Minggu, 20 Mei 2012

Pokok-Pokok Dasar Pemersatu Theravada dan Mahayana
Pendahuluan
Dalam suatu faham, kepercayaan ataupun agama tentunya memiliki ciri khas dalam ide, konsep ataupun ajarannya yang membedakannya satu dengan yang lain. Meskipun dalam suatu faham, kepercayaan ataupun agama tersebut memiliki aliran atau mazab atau tradisi yang beraneka ragam, namun pastilah memiliki ciri khas, kesamaan beberapa konsep ajaran yang mendasar yang menghubungan satu dengan yang lain sehingga aliran-aliran tersebut masih dapat digolongkan dalam faham, kepercayaan ataupun agama induknya.

Buddhisme merupakan agama yang juga tidak lepas dari keberagaman aliran ataupun tradisi. Mayoritas, terdapat dua aliran atau tradisi dalam Buddhisme, yaitu Theravada dan Mahayana (dengan mempertimbangkan Vajrayana merupakan bagian dari Mahayana). Digolongkannya aliran Theravada maupun Mahayana sebagai bagian dari Buddhisme tidak lepas dari adanya kesamaan yang mendasar dalam beberapa konsep ajaran yang merupakan inti sari dari Buddha Dhamma.

Dalam tulisan kali ini, kita disuguhkan persamaan pokok-pokok dasar yang terdapat dua aliran besar dalam Buddhisme yang menjadi pemersatu keduanya. Pokok-pokok dasar pemersatu ini terdapat dalam rumusan-rumusan yang sebelumnya telah dipelajari, disusun, dan diterima oleh para rohaniawan khususnya yang tergabung dalam Dewan Sangha Buddhis Sedunia.


Rumusan Oleh Dewan Sangha Buddhis Sedunia
Pada tahun 1966, Dewan Sangha Buddhis Sedunia atau World Buddhist Sangha Council (WBSC) terbentuk di Colombo, Sri Lanka pada bulan Mei. WBSC merupakan organisasi internasional non-pemerintah yang keanggotaannya terdiri dari sangha-sangha dari seluruh dunia.

WBSC memiliki perwakilan dari tradisi Theravada, Mahayana, dan Vajrayana, yang berasal dari berbagai negara yaitu: Australia, Bangladesh, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea, Macao, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, New Zealand, Philipina, Singapura, Sri Lanka, Sweden, Taiwan, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat.

Pada Kongres WBSC Pertama, salah satu pendirinya, Sekretaris-jendral, almarhum Y.M. Pandita Pimbure Sorata Thera meminta Y.M. Walpola Rahula untuk memberikan rumusan ringkas untuk mempersatukan tradisi-tradisi yang berbeda, yang kemudian secara bulat disetujui oleh Dewan. Inilah sembilan “Pokok-Pokok Dasar Pemersatu Theravada dan Mahayana”:
  1. Sang Buddha hanyalah satu-satunya Guru dan Penunjuk Jalan.
  2. Kami berlindung dalam Ti Ratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha).[1]
  3. Kami tidak mempercayai dunia ini diciptakan dan diatur oleh tuhan.[2]
  4. Kami mengingat bahwa tujuan hidup adalah mengembangkan belas kasih untuk semua makhluk tanpa diskriminasi dan berusaha untuk kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian mereka; dan untuk mengembangkan kebijaksanaan yang mengarah pada perealisasian Kebenaran Tertinggi.Kami menerima Empat Kebenaran Arya, yaitu dukkha, penyebab timbulnya dukkha, padamnya dukkha, dan jalan menuju pada padamnya dukkha; dan menerima hukum sebab dan akibat (Paticcasamuppada/ Pratityasamutpada).
  5. Segala sesuatu yang berkondisi (sankhara / samskara) adalah tidak kekal (anicca / anitya) dan dukkha, dan segala sesuatu yang berkondisi dan yang tidak berkondisi (dhamma) adalah tanpa inti, bukan diri sejati (anatta / anatma).
  6. Kami menerima Tigapuluh Tujuh (37) kualitas yang membantu menuju Pencerahan (Bodhipakkhika Dhamma / Bodhipaksa Dharma) sebagai segi-segi yang berbeda dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha yang mengarah pada Pencerahan.
  7. Ada tiga jalan mencapai bodhi atau Pencerahan: yaitu sebagai Savakabuddha / Sravakabuddha, sebagai Paccekabuddha / Pratyekabuddha, dan sebagai Samyaksambuddha / Sammasambuddha. Kami menerimanya sebagai yang tertinggi, termulia dan terheroik untuk mengikuti karir Bodhisattva dan untuk menjadi seorang Sammasambuddha dalam rangka menyelamatkan makhluk lain. [3]
  8. Kami mengakui bahwa di negara yang berbeda terdapat perbedaan pandangan kepercayaan-kepercayaan dan praktik Buddhis. Bentuk dan ekspresi luar ini seharusnya tidak boleh dicampuradukkan/dikelirukan (perlu dipisahkan) dengan esensi/inti ajaran-ajaran Sang Buddha.

