saudara suka berkhayal tentang berenang. Tetapi kalau Saudara tidak pernah mau mencoba, apakah Saudara akan bisa berenang, walaupun teori-teori berenang sudah dikuasai? Apakah Saudara cuma cukup berbangga: “Ah… saya ‘kan bisa teori berenang.” Tentu tidak! Demikian pula dengan ajaran Sang Buddha! Ajaran Sang Buddha memang sungguh luar biasa, begitu agung, begitu indah dan tidak pernah ketinggalan zaman. Tetapi kalau Saudara tidak pernah mempraktekkannya, apakah hal tersebut akan bermanfaat? Justru dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha, Saudara akan bisa menyelesaikan permasalahan di dalam kehidupan sehari-hari.
Lalu bagaimanakah cara menyelesaikan permasalahan kehidupan dengan ajaran Sang Buddha? Sebetulnya ajaran Sang Buddha itu sudah terbabar di altar, hanya saja kita jarang memperhatikannya. Perlengkapan sembahyang yang dianggap kuno itu ternyata mampu menjadi salah satu medium yang dapat membabarkan Dhamma karena tersirat makna yang cukup dalam dan bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan:
1. Patung Sang Buddha
Patung Sang Buddha ini bentuknya bermacam-macam. Ada yang menggunakan bentuk seperti payung yang ada di Candi Borobudur, ada yang menggunakan gaya India, Thailand, Srilanka, dsb. Kenapa bisa berbeda-beda? Karena sesungguhnya patung Sang Buddha bukan melambangkan/mewujudkan manusia Siddhattha Gotama. Jadi kalau Saudara berada di depan patung Sang Buddha, jangan Saudara membayangkan bahwa Sang Buddha itu seperti patung yang ada di hadapan Saudara atau yang pernah Saudara lihat. Kalau kita mengingat kembali riwayat hidup Sang Buddha, kita akan melihat bahwa ketika Beliau masih menjadi bodhisatva, sesungguhnya Beliau memiliki satu kehidupan yang sangat berlebihan; ada harta, tahta dan wanita. Namun Pangeran Siddhattha adalah manusia yang mempunyai cara berpikir yang berbeda. Ketika Beliau menyadari bahwa hidup ini sesungguhnya tidak kekal dan tidak memuaskan, Beliau pun memutuskan untuk mencari obat yang dapat mengatasi ketuaan, sakit, lahir dan mati; walaupun sangat menderita, Beliau terus berjuang. Bahkan pada suatu hari Beliau bertekad untuk tidak akan berdiri dari tempat duduknya sebelum menemukan obat sakit, tua, lahir dan mati; dan malam itu juga Beliau berhasil menembus hakekat hidup yang tidak kekal yang disebut mencapai Nibbana/padamnya keinginan, yang sekarang diperingati setiap hari Waisak. Inilah sesungguhnya makna yang terkandung dari patung Sang Buddha yaitu lambang semangat yang tidak pernah kenal putus asa. Ketika melihat patung Sang Buddha, hendaknya muncul semangat untuk bekerja, semangat untuk berjuang dalam meraih cita-cita. Kita bersujud di depan patung Sang Buddha adalah untuk menghormati Guru kita yang telah mengajarkan kebenaran, jadi bukan menyembah pada patung. Dengan demikian, kita tidak akan pernah kekurangan/kehilangan semangat dalam perjuangan hidup kita.

2. Lilin
Lilin ini sesungguhnya juga merupakan suatu lambang. Seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, demikian juga hendaknya seorang umat Buddha mau berkorban untuk kebahagiaan makhluk lain. Pengorbanan besar telah diberikan oleh Guru kita; 6 tahun menderita dan membaktikan diri selama 45 tahun untuk mengajarkan Dhamma setiap hari. Kita pun sebagai murid-muridNya hendaknya bersikap demikian; seperti lilin yang menerangi kegelapan, demikian juga hendaknya kita sebagai umat Buddha bisa menjadi pelita di dalam kehidupan bermasyarakat dengan kebenaran yang dibabarkan oleh Sang Buddha.

