Senin, 04 Juni 2012
gempa bumi dalam pandangan agama buddha
Gempa Bumi Ditinjau Dari Sudut Pandang
Agama Buddha
Yaṅkiñci samudayadhammaṁ sabbantaṁ nirodhadhammaṁ”
Segala sesuatu yang timbul karena suatu sebab, didalamnya pun terdapat sebab yang membuat ia musnah kembali. (Dhammacakkappavattana Sutta)
Sebagai
makhluk hidup yang menghuni bumi ini, kita tidak asing lagi dengan
peristiwa terjadinya gempa bumi. Gempa bumi sebagai peristiwa alam
merupakan kejadian yang sering terjadi dan wajar. Kadang-kadang kita
merasakan getaran gempa bumi yang lemah, kadang-kadang kuat. Bila gempa
bumi menimbulkan getaran yang kuat sudah barang tentu akan
memporak-porandakan segalanya yang ada di bumi ini. Seperti yang
terjadi tahun ini, pada tanggal 12 September 2007 gempa berkekuatan 7,9
skala richter mengguncang Provinsi Bengkulu yang mengakibatkan puluhan
orang luka-luka, puluhan rumah, kantor pemerintahan dan rumah sakit
Bengkulu rusak parah. Gempa yang juga dirasakan hampir di seluruh pulau
Sumatera, Jakarta, bahkan Singapura ini menimbulkan kerusakan bangunan
di Bengkulu, Pagar Alam (Sumatera Selatan) hingga Padang, Sumatera
Barat.
Sejak
jaman dahulu, bila terjadi gempa bumi, masyarakat Indonesia menganggap
bahwa itu sebuah pertanda atau peringatan bagi kita, entah pertanda
baik atau buruk. Dalam memberikan tanggapan ini tergantung dari orang
yang menginterprestasikannya. Tanggapan masyarakat tentu berbeda dengan
tanggapan agama Buddha. Menurut tanggapan masyarakat, gempa bumi
merupakan suatu legenda yang dianggap suatu kebenaran yang terus
diyakini hingga sekarang ini. Sebagai contoh, menurut orang jaman
dahulu, apabila terjadi gempa, itu pertanda bahwa ada lini/lindu
yang bangun dari tidurnya. Pada saat itu masyarakat keluar dari
rumahnya sambil meneriakkan; aya…aya…aya…dan
seterusnya, agar lini mengetahui bahwa manusia di dunia ini masih ada. Dengan demikian gempa akan mereda atau hilang. Konon diceritakan bahwa lini
adalah raksasa penghuni bumi, ketika ia bergerak saja akan menimbulkan
gempa bumi yang sangat dahsyat. Oleh karena itulah dianggap sebagai
gempa bumi. Ada lagi yang menganggap bahwa gempa bumi adalah suatu
pertanda bahwa dunia ini sebentar lagi akan kiamat. Lain halnya dengan
pandangan masyarakat Jawa. Menurut legenda yang terjadi di masyarakat
Jawa, bumi ini disangga oleh seekor ular naga raksasa. Ular ini sangat
besar sekali yang bernama Hyang Anantaboga. Karena merasa lelah dan mau
merubah posisinya, ular ini bergerak sehingga menimbulkan bumi
berguncang dan terjadilah gempa bumi yang sangat dahsyat sekali.
Kita
telah mendengar tanggapan yang terjadi di masyarakat. Karena itulah
kita akan meninjau gempa bumi menurut pandangan agama Buddha yang akan
memberikan pandangan dengan jelas sehingga akan menimbulkan keyakinan
agama Buddha. Di samping itu, akan meluruskan terjadinya salah
pandangan terhadap gempa bumi dan mengetahui dengan pasti
sebab-sebabnya, sehingga kita tak akan terpengaruh dengan cerita atau
legenda yang berkembang di masyarakat dan dapat membuktikan
kebenarannya secara agama Buddha dengan jalan membandingkan pendapat
masyarakat dengan agama Buddha.
Agama
Buddha sebenarnya sudah sangat lama mengetahui hal ini sesuai dengan
jawaban yang diberikan oleh Sang Buddha lebih dari dua ribu lima ratus
tahun yang lalu, dan jawaban ini sangat tepat dengan ilmu pengetahuan.
Dalam Mahāparinibbāna Sutta, Sang Buddha pada waktu itu
menjelaskan kepada Ananda tentang sebab-sebab terjadinya gempa bumi.