Perluasan Rumusan
Pada tahun 1981 Y.M. Walpola Sri Rahula mengajukan alternatif rumusan yang mengacu pada 9 dasar dalam rumusan terdahulu. Rumusan tersebut berisi:
  1. Apapun aliran, kelompok atau sistem kami, sebagai Buddhis kami semua menerima Sang Buddha sebagai Guru kami yang memberikan kami ajaranNya.
  2. Kami semua berlindung pada Tiga Permata (Tiratana): Sang Buddha, Guru kami; Dhamma, ajaranNya; dan Sangha, Komunitas para Arya (suciwan). Dengan kata lain, kami berlindung pada Pengajar, Pengajaran, dan Hasil Pengajaran.
  3. Baik Theravada ataupun Mahayana, kami tidak mempercayai bahwa dunia ini diciptakan dan diatur oleh tuhan atas kehendaknya.
  4. Mengikuti keteladanan Sang Buddha, Guru kami yang merupakan perwujudan dari Belas kasih Agung (Maha Karuna) dan Kebijaksanaan Agung (Maha Prajna), kami menyadari bahwa tujuan dari hidup adalah untuk mengembangkan belas kasih bagi semua makhluk hidup tanpa diskriminasi dan untuk bekerja untuk kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian mereka; dan untuk mengembangkan kebijaksanaan yang mengarah pada realisasi Kebenaran Tertinggi.
  5. Kami menerima Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha, yaitu, Dukkha, kebenaran bahwa keberadaan kita di dunia ini berada dalam kesukaran, tidak kekal, tidak sempurna, tidak memuaskan, penuh dengan konflik; Samudaya, kebenaran bahwa kondisi-kondisi ini merupakan hasil dari sifat egois kita yang mementingkan diri sendiri berdasarkan pada ide yang salah mengenai diri; Niroda, kebenaran bahwa adanya kepastian akan kemungkinan pelepasan, pembebasan, kemerdekaan dari kesukaran ini dengan pemberantasan secara total sifat egois yang mementingkan diri sendiri; dan Magga, kebenaran bahwa pembebasan ini dapat dicapai melalui Jalan Tengah yang terdiri dari delapan faktor, yang mendorong ke arah kesempurnaan akan kemoralan (sila), disiplin mental (samadhi), dan kebijaksanaan (panna).
  6. Kami menerima hukum semesta sebab akibat yang terdapat dalam Paticcasamuppada (Skt. Pratityasamutpada, Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan), dan oleh karena itu kami menerima bahwa segala sesuatu bersifat relatif, saling berhubungan, saling berkaitan dan tidak ada yang mutlak, tetap, dan kekal di alam semesta ini.
  7. Kami memahami, berdasarkan pada ajaran Sang Buddha, bahwa segala sesuatu yang berkondisi (sankhara) adalah tidak kekal (anicca), tidak sempurna dan tidak memuaskan (dukkha), dan segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi (dhamma) adalah bukan diri/ tanpa inti (anatta).
  8. Kami menerima Tigapuluh Tujuh kualitas yang berguna bagi pencapaian Pencerahan (Bodhipakkhiya Dhamma) sebagai beragam aspek yang berbeda dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha yang mendorong ke arah Pencerahan, yaitu:
    1. Empat Bentuk Landasan Perhatian Benar (Pali: satipatthana; Skt. smrtyupasthana);
    2. Empat Daya Upaya Benar (Pali. sammappadhana; Skt. samyakpradhana);
    3. Empat Dasar Kekuatan Batin (Pali. iddhipada; Skt. rddhipada);
    4. Lima Macam Kemampuan (indriya: Pali. saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);
    5. Lima Macam Kekuatan (bala: saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);
    6. Tujuh Faktor Pencerahan Agung (Pali. bojjhanga; Skt. bodhianga);
    7. Delapan Ruas pada Jalan Mulia (Pali. ariyamagga; Skt. aryamarga).
  9. Ada tiga jalan untuk mencapai Bodhi atau Pencerahan Agung berdasarkan pada kemampuan/kecakapan dan kapasitas dari masing-masing individu, yaitu: sebagai seorang Sravaka (Yang melaksanakan ajaran Sammasambuddha ), sebagai seorang Pratyekabuddha (Buddha Yang tidak memberikan pengajaran) dan sebagai seorang Samyaksambuddha (Buddha Yang Sempurna). Kami menerima jika mengikuti karir seorang Boddhisattva adalah untuk menjadi seorang Samyaksambuddha dalam rangka menyelamatkan yang lain, merupakan sesuatu yang tertinggi, mulia dan paling heroik. Tetapi ketiga kondisi ini berada dalam Jalan yang sama, tidak berada dalam jalan yang berbeda. Sesungguhnya, Sandhinirmocana Sutra, salah satu sutra Mahayana yang penting, secara jelas dan  tegas mengatakan bahwa mereka yang mengikuti garis Sravaka-yana (Wahana Sravaka) atau garis Pratyekabuddha-yana (Wahana Pratyekabuddha) atau garis Para Tathagata (Mahayana) mencapai Nibbana tertinggi dengan Jalan yang sama, dan oleh karena itu bagi mereka semua hanya ada satu Jalan Pemurnian (visuddhi-marga) dan hanya satu Pemurnian (visuddhi) dan tidak ada yang lain, dan oleh karena itu mereka bukanlah jalan yang berbeda dan pemurnian yang berbeda, dan oleh karena itu Sravakayana dan  Mahayana merupakan Satu Wahana, Satu Yana (eka-yana) dan bukanlah wahana atau yana yang berbeda.
  10. Kami mengakui bahwa dalam negara-negara yang berbeda ada perbedaan mengenai tata cara hidup dari para biarawan Buddhis, kepercayaan dan praktik, upacara dan ritual-ritual, seremonial, adat istiadat dan kebiasaan umat Buddha yang bersifat umum. Bentuk eksternal (luar) dan ekspresi ini semestinya tidak boleh dicampuradukkan/dikelirukan (perlu dipisahkan) dengan esensi/inti ajaran-ajaran Sang Buddha.
Rumusan Lain
Ada beberapa tokoh ataupun sarjana Buddhis yang juga merumuskan persamaan ajaran antara Theravada dan Mahayana yang isinya sebagian besar sama dengan rumusan WBSC.

Y.M. K. Sri Dhammananda memberikan rumusan seperti berikut:
  1. Kedua aliran menerima Buddha Sakyamuni sebagai Guru.
  2. Empat Kebenaran Arya adalah sama persis dikedua aliran.
  3. Jalan Utama Berunsur Delapan adalah sama persis dikedua aliran.
  4. Paticcasamuppada atau ajaran akan Sebab-Musabab Yang Bergantungan adalah sama persis dikedua aliran.
  5. Kedua aliran menolak ide akan “makhluk tertinggi” yang menciptakan dan mengatur dunia ini.
  6. Kedua aliran menerima Anicca, Dukkha, Anatta dan Sila, Samadhi, Panna tanpa adanya perbedaan.

Rumusan dari Oo Maung:
  1. Kesamaan dalam menerima Empat Kebenaran Arya.
  2. Kesamaan dalam menerima Jalan Utama Berunsur Delapan.
  3. Kesamaan dalam menerima Paticcasamuppada atau Sebab-Musabab Yang Bergantungan.
  4. Kesamaan dalam menerima Anicca, Dukkha, Anatta.
  5. Kesamaan dalam menerima Sila, Samadhi, Panna.
  6. Kesamaan dalam menolak konsep tuhan tertinggi.
Rumusan dari Tan Swee Eng:
  1. Buddha Sakyamuni merupakan pendiri Buddhisme yang asli dan berdasarkan sejarah.
  2. Tiga Corak Universal (Dukkha, Anica, dan Anatta), Empat Kebenaran Arya, Jalan Utama Berunsur Delapan, dan 12 rantai Sebab-Musabab Yang Bergantungan, merupakan fondasi dasar bagi seluruh aliran Buddhisme termasuk aliran Tibet dari Vajrayana.
  3. Tiga unsur latihan yaitu Kemoralan (sila), Meditasi (samadhi) dan Kebijaksanaan (prajna) adalah hal yang universal bagi semua aliran.
  4. Pengorganisasian Ajaran Buddha / Dharma terbagi menjadi tiga klasifikasi (Sutra/Sutta, Vinaya, dan sastra) terdapat pada kanon Buddhis di berbagai negara.
  5. Konsep pikiran melampaui materi. Pikiran sebagai hal yang mendasar dari penjinakan dan kontrol adalah hal yang fundamental bagi semua aliran.

Penutup
Dengan rumusan pokok-pokok dasar pemersatu ini, diharapkan kita dapat memahami ciri khas ajaran yang ada dalam Buddhisme yang membedakan agama besar ini dengan agama atau kepercayaan lainnya yang ada di dunia. Kita dapat memahami bahwa meskipun terdapat perbedaan antar aliran, namun memiliki ajaran pokok yang sama yang apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat mengarahkan kita pada akhir penderitaan, Nibbana / Nirvana.
--End--

Catatan:
  1. Berlindung dalam Ti Ratana bukan berarti berserah diri. Buddha dalam pengertian Guru pembimbing, dimana Sakyamuni Buddha adalah Buddha Sejarah. Dan Buddha dalam pengertian Kesadaran. Dhamma dalam pengertian Kebenaran ataupun Ajaran Buddha. Sangha dalam pengertian persaudaraan / perkumpulan para Bhikkhu Arya.
  2. tuhan yang dimaksud adalah yang memiliki definisi: berpersonal, pencipta semesta, prima causa, ayah/ibu dari semua makhluk, paramatman, yang maha segalanya.  
  3. Savakabuddha: pencapaian Pencerahan melalui mendengar ajaran dari Sammasambuddha.  Paccekabuddha: pencapaian Pencerahan dengan usaha sendiri tanpa mengajar. Sammasambuddha: pencapaian pencerahan dengan usaha sendiri dan mengajar.
Literatur:
  1. The Heritage of the Bhikkhu; Walpola Rahula; New York, Grove Press, 1974; hal. 100, 137-138.
  2. Two Main Schools of Buddhism; K. Sri Dhammananda; Brickfields, Kuala Lumpur.
  3. Common Ground Between Theravada and Mahayana Buddhism; Tan Swee Eng; www.buddhanet.net
  4. Theravada Versus Mahayana; Oo Maung, 2006
Disusun oleh: Bhagavant.com
Buddhisme, Satu-Satunya Sains Yang Sejati