3. Bunga
Bunga melambangkan ketidak kekalan; hari ini indah dan wangi tetapi besok akan layu, lusa akan membusuk dan dibuang. Demikian pula dengan diri kita; hari ini kita masih sehat, kuat dan cantik tetapi dengan berlalunya sang waktu; kesehatan, kekuatan dan kecantikan kita pun akan berkurang. Seperti bunga yang sekarang segar, besok akan layu dan dibuang; demikian juga hendaknya kita selalu menyadari bahwa pada suatu ketika kita pun akan dibuang, berpisah dengan yang dicintai dan berkumpul dengan yang dibenci. Oleh karena itu, tidak ada gunanya kita sombong/berbesar kepala karena semua ada batasnya dan tidak kekal. Ini adalah Dhamma yang dipesankan lewat altar.

4. Air
Air ini melambangkan pembersih segala kotoran. Seperti air yang membersihkan semua debu-debu kekotoran; demikian juga ajaran Sang Buddha hendaknya bisa membersihkan segala kekotoran yang melekat di batin dan pikiran kita baik ketamakan, kebencian maupun kebodohan.

16 Ramalan buddha


16 ramalan sang buddha
Baca dan renungkan betapa Sempurnanya Buddha Guru Agung kita, dari 16 ramalan Sang Buddha, menurut anda sudah berapa yang terbukti di kehidupan kita ini
16 RAMALAN SANG BUDDHA [ 2553 BE ]
Pada zaman Sang Buddha, Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang mimpi-mimpi yang aneh, dan ingin mengetahui apakah itu meramalkan kejadian yang baik atau buruk. Oleh karena itu Beliau meminta Sang Buddha untuk meramalkan ke-16 mimpinya.
Mimpi No.1
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang empat ekor sapi yang kuat, berlari dengan garang dari empat jurusan ke arah satu dengan yang lainnya bagaikan mereka akan saling bertarung dalam kemarahan.. Ketika keempat sapi itu bertemu, mereka bukannya bertarung, melainkan melangkah mundur dan berjalan meninggalkan satu sama lain.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.1
Jauh dimasa yang akan datang, akan ada bencana alam. Hujan akan turun bukan pada musimnya. Akan ada mendung tebal bergerak dari 4 jurusan bagaikan akan turun hujan lebat di bumi. Ketika keempat gumpalan mendung ini saling mendekat, mereka kemudian bergerak pergi tanpa hujan di bumi. Benih-benih padi di sawah dan tumbuh-tumbuhan semuanya akan kering dan layu. Banyak manusia dan hewan akan mati kelaparan. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang.
Mimpi No.2
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang pepohonan muda yang belum cukup tua, tetapi sudah berbunga dan berbuah, dan karena sarat dengan bunga dan buah maka ranting-ranting mereka tampak tidak kuat menahannya.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.2
Jauh dimasa yang akan datang, para gadis yang masih sangat muda sudah ingin bersuami, sudah ingin menikah dan mempunyai keluarga, karena mereka dipenuhi oleh hasrat dan nafsu. Batin mereka akan sangat menginginkan kesenangan-kesenangan inderawi. Mereka akan menikmati tubuh, suara, bau, rasa, dan sentuhan kulit serta membutuhkan kenikmatan seksual dan hasrat nafsu. Akan menjadi suatu hal yang biasa bagi pasangan-pasangan untuk menikah pada usia yang sangat muda. Mereka tidak akan merasa malu menuruti hasrat hatinya dalam kehidupan seks seperti binatang. Ketika mereka hamil, mereka berusaha untuk bebas dari bayi itu, meskipun hal itu merupakan perbuatan yang penuh dosa. Sebagian anak masih akan hidup dengan orang tua mereka, tetapi yang lainnya tidak diurus lagi dan menjadi pengemis, hidup sendiri dan menggelandang, tanpa orang tua atau keluarga yang bisa memberikan pendidikan atau tempat untuk hidup. Mereka akan tidur dimana saja; kadangkala mereka bisa mendapatkan sesuatu untuk dimakan, tetapi kadangkala mereka kelaparan. Akan terjadi keadaan yang sangat menyengsarakan. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang. Mereka yang dilahirkan pada masa itu harus menghadapinya.