”Ananda ada delapan alasan sampai terjadinya gempa bumi yang
dahsyat itu. Apakah delapan sebab itu?
1. Bumi
yang luas ini terbentuk dari zat cair, zat cair terbentuk dari udara,
dan udara ada di angkasa. Apabila udara bertiup dengan dahsyatnya, maka
zat cair terguncang. Keguncangan zat cair ini menyebabkan bumi bergetar.
2. Apabila
ada seorang petapa brahmana yang memiliki kekuatan batin mahabesar,
seorang yang telah memperoleh kekuatan untuk mengendalikan pikiran,
atau sesosok dewata yang mahakuasa, yang mahatahu mengembangkan
pemusatan pikirannya yang hebat pada unsur bumi ini, dan pada suatu
tingkatan yang terbatas pada unsur zat cair, ia juga dapat
mengakibatkan bumi bergetar.
3. Sang Bodhisatta turun dari surga Tusita dan masuk ke rahim (kandungan) seorang ibu dengan kesadaran penuh dan pikiran terpusat.
4. Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibunya dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat.
5. Sang Tathagata memperoleh penerangan agung, penerangan sempurna yang tiada bandingnya.
6. Sang Tathagata menggerakkan roda Dhamma yang gilang-gemilang.
7. Sang Tathagata mengambil keputusan untuk parinibbāna mengakhiri hidupnya.
8. Apabila Sang Tathagata tiba saatnya parinibbāna.
Inilah
delapan sebab bagi terjadinya gempa bumi. Dari delapan sebab di atas,
terjadinya gempa bumi tentu tidak dengan sendirinya, pasti ada
sebabnya. Sebab gempa bumi menurut agama Buddha adalah hukum alam
semesta yang ada dan mutlak berlaku di tiga puluh satu (31) alam
kehidupan. Untuk mengetahui cara kerja hukum ini, di sini akan
diuraikan menjadi lima yaitu:
1. Utu niyāma
Hukum
universal tentang energi, yang mengatur temperatur, cuaca, terbentuknya
bumi, hancurnya bumi, tata surya, pertumbuhan manusia, binatang dan
pohon, gempa bumi, gunung meletus, angina, hujan, halilintar, dan
sebagainya.
2. Bīja niyāma
Hukum
universal yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan yaitu bagaimana biji,
stek, batang, pucuk daun dapat bertunas atau tumbuh, berkembang dan
berubah.
3. Kamma niyāma
Hukum universal yang mengatur tentang perbuatan, hukum sebab-akibat, dan hukum moral.
4. Citta niyāma
Hukum
universal tentang pikiran atau batin. Pikiran manusia sangatlah luas,
beraneka ragam dan rumit sekali untuk diketahui dan dimengerti. Ada
orang memiliki pikiran dan batin yang lemah, kuat, emosional, dan
sebagainya. Bila pikiran dikembangkan, seseorang menjadi pintar,
memiliki ingatan kuat, memiliki kekuatan batin, hingga mencapai
kesucian.
5. Dhamma niyāma
Hukum
universal tentang segala sesuatu yang tidak dapat diatur oleh keempat
niyāma tersebut. Hukum tertib terjadinya persamaan dari suatu gejala
yang khas, misalnya: terjadinya keajaiban alam pada waktu seorang
Bodhisatta hendak mengakhiri hidupnya sebagai seorang calon Buddha,
pada saat ia akan terlahir untuk menjadi Buddha. Hukum gaya berat
(gravitasi) dan hukum alam sejenis lainnya, sebab-sebab dari pada
keselarasan dan sebagainya, termasuk hukum ini.
Dengan
mengikuti cara kerja hukum semesta ini jelaslah bahwa sebab gempa bumi
yang pertama diatur oleh hukum utu niyāma. Gempa bumi yang diakibatkan
oleh sebab yang pertama, bila getarannya sangat kuat akan
memporak-porandakan segala yang ada di muka bumi ini. Tetapi bila gempa
bumi yang diakibatkan oleh sebab yang kedua sampai kedelapan, meskipun
getarannya begitu kuat dan hebat serta dibarengi oleh petir yang
menyambar-nyambar tidak akan menimbulkan kerusakan maupun korban jiwa.
Demikianlah
uraian tentang gempa bumi ditinjau dari sudut pandang agama Buddha.
Semoga dapat dimengerti dengan jelas dan dapat menambah wawasan yang
luas terhadap Buddha Dhamma.
Langganan:
Postingan (Atom)