Perth, Australia -- Saya dulunya seorang ilmuwan. Saya belajar Ilmu Fisika Teoritis di Universitas Cambridge, berada di dalam gedung yang sama dengan seseorang yang kemudian dikenal sebagai Profesor Stephen Hawking. Saya menjadi kecewa dengan sains ketika sebagai orang-dalam, saya melihat betapa menjadi dogmatisnya seorang ilmuwan. Dogma, menurut kamus, merupakan pernyataan arogan dari sebuah opini.(1)

Ini merupakan suatu uraian yang sesuai dari sains yang saya saksikan di laboratorium Cambridge. Sains telah kehilangan rasa malunya. Opini yang bersifat egoistis mengalahkan pencarian Kebenaran yang berimbang. Aforisme (peribahasa) favorit saya pada waktu itu adalah: “Keunggulan seorang ilmuwan besar diukur oleh banyaknya waktu yang mereka gunakan untuk MERINTANGI KEMAJUAN di dalam bidang mereka!”

Untuk memahami sains yang sebenarnya, seseorang bisa kembali kepada salah satu bapak pendirinya, seorang filosof Inggris, yaitu Francis Bacon (1561 – 1628). Ia menyelesaikan kerangka kerja yang dengannya sains mengalami kemajuan, yaitu “kekuatan besar dari kasus-kasus penolakan"

Ini berarti bahwa, dalam mengajukan sebuah teori untuk menjelaskan beberapa fenomena alam, maka seseorang harus mencoba sebaik mungkin untuk bisa membuktikan kebalikan dari teori itu! Seseorang seharusnya menguji teorinya dengan eksperimen yang menantang. Seseorang harus mengujinya dengan argumen yang ketat.

Hanya ketika suatu kelemahan muncul pada teori, maka sains itu mengalami kemajuan. Sebuah penemuan baru telah memungkinkan sebuah teori untuk dapat disesuaikan dan diperbaiki. Metodologi sains yang fundamendal dan murni ini memahami bahwa tidaklah mungkin untuk membuktikan semuanya dengan kepastian yang mutlak. Seseorang hanya bisa menyangkal (membuktikan kebalikan) dengan kepastian yang mutlak.

Sebagai contoh, bagaimana seseorang dapat membuktikan hukum dasar gravitasi yang mengatakan “apa yang naik akan turun dengan segera?” Seseorang bisa melempar ke atas beberapa objek sebanyak sejuta kali dan melihat objek-objek tersebut jatuh sebanyak sejuta kali. Tetapi tetap tidak membuktikan “apa yang naik akan turun”.

Bagi NASA, mungkin setelah “melempar” roket Saturnus ke atas, ke ruang angkasa untuk menjelajahi planet Mars, maka roket itu tidak pernah turun ke bumi lagi. Sebuah kasus negatif cukup untuk menyangkal (membuktikan kebalikan) dari teori dengan kepastian mulak.

Beberapa ilmuwan yang salah arah mempertahankan teori bahwa tidak ada kelahiran kembali, mengatakan bahwa arus kesadaran ini tidak dapat kembali kepada keberadaan manusia secara berlanjut. Menurut sains, seseorang perlu menyangkal (membuktikan kebalikan) teori ini, yaitu dengan menemukan satu kasus kelahiran kembali, hanya satu kasus!

Seperti beberapa dari Anda sudah mengetahuinya, Professor Ian Stevenson, telah mendemonstrasikan banyak kasus kelahiran kembali. Teori tidak ada kelahiran kembali telah dapat disangkal. Kelahiran kembali sekarang adalah sebuah fakta ilmiah!

Sains modern memberikan prioritas yang rendah bagi usaha apapun untuk menyangkal (membuktikan kebalikan) teori yang ia pelihara. Ada terlalu banyak kepentingan kekuasaan, gengsi dan dana penelitian. Komitmen yang berani untuk kebenaran akan membuat terlalu banyak ilmuwan keluar dari zona kenyamanan mereka.

Para ilmuwan, sebagian besar, telah dicuci otaknya oleh pendidikan mereka dan dalam kelompok mereka untuk melihat dunia dengan cara yang sangat sempit, sangat kecil sekali. Ilmuwan yang paling parah adalah mereka yang berkelakuan seperti evangelis eksentrik (2), mengklaim bahwa hanya mereka sajalah yang memiliki seluruh kebenaran, dan kemudian merasa berhak untuk memaksakan pandangan-pandangan mereka kepada orang lain.

Orang awam mengetahui begitu sedikit mengenai sains, bahkan mereka sukar untuk memahami bahasa yang digunakan sains.

Kemudian, jika mereka membaca di surat kabar atau majalah “seorang ilmuwan mengatakan demikian?”, maka mereka langsung secara otomatis menerima hal itu sebagai kebenaran. Bandingkan hal ini dengan reaksi kita ketika kita membaca dalam jurnal yang sama “seorang politikus mengatakan demikian?”! Mengapa para ilmuwan memiliki kredibilitas yang tidak tertandingi seperti itu?

Mungkin ini disebabkan oleh bahasa dan ritual sains menjadi begitu jauh beralih kepada orang awam, dimana para ilmuwan kini menjadi dipuja-puja dan menjadi keimamaman yang mistis.

Berpakaian dengan pakaian upacara berupa jas laboratorium putih mereka, melafalkan bahasa yang tidak dapat dimengerti mengenai fraktal multi dimensi alam semesta yang paralel, dan mempertunjukkan upacara gaib yang mengubah logam dan plastik menjadi TV dan komputer, pada masa modern ini para ahli kimia begitu hebatnya sehingga kita akan percaya apapun yang mereka katakan. Ke-elitan sains menjadi sesuatu yang mutlak seperti halnya seorang Paus.

Beberapa orang mengetahui lebih baik. Banyak dari apa yang telah saya pelajari 30 tahun yang lalu sekarang telah terbukti salah. Sayangnya, banyak para ilmuwan dengan integritas dan rasa malu, yang menegaskan apa itu sains sesungguhnya, pekerjaannya masih dalam pengembangan.

Mereka mengetahui bahwa sains hanya dapat mengusulkan sebuah kebenaran, tetapi tidak akan pernah mencapai sebuah kebenaran. Saya pernah diceritakan oleh seorang praktisi Buddhis, dimana pada hari pertamanya di sekolah medis di Sydney, seorang Profesor terkemuka, kepala dari Sekolah Medis tersebut, memulai pidato penyambutannya dengan menyatakan “Setengah dari apa yang akan kami ajarkan kepada kalian pada beberapa tahun ke depan adalah salah. Permasalahannya adalah kami tidak tahu apa yang setengahnya lagi!” Itulah perkataan dari seorang ilmuwan sejati.

Beberapa ilmuwan evangelis akan melakukan sebaik mungkin untuk mengungkapkan perkataan kuno (yang sudah digubah) “Ilmuwan datang saat para malaikat takut untuk melangkah” dan mereka berhenti untuk membahas mengenai sifat alami pikiran, kebahagiaan, apalagi Nibbana. Khususnya para ahli neurology (ahli urat saraf) cenderung mengalami neurosis. (Neurosis : suatu ketundukan yang di luar batas terhadap pikiran-pikiran atau benda-benda yang tidak realistis) (3) 

Mereka mengklaim bahwa pikiran, kesadaran dan kehendak, pada saat ini cukup dijelaskan melalui aktivitas di dalam otak. Teori ini telah disangkal lebih dari 20 tahun yang lalu oleh penemuan Prof. Lorber mengenai seorang pelajar di Universitas Sheffield yang memiliki IQ 126, lulusan terbaik dalam bidang matematika, tetapi ia tidak memiliki otak secara virtual (Science, Vol. 210, 12 Dec 1980)!