Mimpi No.3
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang sekawanan sapi dan lembu jantan yang menyusui kepada anak-anak mereka.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.3
Jauh dimasa yang akan datang, orangtua akan terpaksa bergantung pada hasil keringat anak-anak mereka. Mereka harus hidup dari makanan dan keperluan lainnya, termasuk uang, yang disediakan, yang disediakan oleh anak-anak mereka. Pada saat itu, para orang tua harus menyenangkan dan menyanjung anak-anak mereka setiap saat. Jika anak-anak senang kepada mereka, mereka akan memberi uang kepada orang tuanya. Jika tidak, orang tua tak akan mendapatkan apapun. Kejadian ini akan terjadi jauh dimasa yang akan datang.
Mimpi No.4
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang orang yang memaksa sapi kecil dan muda untuk menarik kereta. Ketika mereka tidak bisa melakukannya, mereka dipukul.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.4
Jauh dimasa yang akan datang, orang-orang cenderung akan membiarkan mereka yang baru lulus memikul tugas-tugas administratif negara yang berat. Meskipun kaum muda memiliki pengetahuan, tetapi mereka belum punya pengalaman, kecapakan, keahlian, dan kecermatan dalam hal mengelola persoalan-persoalan ekonomi, politik dan sosial. Mereka akan berbuat kesalahan dan membuat kemunduran. Kurangnya tanggung-jawab mereka akan menyebabkan defisit perdagangan dan kehancuran pada negara serta perkembangannya. Mereka menjadi sasaran cercaan masyarakat. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang.
Mimpi No.5
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang seekor kuda dengan satu kepala tetapi bermulut dua. Ia terus merumput melalui kedua mulutnya dan tampaknya tidak pernah cukup.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.5
Jauh dimasa yang akan datang, para hakim akan sedemikian liciknya sehingga mereka akan menerima uang suap dari kedua belah pihak dari satu kasus yang mereka tangani, baik dari pihak penggugat maupun dari pihak tergugat. Mereka mengharapkan sesuatu dari mereka. Mereka meminta tidak sedikit untuk kasus-kasus serius. Jika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka minta, mereka tidak akan menangani kasus itu. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang.
Mimpi No.6
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang tentang sekelompok orang yang mengorbankan talam emas yang berharga, sebagai tempat kencing dan berak bagi serigala-serigala.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.6
Jauh dimasa yang akan datang, orang-orang dungu akan membiarkan ajaran-ajaran Sang Buddha (Dhamma), disalah-gunakan dan dihancurkan oleh berbagai pemujaan keagamaan dengan cara memodifikasi Dhamma agar sesuai dengan ajaran-ajaran mereka sendiri yang tidak murni dan penuh nafsu.
Kemudian mereka akan mengatakan bahwa ajaran Sang Buddha merupakan bagian dari kepercayaan mereka. Banyak orang yang kemudian akan salah mengerti, mengira bahwa ajaran Sang Buddha itu setara dengan kepercayaan-kepercayaan lain tersebut, dan karenanya, sama saja. Kenyataannya cara-cara pemujaan itu tidak mengerti sama sekali nilai dari ajaran Sang Buddha. Orang-orang seperti mereka itu akan muncul ketika Sang Buddha telah mencapai Parinibbana. Akan ada begitu banyak cara pemujaan yang menyatakan bahwa mereka adalah agama yang benar.
Mimpi No.7
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang seorang yang duduk di bangku menganyam kulit harimau menjadi seutas tali, dan seekor serigala memakannya secepat tali itu selesai dianyam.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.7
Jauh dimasa yang akan datang, orang-orang dungu dengan moralitas rendah akan dipromosikan pada posisi yang mulia, bekerja di istana dan kerap kali bertindak atas nama raja. Karena dungu dan banyak bicara, mereka akan membocorkan rahasia istana kepada umum. Bagi mereka yang tidak menyukai raja, ini merupakan kesempatan utnuk menyebarkan gosip; karena itu raja akan tidak dipercayai. Rakyat akan kehilangan kepercayaan dan rasa hormatnya kepada Raja dan keluarga kerajaan. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang. Orang-orang yang tidak setia akan muncul dari dalam.
NB: Pendapat pribadi oleh JG= Mungkin zaman sekarang RAJA itu adalah Presiden / Kepala Pemerintahan / Perdana Menteri
Mimpi No.8
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang berbagai kendi besar dan kendi kecil terletak pada tempat yang sama. Orang berdesak-desakan utnuk menuangkan air ke dalam kendi-kendi yang besar sampai airnya tumpah, sebaliknya tak seorangpun yang mau menuangkan air ke dalam kendi-kendi yang kecil.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.8
Jauh dimasa yang akan datang, orang-orang akan memilih berdana barang-barang yang baik dan berharga kepada para bhikkhu yang berkedudukan tinggi dan senior. Bhikkhu-bhikkhu senior ini lalu akan menerima terlalu banyak makanan dan pemberian, sebaliknya bhikkhu-bhikkhu junior yang duduk disekitar tidak menerima apapun. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang.
Mimpi No.9
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang sebuah kolam besar. Air pada bagian luar sangat bersih, jernih dan sejuk, tetapi air di bagian tengahnya keruh dan berlumpur. Binatang-binatang besar dan kecil berkelahi untuk meminum air yang berlumpur, tetapi tak ada binatang yang mau meminum air yang bersih, jernih, dan sejuk itu.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.9
Jauh dimasa yang akan datang, orang-orang akan dipenuhi oleh keserakahan dan hawa nafsu. Mereka tak akan pernah mempunyai uang yang cukup. Mereka tidak menginginkan pekerjaan-pekerjaan yang bersih dan jujur tetapi bergaji kecil, yang tidak dapat memuaskan keserakahan mereka. Mereka berusaha mencari pengaruh dalam dewan nasional, sehingga mereka dapat mengatur negara serta sepenuhnya mengelola keuangan negara. Mereka akan berlaku licik dan tanpa rasa malu melakukan korupsi. Mereka akan puas hanya dengan mendapatkan banyak uang tanpa menghiraukan betapa kotornya cara mereka memperolehnya. Keadaan ini akan muncul pada setiap bangsa di seluruh dunia. Hal itu akan menjadi lebih dan lebih parah, yang mengakibatkan kekacauan di dalam tubuh dewan nasional, disana akan ada pertikaian terhadap posisi dimana mereka bisa mendapatkan uang yang lebih banyak. Mereka akan bertikai tentang siapa yang akan mendapat lebih banyak, siapa yang akan mendapat lebih sedikit, serta siapa yang tidak mendapatkan apapun. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang.
Mimpi No.10
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang nasi yang ditanak dalam panci, pada satu bagian panci nasinya matang, pada bagian lain setengah matang, pada bagian yang lain lagi sama sekali tidak matang.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.10
Jauh dimasa yang akan datang, orang akan terpecah di dalam keyakinannya. Sekelompok orang akan percaya pada ajaran-ajaran Sang Buddha, Dhamma sejati, yang ketika dipraktikkan sampai jenjang terakhir, benar dapat melenyapkan berbagai penderitaan. Kelompok ini akan mempercayai Nibbana, padamnya berbagai kekotoran batin dan penderitaan, sebagai tujuan dari jalan mulia. Mereka mempercayai bahwa ada neraka dan surga, bahwa kebajikan dan perbuatan jahat menyebabkan hasil baik dan buruk yang sesuai, dan tumimbal-lahir akan mengikuti kematian orang yang masih mempunyai kekotoran dan nafsu keinginan.
Kelompok yang lain akan ragu-ragu tentang apakah Jalan Mulia masih ada ketika agama Buddha sudah begitu lama. Mereka tidak yakin apakah ajaran Sang Buddha tetap sempurna, serta apakah masih ada bhikkhu yang baik yang bisa mencapai tingkat Nibbana. Mereka penuh dengan keragu-keraguan.
Kelompok yang lain lagi menolak mempercayai keseluruhan dari Jalam Mulia, hasil-hasilnya, serta Nibbana. Diantara kelompok ini tidak ada hal seperti neraka atau surga, maupun akibat apapun dari kebaikan dan kejahatan, ataupun kehidupan setelah kematian. Menjelang akhir dari agama Buddha, orang akan memiliki lebih banyak lagi pandangan-pandangan salah.