Yang terbaru, hal tersebut telah disangkal oleh Prof. Pim Van Lommel, yang mempertunjukkan keberadaan aktivitas kesadaran setelah kematian secara klinik, yaitu ketika seluruh aktivitas otak telah berhenti (Lancet, Vol. 358, 15 Desember 2001, p 2039).

Meskipun mungkin ada banyak hubungan antara sebuah aktivitas terukur di bagian otak dan kesan mental, beberapa peristiwa atau fakta yang ada secara berdampingan tidak selalu menyiratkan bahwa yang satu adalah penyebab dari yang lain. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu, sebuah penelitian memperlihatkan sebuah hubungan yang jelas antara perokok dan tidak terjadinya gejala penyakit Alzheimer.

Bukanlah karena merokok yang menyebabkan kekebalan terhadap penyakit Alzheimer, seperti yang diharapkan oleh perusahaan tembakau, ini hanyalah karena para perokok tidak memiliki hidup yang cukup panjang untuk mendapatkan penyakit Alzheimer!

Contoh di atas merupakan peristiwa yang bersamaan dari dua fenomena, bahkan ketika terulang kembali, bukanlah berarti salah satu fenomena tersebut merupakan penyebab dari fenomena yang lainnya. Mengklaim bahwa aktivitas di dalam otak menyebabkan suatu kesadaran, atau pikiran, jelaslah bukan merupakan hal yang bersifat ilmiah.

Buddhisme lebih bersifat ilmiah dibanding dengan sains modern. Seperti halnya sains, Buddhisme berdasarkan pada hubungan sebab-akibat yang dapat dibuktikan. Tetapi tidak seperti sains, Buddhisme menghadapi setiap kepercayaan dengan saksama.

Kalama Sutta yang terkenal dalam Buddhisme menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mempercayai secara penuh pada “apa yang seseorang ajarkan, pada tradisi, kabar burung, kitab suci, logika, kesimpulan, penampilan, kesepakatan berdasarkan pada opini, berdasarkan kesan atas kemampuan sang guru, atau bahkan pada guru pribadi seseorang”.

Berapa banyak ilmuwan yang tegas dalam pemikiran mereka seperti ini? Buddhisme menghadapi segalanya, termasuk logika.

Perlu dicatat adalah bahwa Teori Kuantum muncul sebagai sesuatu yang tidak logis, bahkan bagi seorang ilmuwan besar seperti Einstein, ketika teori tersebut diajukan untuk pertama kalinya. Teori tersebut belum disangkal. Logika hanya dapat dipercaya sebagai anggapan-anggapan sebagai dasarnya. Buddhisme hanya mempercayai pengalaman yang jelas/jernih dan objektif.

Pengalaman yang jelas atau jernih terjadi ketika alat ukur seseorang berupa pikiran sehatnya, cermelang dan tidak terganggu. Dalam Buddhisme, hal ini terjadi ketika rintangan berupa kelambanan dan kemalasan serta keresahan dan penyesalan, seluruhnya dapat diatasi. Pengalaman yang objektif merupakan pengalaman yang bebas dari segala penyimpangan (bias).

Dalam Buddhisme, tiga jenis penyimpangan (bias) adalah, napsu keinginan, kehendak buruk dan keragu-raguan yang bersifat tidak pasti. Napsu keinginan membuat seseorang hanya melihat apa yang ingin ia lihat, napsu keinginan membelokkan kebenaran sehingga sesuai dengan apa yang disukai oleh seseorang. Kehendak buruk membuat seseorang buta pada apapun juga yang mengganggu atau yang membingungkan pandangan seseorang dan ia mengubah kebenaran dengan penyangkalan.

Keraguan yang tak pasti dengan keras kepala menolak segala kebenaran tersebut, seperti kelahiran kembali (tumimbal lahir), yang merupakan hal benar-benar sahih, tapi yang jatuh di luar dari kesesuaian dengan pandangan dunia.

Singkatnya, pengalaman yang jelas atau jernih dan objektif hanya tejadi ketika “Lima Rintangan” dalam diri seorang Buddhis telah diatasi. Hanya setelah itulah seseorang dapat mempercayai data yang datang melalui pengertian seseorang.

Karena para ilmuwan tidaklah bebas dari kelima rintangan ini, mereka jarang berpikir jernih dan objektif. Sebagai contoh, hal ini biasa bagi para ilmuwan untuk mengabaikan data yang mengganggu, yang tidak sesuai dengan teori-teori berharga mereka, atau yang lainnya adalah membatasi bukti-bukti tersebut untuk dilupakan dengan menyimpannya sebagai suatu `anomali` (ketidaknormalan).

Bahkan sebagian besar umat Buddha tidaklah berpikir jelas dan objektif. Seseorang haruslah memiliki pengalaman Jhana untuk menyingkirkan lima rintangan ini secara efektif (menurut Nalakapana Sutta, Majjhima Nikaya 68). Jadi hanyalah para meditator yang sempurna yang dapat mengklaim dirinya ilmuwan sejati, yang memiliki pikiran jelas dan objektif.

Sains mengklaim untuk tidak hanya mengandalkan pengamatan yang jernih dan objektif, tetapi juga pada pengukuran. Tetapi dalam sains, apakah yang disebut dengan pengukuran itu? Untuk mengukur sesuatu, menurut sains murni dari Teori Kuantum, adalah meruntuhkan Persamaan Gelombang Schroedinger melalui tindakan pengamatan (observasi).

Selain itu, bentuk Persamaan Gelombang Schroedinger “yang tak teruntuhkan”, dimana sebelum pengukuran apapun dilakukan, mungkin merupakan deskripsi yang paling sempurna sains dari dunia.

Itu merupakan deskripsi yang aneh! Menurut sains murni, realitas tidaklah terdiri atas unsur yang teratur baik dengan massa yang tepat, energi dan posisi di angkasa yang kesemuanya hanya menunggu untuk diukur. Realitas merupakan ketidakjelasan yang luas dari segala kemungkinan, hanya beberapa saja yang menjadi lebih jelas dibanding dengan hal yang lainnya.

Bahkan kualitas dasar "yang dapat diukur" seperti “hidup” atau “mati” yang telah didemonstrasikan oleh sains terkadang menjadi tidak berlaku. Dalam eksperimen pikiran `Schroedinger`s Cat` yang jahat, kucing Prof. Schroedinger secara cerdik ditempatkan pada situasi sebenarnya dimana ia tidaklah mati ataupun hidup, dimana pengukuran semacam demikian menjadi tidak berarti. Realitas, berdasarkan Teori Kuantum, adalah di luar ambang pengukuran. Pengukuran mengganggu realitas, ia tidak pernah mendeskripsikan realitas dengan sempurna.

Adalah `Prinsip Ketidakpastian` yang terkenal dari Heisenberg yang menunjukkan kesalahan yang tidak dapat dielakkan antara dunia Kuantum asli dan dunia terukur dari sains palsu.

Lagi pula, bagaimana setiap orang dapat mengukur sang pengukur, yaitu pikiran? Pada sebuah seminar baru-baru ini mengenai Sains dan Agama, dimana saya menjadi pembicara, seorang Katholik di dalam hadirin dengan beraninya mengumumkan bahwa setiap kali ia melihat bintang-bintang melalui teleskop, ia merasa tidak nyaman karena agamanya menjadi terancam.