Mimpi No.11
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang sekelompok orang menukarkan kayu wangi yang berharga dan mahal, hanya dengan satu mangkuk susu asam, yang tidak sebanding harganya.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.11
Jauh dimasa yang akan datang, sekelompok orang akan memperdagangkan ajaran-ajaran Sang Buddha demi uang. Mereka akan menulis berbagai buku tentang ajaran Buddha serta menjualnya sebagai penghidupan mereka. Mereka akan menyusun berbagai syair tentang ajaran serta mengajarkannya demi sesuatu yang nilainya tidak sebanding sebagai gantinya. Kejadian ini akan terjadi menjelang berakhirnya agama Buddha.
Mimpi No.12
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang sebuah botol labu kering dan berlubang yang tenggelam di dalam air, bukannya mengapung seperti mestinya.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.12
Jauh dimasa yang akan datang, orang yang baik, berpengetahuan luas, cerdas, baik para bhikkhu maupun umat awam, tak akan dikagumi dalam masyarakat. Mereka setiap saat akan dihalangi oleh orang-orang yang jahat dan penuh dosa. Orang-orang yang jujur dan memenuhi syarat, tidak akan mendapat kesempatan untuk dipilih di dalam dewan nasional, serta untuk memimpin negara. Kalaupun mereka terpilih, mereka tidak bisa mengabdi kepada negara secara penuh. Kelompok yang dapat disuap akan berusaha memecat mereka demi kepentingannya sendiri. Menurut pendapat orang-orang yang tidak jujur, orang yang baik adalah musuh mereka, karena mereka tidak akan bekerjasama di dalam kejahatan mereka. Jadi tidak akan ada orang baik pada masyarakat semacam itu.
Demikian pula, para bhikkhu yang sejati dan baik hati, yang berlatih sesuai dengan Jalan Mulia, tak akan dihormati. Orang-orang tidak ingin mengunjungi mereka atau mendengarkan ajaran mereka. Mereka dianggap kuno dan tidak terhormat. Orang-orang tidak akan memperhatikan dan menghormati mereka. Meskipun orang-orang ini kaya-raya, tetapi mereka tidak akan memberikan apapun kepada para bhikkhu atau mereka hanya memberikan sedikit. Para bhikkhu akan menjalani kehidupan kebhikkhuan dengan sulit. Oleh sebab itu, tidak ada orang yang mau memasuki kehidupan kebhikkhuan, dan terjadilah kelangkaan bhikkhu yang baik di dalam agama Buddha. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang.
Mimpi No.13
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang sebongkah batu yang sebesar rumah mengapung di permukaan air, seperti perahu layar yang kosong. Biasanya batu tenggelam di air, tetapi yang satu ini mengapung di permukaan air.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.13
Jauh dimasa yang akan datang, orang yang jahat dan penuh dosa, yang tidak menjalankan sila apapun dan tidak bermoral, kejam, perayu dan tak tahu malu, akan dikagumi di masyarakat. Mereka akan mendapatkan kekuasaaan dan kemasyhuran serta mempunyai banyak pengikut dan pelayan. Umat awam seperti ini akan sangat dihormati, diterima dan disenangi oleh masyarakat. Sesungguhnya mereka adalah seperti cermin yang memantulkan keadaan dari masyarakat dan negara tersebut. Apakah masyarakatnya berkembang atau merosot, dapat dilihat dari cermin besar ini di dalam dewan nasional. Ini merupakan petunjuk, jendela, atau pintu dari masyarakat itu. Di suatu negara, wakil-wakil raja yang dipilih oleh masyarakat akan menunjukkan jenis masyarakat itu sendiri.
Dalam masyarakat bhikkhu dan bhikkhuni, agama bisa berkembang atau merosot adalah tergantung kepada empat kumpulan??? [maybe maksudnya 4 kebutuhan pokok]. Para bhikkhu tidak dapat hidup sendiri di dalam masyarakat. Bhikkhu akan dijadikan terkenal oleh umat awam yang SUPRANATURAL dan kesucian sang bhikkhu. Ini adalah menurut kepercayaan si umat awam tersebut tentang yang mana yang Suci. Pada saat itu, para Arahat – mereka yang telah bebas dari kekotoran batin dan penderitaan, adalah tergantung pada kepercayaan para pengikut. Pengikut pada setiap tradisi kepercayaan akan mempunyai definisinya sendiri tentang Arahat. Mereka akan memberitakan latihan keras dari bhikkhu mereka secara berlebihan. Itulah mengapa batu padat mengapung di permukaan air. Para bhikkhu yang terkenal dengan jalan ini hanya akan menggunakan pakaian kebhikkhuannya untuk usaha mereka. Mereka menggunakan agama untuk penghidupan mereka. Menjelang berakhirnya agama Buddha, orang-orang akan kehilangan rasa hormat mereka kepada agama. Kepercayaan mereka akan merosot karena mereka melihat kelakuan yang tidak baik diantara para bhikkhu. Orang bijaksana yang kokoh dalam pertimbangan akan mencari bhikkhu yang benar. Menjelang berakhirnya agama Buddha, kejadian ini akan terjadi.
Mimpi No.14
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang seekor katak pohon betina mengejar seekor kobra besar untuk disantap. Ketika ia menangkap kobra itu, ia segera menelan si kobra.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.14
Jauh dimasa yang akan datang, para bhikkhu yang terkenal dan populer akan berbicara dengan kata-kata yang mengesankan. Mereka berkotbah seperti kobra mengembangkan kepalanya, memainkan peranan penting dalam masyarakat serta mendapatkan penghormatan dan kepercayaan dari masyarakat. Mereka menerima kekayaan, ketenaran, dan gelar yang begitu banyak sehingga mereka melupakan diri sendiri serta kehilangan kesadaran dan kebijaksanaannya. Mereka tidak memiliki pengendalian terhadap mata, telinga, hidung, lidah, dan pikiran mereka, serta membiarkan indera-inderanya menikmati berbagai bentuk, suara, bau, rasa, dan sensasi-sensasi sentuhan, sampai kesenangan hawa nafsu memenuhi benak mereka. Itulah mengapa “katak-pohon betina yang kecil” mempunyai kesempatan dan merencanakan untuk menyerang pikiran dengan muslihat serta kata-kata manis, sampai “binatang kecil itu” dapat menangkap dan menelannya pada saat yang tepat.
Mimpi No.15
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang sekawanan angsa keemasan mengelilingi burung gagak. Kemana saja burung gagak itu pergi, angsa keemasan itu mengikuti di sekeliling mereka.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.15
Jauh dimasa yang akan datang, bhikkhu-bhikkkhu yang baru saja ditahbiskan, yang masih lugu dalam Dhamma, akan mengelilingi para bhikkhu yang tidak bermoral. Para bhikkhu baru ini akan menghormati bhikkhu-bhikkhu tersebut sebagai guru mereka. Para bhikkhu yang tidak bermoral ini pandai dalam mendapatkan harta, persis seperti burung gagak dalam mendapatkan makanan. Mereka akan memberi kepada bhikkhu-bhikkhu baru tersebut bagian mereka dari harta itu. Itulah mengapa angsa keemasan menyerah pada burung gagak. Menjelang berakhirnya agama Buddha, masyarakat kebhikkhuan akan berubah seperti ini. Jumlah bhikkhu yang tidak bermoral akan bertambah. Para bhikkhu junior yang tidak berpendidikan tak akan menjalankan aturan (vinaya) kebhikkhuan. Mereka tak akan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak, serta apa saja tugas mereka. Mereka akan memasuki kehidupan kebhikkhuan hanya karena tradisi. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang.
Mimpi No.16
Raja Pasenadi Kosala bermimpi tentang sekawanan kambing memburu seekor harimau dan mengunyahnya sebagai makanan.
Ramalan Sang Buddha mengenai Mimpi No.16
Jauh dimasa yang akan datang, orang-orang akan tidak puas dengan sistem kerajaan yang dijalankan. Mereka akan menentang pemerintahan semacam ini dan mencari demokrasi, dimana peranan dan kekuasaan raja dikurangi, dan semuanya dibawah hukum yang sama. Ketika raja menolak, mereka akan merampas kekuasaanya dengan paksa, sesuai dengan keperluan masyarakat. Raja-raja yang menolak akan digulingkan dan dipaksa untuk meninggalkan negara bersama dengan keluarganya. Ketika raja menyetujui untuk turun dari kekuasaannya sesuai dengan permintaan rakyat, mereka akan menghormati sang raja dan keluarga raja, seolah-olah raja dan keluarga tersebut adalah dewa dan pelindung mereka. Mereka akan menganggap sang raja sebagai pusat spiritual negara untuk selama-lamanya. Kejadian ini akan terjadi jauh di masa yang akan datang.