Saya mengomentarinya bahwa setiap kali seorang ilmuwan melihat dengan cara yang terbalik melalui teleskop, untuk observasi orang yang sedang melihat, maka mereka merasa tidak nyaman karena sains mereka terancam oleh apa yang dilakukan oleh penglihatannya! Jadi apa yang dilakukan oleh penglihatan, apakah pikiran ini yang menghindar dari sains modern?

Suatu saat, seorang guru kelas satu bertanya kepada kelasnya, "Apakah benda yang terbesar di dunia?" Seorang gadis kecil menjawab, "Papaku". Seorang anak laki-laki kecil berkata, "Seekor gajah." Karena dia pernah ke kebun binatang baru-baru ini. Gadis yang lain mengusulkan, "Sebuah gunung".

Puteri berusia enam tahun dari sahabat karibku menjawab, "Mataku adalah benda yang paling besar di dunia!" Kelas itu terhenti. Bahkan guru tersebut tidak mengerti apa yang dijawabnya. Jadi sang filosofis kecil ini menjelaskan, "Yah, mataku bisa melihat papanya, seekor gajah dan sebuah gunung juga. Ia juga bisa melihat banyak lagi. Jika semuanya bisa sesuai ke dalam mataku, maka mataku pastilah benda terbesar di dunia!" Luar biasa!

Namun begitu, gadis kecil itu tidak sepenuhnya benar. Pikiran bisa melihat segala sesuatu yang bisa dilihat mata seseorang, dan ia juga bisa membayangkan begitu lebih banyak lagi. Pikiran juga bisa mendengar, membaui, merasakan dan menyentuh, sama baiknya dengan berpikir. Faktanya, segala sesuatu yang bisa diketahui bisa muat ke dalam pikiran. Oleh karena itu, pikiran pastilah benda yang terbesar di dunia. Kesalahan sains sudah jelas sekarang. Pikiran tidaklah berada di dalam otak, begitu pula di dalam tubuh. Otak, tubuh dan dunia beserta sisanya, ada di dalam pikiran!

Pikiran adalah indera keenam dalam Buddhisme, dialah yang mana memandu kelima panca indera yakni penglihatan, pendengaran, pembauan, pengecapan dan sentuhan, dan melebihi mereka dengan daerah kekuasaannya sendiri. Ia bersesuaian bebas dengan "Akal Sehat" dari Aristoteles yang mana bertentangan dari panca indera.

Memang benar bahwa filsafat Yunani kuno, dari mana sains dikatakan berasal, mengajarkan indera keenam sama seperti Buddhisme. Di suatu tempat bersamaan dengan perjalanan sejarah dari pemikiran orang Eropa, mereka kehilangan pikirannya! Atau, sama seperti Aristoteles yang akan mengemukakan demikian, mereka dengan suatu cara telah mengesampingkan "Akal Sehat" mereka! Dan demikianlah kita mendapatkan sains. Kita mendapatkan materialistis tanpa hati sedikitpun. Orang bisa dengan akuratnya mengatakan bahwa Buddhisme adalah sains yang menyimpan hatinya, dan yang tidak kehilangan pikirannya!

Demikianlah Buddhisme bukan suatu sistem kepercayaan. Buddhisme adalah sains yang ditemukan dalam observasi yang objektif, yaitu meditasi, selalu seksama untuk tidak mengganggu realitas melalui pengukuran buatan yang mengesankan, dan ia secara jelas dapat diulang.

Manusia telah menciptakan kembali kondisi-kondisi eksperimental, dikenal dengan menetapkan faktor-faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, selama lebih dari duapuluh enam abad sekarang, lebih lama dibandingkan dengan sains. Dan mereka Professor-Professor Meditasi yang ternama, Arahat-Arahat pria dan wanita, kesemuanya telah tiba pada kesimpulan yang sama seperti Sang Buddha.

Mereka telah membuktikan Hukum Dhamma yang abadi, atau dikenal sebagai Buddhisme. Jadi Buddhisme adalah satu-satunya sains yang sejati, dan saya gembira untuk mengatakan bahwa saya masih seorang ilmuwan dalam hati saya, hanya saja seorang ilmuwan yang lebih baik daripada apa yang pernah saya dulunya dapatkan di Cambridge.
--end-- Y.M. Ajahn Brahmavamso Mahathera dilahirkan di Peter Betts di London, Inggris pada tanggal 7 Agustus 1951. Beliau adalah kepala bhikkhu dari Vihara Bodhinyana di Australia Barat, Direktur Spiritual dari Buddhist Society Australia Barat, Penasihat Spiritual dari Buddhist Society Victoria, Penasihat Spiritual dari Buddhist Society Australia Selatan, Pelindung Spiritual dari Buddhist Fellowship di Singapura, dan Pelindung Spiritual dari Bodhikusuma Centre di Sydney.
Courtesy: Buddhist Society of Western Australia.
Catatan:
  1. dogma: pokok ajaran tentang kepercayaan yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan.(sbr: KBBI)
  2. evangelis: seseorang yang berusaha mengalihyakinkan kepercayaan orang lain ke dalam ke-Kristen-an.(sbr: Oxford Dictionary)
  3. neurosis: penyakit syaraf yang berhubungan dengan fungsinya tanpa ada kerusakan organik pada bagian-bagian susunan syaraf.(sbr: KBBI)
Judul asli: Buddhism, The Only Real Science
Oleh: Ven. Ajahn Brahmavamso Mahathera
Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com

Rabu, 02 Mei 2012

KEHIDUPAN TIDAK PASTI, NAMUN KEMATIAN ITU PASTI
(LIFE IS UNCERTAIN, DEAD IS CERTAIN)

Oleh: Ven. Dr. K. Sri Dhammananda

Sang Buddha bersabda: “Kehidupan tidak pasti, namun kematian itu pasti”. Setelah menyadari dengan jelas bahwa kematian pasti akan datang dan merupakan suatu akhir yang wajar, serta harus dihadapi setiap makhluk maka sebenarnya kita tidak perlu takut akan kematian. Namun, kenyataannya masih banyak diantara kita yang merasa takut menghadapinya. Karena itu kita tidak ingin mengingat-ingat bahwa kematian itu tak terelakkan dan kita ingin terus melekat pada kehidupan tercinta ini.

Lahirnya seorang anak ke dunia membawa kebahagiaan dan kegembiraan bagi seluruh sanak keluarganya. Bahkan, sang ibu merasa sangat puas dan bahagia walau ia harus menanggung penderitaan yang hebat pada saat melahirkan. Ia merasa semua kesulitan dan penderitaan yang dialaminya cukup berharga untuk itu. Namun, sang anak pada waktu kelahirannya di dunia ini juga menunjukkan penderitaan yang turut ditanggungnya dengan menangis.

Kemudian sang anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Ia melakukan berbagai perbuatan baik dan buruk. Dari dewasa kemudian menjadi tua dan akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini dengan meninggalkan sanak keluarga dalam kesedihan yang dalam. Demikianlah alur kehidupan seorang manusia yang senantiasa berusaha membebaskan diri dari perangkap kematian ini, namun tak seorangpun yang mampu mengatasinya. Dengan pikiran yang berputar-putar di sekitar tabungan kekayaan yang telah dikumpulkannya dan terus-menerus mengkhawatirkan anak-anak tersayang yang berkumpul mengelilinginya, serta tidak ketinggalan pula selalu menjaga dan memperhatikan kesehatan tubuhnya.

Akan tetapi walaupun telah dirawat dengan hati-hati dan penuh perhatian, tetap akan kian lapuk dan melemah, yang akhirnya menimbulkan suatu kesedihan harus berpisah dengan tubuhnya tercinta. Hal demikian memang sukar diterima oleh kita, namun tak dapat dihindarkan oleh setiap orang, dan cara yang biasa ditempuh oleh kebanyakan orang dalam meninggalkan dunia ini adalah dengan keluh kesah dan ratap tangis. Kematian yang datang tiba-tiba telah dipandang sangat menakutkan, dan sikap ini timbul karena ketidak-tahuan mereka.

RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN
Manusia merasa terganggu bukan hanya diakibatkan oleh sebab-sebab dari luar, tetapi juga oleh sebab-sebab dari dalam, seperti misalnya pandangan mereka terhadap kematian. Hal ini sebenarnya tidak perlu ditakutkan, karena rasa takut dan ngeri hanya muncul di dalam pikiran kita. Keharusan untuk menerima kenyataan akan penderitaan sering menyakitkan, terutama bagi pikiran yang tidak mampu menghadapinya. Namun, hal ini dapat membantu mengurangi atau menghilangkan perasaan takut dalam menghadapi kematian. Sekali kehidupan dimulai, akan terus berlangsung seperti peluru yang meluncur menuju ke sasarannya, yaitu kematian.
Setelah menyadari hal ini, kita harus berani berhadapan muka dengan kefanaan kita sendiri, dan apabila kita ingin dipandang sebagai manusia yang bebas dalam kehidupan, maka kita harus bebas dari rasa takut terhadap kematian. Kita telah mengetahui bahwa ilmu pengetahuan mengajarkan tentang proses kematian, yakni bahwa kematian hanya merupakan suatu proses pelapukan fisik dari tubuh manusia. Karena itu kita tidak perlu membohongi diri sendiri dengan bayang-bayang atau khayalan-khayalan menyeramkan yang tak pernah terwujud. Seorang dokter termasyur, Sir Williams Oslet mengatakan: “Menurut pengalaman saya yang cukup lama di bidang kedokteran, sebenarnya banyak orang yang meninggal tanpa rasa sakit atau takut.” 

Seorang perawat berpengalaman menceritakan pengalamannya sebagai berikut: “Bagiku selalu tampak sebagai suatu tragedi besar bahwa demikian banyak orang yang sepanjang hidup mereka dihantui ketakutan akan kematian, namun ketika saatnya tiba mereka akan menyadari bahwa kematian sama wajarnya seperti kehidupan itu sendiri dan hanya sedikit orang yang merasa takut pada saat menjelang kematiannya. Sepanjang pengalaman saya, hanya satu orang yang kelihatannya merasa ngeri, yakni seorang wanita yang telah berbuat salah terhadap saudara perempuannya, dan kesalahan itu sudah terlambat untuk diperbaiki kembali. Sesuatu yang indah dan mengherankan terjadi pada mereka yang telah tiba di penghujung jalan kehidupan mereka; semua rasa takut dan kengerian hilang lenyap. Saya seringkali mengamati kebahagiaan yang terpancar dari mata mereka pada saat-saat terakhir kehidupan mereka.

Kemelekatan terhadap kehidupan di dunia telah menciptakan rasa takut yang tidak wajar atas kematian, juga dapat menciptakan orang-orang Hypochordriac, yakni orang yang tidak pernah berani mengambil resiko, bahkan untuk sesuatu yang benar sekalipun. Orang-orang seperti itu hidup dalam ketakutan bahwa sesuatu penyakit atau kecelakaan dapat memutuskan hidup mereka yang begitu berharga dan sangat dicintainya. Dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan, maka orang-orang yang mencintai hidup di dunia ini akan pergi berdoa untuk menyatakan harapan mereka, agar jiwa mereka diterima di surga. Namun, tak seorangpun dapat berbahagia dengan godaan rasa takut dan harapan seperti itu. Akan tetapi nampaknya sukar bagi kita untuk mencela atau tidak mau tahu atas segala perwujudan naluriah untuk keselamatan diri mereka tersebut.

Hanya ada satu cara untuk mengatasi hal tersebut, yakni dengan cara melupakan kepentingan pribadi dan berusaha menolong orang lain disertai pancaran kasih sayang dari dalam diri kita, yaitu dengan mengembangkan pelayanan kemanusiaan dan mencurahkan kasih sayang terhadap semua makhluk. Karena melalui peningkatan pelayanan terhadap orang lain, maka anda akan segera menyadari sendiri bahwa segala harapan dan kemelekatan yang mementingkan diri sendiri, kesombongan dan anggapan hanya diri sendiri benar adalah tidak bermanfaat sama sekali.

PENYAKIT DAN KEMATIAN
Diserang penyakit ataupun kematian merupakan gejala-gejala yang wajar dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kita dan semua itu harus diterima dengan keseimbangan batin. Menurut teori Ilmu Jiwa Modern, tekanan mental yang berat dan hebat disebabkan oleh penolakan kita untuk menghadapi dan menerima kenyataan-kenyataan hidup. Tekanan-tekanan tersebut bila tidak diatasi akan dapat menimbulkan penyakit fisik yang hebat, dan apabila kita membiarkan perasaan cemas dan sedih yang tidak pada tempatnya dalam menghadapi suatu masalah, malah akan dapat
memperburuk keadaan.

Kematian tidak seharusnya ditakuti oleh mereka yang bersih dalam pikiran dan perbuatan. Kita hanya merupakan bagian kehidupan dari alam semesta, oleh karena itu pada hakekatnya tidak ada suatu pribadi individu yang meninggal dunia. Sisa-sisa karma sebagai hasil buruk yang muncul dari perbuatan jahat di masa lampau dapat mengikuti kita pada kelahiran kita yang berikutnya, dan menyebabkan kita harus memikul penderitaan akibat karma pada kehidupan yang lalu.

Kejadian semacam itu dapat dihindari jika kita selalu berusaha mengumpulkan jasa-jasa kebaikan, dengan cara menjalani kehidupan yang baik dan banyak melakukan perbuatan baik di mana saja dan setiap saat bila memungkinkan. Dengan melakukan hal itu kita dapat menghadapi masa depan tanpa rasa takut dan penuh keyakinan. Kita harus berani menghadapi dan menerima kenyataan, sesuai dengan ajaran Sang Buddha bahwa tidak ada “Juru Selamat” yang dapat diserahkan untuk memikul beban kita agar terbebas dari akibat perbuatan jahat yang pernah kita lakukan.

Kita harus kerapkali mengingatkan diri sendiri akan nasihat Sang Buddha: “Jadikanlah dirimu sebagai pulau dan pelindung bagi dirimu sendiri dengan bekerja dan berusaha yang giat”. Umat Buddha tidak seharusnya tenggelam ke dalam ratap tangis dan kesedihan yang hebat dalam menghadapi kematian dari sanak saudara ataupun teman-teman mereka, karena roda kehidupan terus berputar tanpa hentinya. Bila seseorang meninggal dan hasil perbuatannya (karma) menjadikannya suatu makhluk baru, mereka yang ditinggalkan harus menerima kematian tersebut dengan ketenangan, keluhuran budi dan pengertian bahwa kematian hanya merupakan suatu proses yang tak terhindarkan di dunia ini.

Hal ini merupakan sesuatu yang pasti terjadi di alam semesta, dan kita tahu bahwa hutan bisa menjadi kota dan kota dapat menjadi padang pasir, serta gunung dapat berubah menjadi danau.

Ketidak pastian terdapat di mana-mana, namun hanya ada satu hal yang pasti, yakni “kematian” dan semua hal lain hanyalah bersifat sementara. Kita semua mempunyai nenek moyang dan nenek moyang kita pun mempunyai nenek moyang juga, namun di mana mereka kini berada? Mereka telah pergi ke “Gerbang Kematian”.

Janganlah menganggap bahwa pandangan pesimis terhadap kehidupan yang dimunculkan di sini merupakan pandangan yang paling sesuai dengan kenyataan dari semua kenyataan. Untuk apa kita menghindari diri dari kenyataan dan menutup mata kita terhadap suatu kenyataan yang sudah pasti, karena bukankah kematian itu mencakup segala hal? Maka janganlah kita sampai melupakannya. Peranan kematian adalah untuk menyadarkan setiap manusia akan akhir kehidupannya, bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun bantuan teknologi ataupun Ilmu Kedokteran yang dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama, apakah di dalam kubur ataupun menjadi segenggam debu. Haruskah karena hal itu kita kemudian mengenakan kain karung dan meratapi kehidupan yang telah menjadi debu? Tidak! Hal demikian bukanlah merupakan tujuan hidup, bukan pula tujuan dari kematian, karena proses kelahiran dan kematian akan terus berlangsung hingga kita mencapai kesempurnaan batin.

EKSISTENSI PENGARUH MANUSIA

Sang Buddha berkata: “Tubuh manusia dapat berubah menjadi debu, namun pengaruhnya tetap bertahan”. Pengaruh kehidupan yang telah berlalu kadang-kadang dapat menjangkau waktu yang lebih jauh dan lebih potensial bila dibandingkan dengan masa hidup seseorang yang mempunyai batas-batas waktu tertentu. Seringkali kita bertindak berdasarkan ilham dari kepribadian-kepribadian yang pemiliknya telah menjadi debu. Dalam tindak-tanduk kita hasil-hasil pikiran mereka juga memainkan peranan penting. Setiap manusia yang hidup di dunia ini dapat dikatakan merupakan susunan dari semua nenek moyang yang telah mendahului kita. Dengan anggapan semacam ini, maka para pahlawan di masa lampau, para filsuf terkemuka, para pertapa, penyair dan para seniman musik dari keturunan apapun, karya mereka tetap ada bersama kita.

Bila kita menghubung-hubungkan diri sendiri dengan orang-orang suci dan para pemikir di masa lampau kita dapat memperoleh kebijaksanaan hasil pemikiran mereka, ide-ide mulia mereka dan bahkan musik klasik yang abadi. Karena walaupun tubuh mereka sudah lama musnah, namun pengaruh mereka masih tetap hidup hingga kini. “Tubuh” ini bukan merupakan apa-apa selain perwujudan abstrak dari kombinasi unsur-unsur kimia yang terus-menerus berubah. Maka insan manusia yang menyadari bahwa hidup mereka hanya seperti setetes air di sungai yang terus mengalir, akan merasa bahagia bila dapat memberi andil bagi arus besar yang disebut kehidupan.

Insan manusia yang lupa akan kewajaran hidup mereka akan terhempas di dunia ini. Ia meratap, bersedih dan kadang-kadang tersenyum hanyalah untuk menangis kembali. Namun bila ia menyadari akan kewajaran hidup yang sesungguhnya, maka ia akan melepaskan semua benda-benda yang bersifat sementara untuk mencari keabadian, ia harus menghadapi kematian yang berulang-ulang, karena kematian itu sendiri sukar untuk dihindari. Tidakkah manusia harus berusaha untuk mengatasi putaran kelahiran dan kematian yang terus-menerus ini?

Menurut agama Buddha, kehidupan kita bukanlah kehidupan pertama atau terakhir yang harus kita jalani di dunia ini. Jika kita berbuat baik, maka akan mendapatkan hidup yang lebih baik pada kehidupan mendatang. Di samping itu, bila kita tidak ingin terlahir kembali, maka harus berjuang mencapai kebebasan akhir dengan selalu berusaha mengikis semua kekotoran batin yang ada pada pikiran kita.



FILSAFAT AGAMA BUDDHA
Para orang suci yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi tidak meratapi meninggalnya sanak kerabat mereka, karena mereka telah mengikis habis semua emosi manusiawinya. Yang Ariya Arahat Anuruddha tidak menangis ketika Sang Buddha Gotama wafat, namun Yang Ariya Ananda yang ketika itu baru mencapai tingkat kesucian Sotapanna atau Yang Masih Belajar, telah menunjukkan kesedihannya. Bhikkhu Ananda yang bersedih tersebut masih harus diingatkan mengenai pandangan Sang Buddha terhadap kematian melalui kata-kata sebagai berikut:

“Ananda, bukankah Sang Buddha pernah mengatakan pada kita bahwa segala sesuatu yang dilahirkan, yang muncul, yang terbentuk, akan lenyap kembali? Ini merupakan sifat dari semua bentuk yang bersyarat, yakni muncul dan akan lenyap kembali. Dengan menyadari bahwa semua itu akan lenyap kembali, maka muncullah kedamaian dan kemuliaan”. 
Kata-kata ini menguraikan suatu dasar yang di atasnya dibangun bangunan Filsafat Agama Buddha.

PENYEBAB KESEDIHAN
Sebab dari kesedihan dan penderitaan kita ialah kemelekatan (Tanha) dalam segala bentuknya. Jika kita ingin menghentikan kesedihan, maka kita harus membuang kemelekatan, baik kemelekatan terhadap manusia maupun terhadap harta benda. Hal ini merupakan pelajaran kebenaran tentang kematian, karena kematian akan menyerang dan mengisi hidup kita dengan kengerian, kecuali bila kita telah dapat memahaminya. Kenyataan ini dengan indah telah dibabarkan oleh Sang Buddha melalui sabda berikut ini: “Kematian akan menyeret manusia yang melekat pada anak-anak dan harta bendanya, bagaikan banjir besar menyeret desa yang tertidur”.

Dalam peribahasa tersebut tersirat makna bahwa bila desa itu tidak tertidur namun terjaga dengan waspada, maka kerugian yang ditimbulkan oleh banjir tersebut akan dapat berkurang jauh.

KEMATIAN BERLAKU BAGI SELURUH ALAM SEMESTA
Marilah kita melihat bagaimana Sang Buddha menyelesaikan masalah kematian yang menimpa diri dua orang, yang karena kemelekatan mereka telah menderita kesedihan hebat akibat adanya kematian. Pertama adalah kisagotami yang putra tunggalnya meninggal dunia setelah digigit seekor ular. Ia pergi menemui Sang Buddha sambil menggendong mayat putranya untuk memohon pertolongan agar menghidupkannya kembali. Sang Buddha memintanya membawa segenggam biji lada dari satu keluarga yang tidak pernah mengalami kematian, namun ia tidak dapat menemukan keluarga seperti itu. Setiap rumah yang didatangi sedang berkabung atau pernah berkabung atas kematian orang tua ataupun sanak saudara mereka. Akhirnya ia dapat menyadari kenyataan hidup yang pahit ini. Kematian berlaku dimana-mana. Kematian akan menyerang semua makhluk dan tak satupun yang dapat terlolos darinya. Karena itu kesedihan merupakan warisan bagi semua orang.

Orang kedua yang mendapat pertolongan dan bimbingan Sang Buddha adalah Patacara. Hal yang dialaminya jauh lebih menyedihkan, yakni dalam waktu yang singkat ia telah kehilangan kedua putranya, suami, saudara, orang tua, dan seluruh harta bendanya, bahkan kehilangan akalnya. Ia berlari-lari dengan bertelanjang dan liar di jalan-jalan hingga akhirnya berjumpa dengan Sang Buddha. Sang Buddha telah membuatnya waras kembali dengan menjelaskan bahwa kematian harus dapat kita terima sebagai suatu gejala yang wajar bagi setiap makhluk hidup.

Sang Buddha berkata: “Engkau telah menderita dari keadaan yang serupa bukan hanya sekali, Patacara. Namun telah berulang kali selama kelahiran-kelahiran terdahulu. Untuk waktu yang lama sekali engkau telah menderita akibat kematian ayah dan ibu, anak dan sanak kerabat. Selama engkau menderita telah meneteskan air mata lebih banyak dibandingkan dengan air yang ada di samudra”.
Pada akhir pembicaraan tersebut, Patacara menyadari akan ketidak-pastian dari kehidupan ini.