buddhayana

Buddhayana

Buddhayana merupakan sebuah gerakan agama Buddha Indonesia yang menghargai semangat pluralisme, inklusive, dan non-sektarian. Didalam wihara-wihara Buddhayana semua aliran utama agama Buddha dapat hidup bersama secara damai dan berkembang bersama dengan beradaptasi pada budaya lokal, budaya Indonesia.
Latar Belakang
Buddhayana dipelopori oleh mendiang Mahabiksu Ashin Jinarakkhita (Ven. Ti Zheng). Beliau dilahirkan di Bogor pada 23 Januari 1923 dengan nama The Boan An. Sejak remaja beliau sudah tertarik pada dunia spiritual, beliau banyak belajar kepada para suhu di kelenteng-kelenteng, haji, pastur, dan tokoh-tokoh teosofi. Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh Teosofi dan dari perkumpulan Tiga Ajaran (Tri Dharma). Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Setelah menamatkan studinya di Universitas Gronigen Belanda, beliau mengajar di beberapa sekolah di Jakarta. Disaat itu beliau aktif di Pemuda Theosofi dan Gabungan Sam Kaw Indonesia, serta mempelopori perayaan Waisak Nasional yang pertama di Candi Borobudur pada tahun 1953. Pada tahun yang sama, bertepatan dengan perayaan pencerahan sempuran Bodhisattva Avalokitesvara (Guan Yin) , The Boan An ditahbiskan oleh mendiang Mahabiksu Ben Qing sebagai samanera dengan nama Ti Zheng. Kemudian beliau belajar meditasi vipassana di Birma (Myanmar) dibawah bimbingan Mahasi Sayadaw serta ditahbiskan sebagai biksu oleh beliau, dan diberi nama Jinarakkhita. Beliau merupakan putra Indonesia pertama yang menerima pentahbisan biksu sejak runtuhnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Sekembalinya ke tanah air, beliau aktif mengajarkan meditasi dan memberikan ceramah ke berbagai pelosok di Indonesia. Beliau mendorong berdirinya wihara dan perkumpulan Buddhis dari kota hingga ke desa-desa. Atas usahanya yang giat inilah, agama Buddha mulai bangkit kembali.
Pada tahun 1955 berdirilah Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) sebagai wadah umat Buddha Indonesia, yang bertugas membantu sangha. Dalam perjalanan sejarahnya, PUUI sempat beberapa kali ganti nama, dan sekarang menggunakan nama Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).
Pada tahun 1960 juga berdiri Sangha Suci Indonesia sebagai wadah bagi para monastik (biksu/biksuni), pada tahun 1963 namanya disesuaikan menjadi Maha Sangha Indonesia. Tahun 1974 Maha Sangha Indonesia kembali melebur menjadi Sangha Agung Indonesia yang beranggotakan biksu/biksuni dari aliran Therawada, Mahayana dan Tantrayana.
Buddhayana Indonesia saat ini
Sangha Agung Indonesia saat ini dibawah pimpinan biksu Dharmawimala sebagai Maha-nayaka dan biksu Nyanasuryanadi sebagai Ketua Umum, serta Majelis Buddhayana Indonesia dibawah kepemimpinan Bapak Sudhamek AWS, meneruskan perjuangan Mahabiksu Ashin Jinarakkhita untuk mewujudkan agama Buddha Indonesia, yang tumbuh berkembang selaras dengan kebudayaan Indonesia dan berlandaskan pada semangat pluralis, inklusive dan non-sektarian.

Keluarga Buddhayana Indonesia dengan dipimpin oleh Sangha Agung Indonesia terdiri dari organisasi-organisasi sebagai berikut:
Majelis Buddhayana Indonesia
Wanita Buddhis Indonesia (WBI)
Wulan Bahagia
Pemuda Buddhayana (Sekber PMVBI)
Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia (Siddhi)
Ikatan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Imabi)

Saat ini organisasi dan wihara yang bernaung dibawah Keluarga Buddhayana Indonesia tersebar di 25 provinsi.