Baik Patacara maupun Kisagotami dapat memahami penderitaan dari pengalaman tragis mereka sendiri. Dengan menyadari sungguh-sungguh akan Kesunyataan Mulia yang pertama yakni “Penderitaan”, maka ketiga Kesunyataan Mulia lainnya juga akan dapat dipahami. Sang Buddha bersabda: “Barang siapa yang mengerti akan penderitaan, juga akan mengerti munculnya penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan untuk melenyapkan penderitaan”.


LIMA KELOMPOK KEHIDUPAN
Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci Agama Buddha adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri dari pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh jasmani atau materi. Keempat kelompok yang pertama adalah kelompok batin atau NAMA yang membentuk suatu kesatuan kesadaran. Kelompok kelima adalah RUPA, yakni kelompok fisik atau materi. Gabungan batin dan jasmani ini secara umum dinamakan individu, pribadi atau ego. Sebenarnya apa yang ada bukanlah merupakan suatu individu yang berwujud seperti itu. Namun dua unsur pembentuk utama, yakni NAMA dan RUPA hanya merupakan fenomena belaka. Kita tidak melihat bahwa kelima kelompok ini sebagai fenomena, namun menganggapnya sebagai pribadi karena kebodohan pikiran kita, juga karena keinginan terpendam untuk memperlakukannya sebagai pribadi serta untuk melayani kepentingan kita.

Kita akan mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bilamana memiliki kesadaran dan keinginan untuk melakukannya, yakni bila kita ingin melihat ke dalam pikiran sendiri dan mencatat dengan penuh perhatian (Sati). Mencatat secara objektif tanpa memproyeksikan suatu ego ke dalam proses ini dan kemudian mengembangkan latihan tersebut untuk waktu yang cukup lama, sebagaimana telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam SATIPATHANA SUTTA. Maka kita akan melihat bahwa kelima kelompok ini bukan sebagai suatu pribadi lagi, melainkan sebagai suatu serial dari proses fisik dan mental. Dengan demikian kita tidak akan menyalahartikan kepalsuan sebagai kebenaran. Lalu kita akan dapat melihat bahwa kelompok-kelompok tersebut muncul dan lenyap secara berturut-turut hanya dalam sekejap, tak pernah sama untuk dua saat yang berbeda; tak pernah diam namun selalu dalam keadaan mengalir; tak pernah dalam keadaan yang sedang berlangsung namun selalu dalam keadaan terbentuk.

Masa berlangsungnya kelompok-kelompok mental ini sangat singkat sedemikian rupa, sehingga selama satu kilatan cahaya halilintar telah terjadi beribu-ibu bentuk pikiran atau saat berpikir yang berturutan dalam pikiran kita. Kelompok materi atau jasmani berlangsung sedikit lebih lama, yakni kira-kira tujuh belas kali dari saat berpikir tersebut. Karena itu setiap saat sepanjang kehidupan kita, bentuk-bentuk pikiran muncul dan lenyap. Lenyapnya yang dalam waktu sekejap mata ini merupakan suatu bentuk dari kematian.

Lenyapnya elemen-elemen dalam waktu sekejap ini tidaklah jelas, karena kelompok-kelompok yang berturutan akan muncul dengan segera untuk menggantikan yang lenyap, dan mereka inipun muncul dan lenyap sebagaimana terjadi dengan hal-hal terdahulu. Inilah yang kita katakan sebagai “Terus berlangsungnya kehidupan”.

Namun dengan berjalannya waktu, maka kelompok materi atau jasmani kehilangan kekuatannya dan mulai terjadi kelapukan. Saatnya akan tiba di mana kelompok-kelompok ini tidak dapat berfungsi lebih lanjut, dan menurut istilah yang biasa dipakai inilah akhir dari suatu kehidupan yang kita sebut sebagai “Terjadinya kematian”.


KELAHIRAN KEMBALI
Namun, keempat kelompok mental, yaitu: kesadaran dan ketiga kelompok mental lainnya yang membentuk “NAMA” atau “KESATUAN KESADARAN” akan terus berlangsung tanpa berhenti. Muncul dan lenyap seperti semula, walaupun tidak pada tempat yang sama, karena tempat terdahulu telah tiada. Kelompok-kelompok mental ini harus segera menemukan suatu landasan fisik yang baru seperti saat sebelumnya agar ia dapat berfungsi dengan serasi. Hukum karmalah yang melakukan kesemua ini, yakni dengan segera menempatkan kembali kelompokkelompok tersebut, yang kita kenal sebagai “KELAHIRAN KEMBALI”.

Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa sesuai dengan Ajaran Agama Buddha, tidak dikenal adanya perpindahan jiwa suatu inti dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Menurut filsafat agama Buddha, apa yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa “JAVANA” atau “PROSES BERPIKIR AKTIF YANG TERAKHIR” dari orang yang meninggal dunia telah melepaskan kekuatan-kekuatan tertentu, yang bervariasi sesuai dengan kesucian dari kelima saat berpikir Javana dalam serial tersebut (Lima, bukannya tujuh saat berpikir Javana seperti pada keadaan normal). Kekuatan-kekuatan ini disebut “KAMMA VEGA” atau “TENAGA KARMA” yang mendekatkan diri pada suatu landasan materi yang dihasilkan oleh sepasang orang tua dalam rahim seorang ibu. Kelompok materi dalam gabungan benih ini harus memiliki sifat yang sesuai untuk menerima jenis tertentu dari tenaga karma tersebut.

Pendekatan diri dengan cara ini dari berbagai jenis kelompok jasmani yang dihasilkan oleh sepasang orang tua, terjadi melalui bekerjanya kematian yang memberikan suatu peluang bagi kelahiran kembali yang menguntungkan pada seseorang yang meninggal dunia. Namun pikiran yang tidak baik akan menghasilkan suatu kelahiran kembali yang tidak menyenangkan.


KUMPULAN UNSUR DAN TENAGA
Secara singkat dapat kita katakan bahwa kombinasi dari kelima kelompok disebut “kelahiran”. Munculnya kelompok-kelompok tersebut dalam suatu kumpulan disebut “kehidupan”, sedangkan lenyapnya kelompok-kelompok tersebut disebut “kematian”, dan penggabungan kembali kelompok-kelompok ini disebut “kelahiran kembali”. Namun tidaklah mudah bagi seorang manusia biasa untuk mengerti bagaimana kelompok-kelompok tersebut bergabung kembali.

Dalam hal ini pengertian yang benar akan sifat tenaga-tenaga karma, mental dan unsur-unsur, serta kerja sama tenaga-tenaga alam semesta adalah sangat penting kita ketahui. Bagi sementara orang kejadian yang sederhana dan wajar ini, yakni kematian hanya berarti meleburnya kelima unsur dengan kelima unsur yang sama, sehingga menurut mereka tidak ada yang tersisa.

Sementara itu ada pula kelompok orang yang berpendapat bahwa kematian adalah berpindahnya jiwa dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Ada juga kelompok yang menganggap kematian itu merupakan masa transisi yang tak terbatas dari jiwa, atau dengan kata lain kematian adalah menunggu hari pengadilan (akhir). Bagi umat Buddha, kematian hanya merupakan akhir sementara dari gejala yang bersifat sementara, dan kematian bukan merupakan kemusnahan total dari suatu makhluk.


SEBAB-SEBAB TERJADINYA KEMATIAN
Menurut agama Buddha, kematian dapat terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
(i) Kematian dapat disebabkan oleh habisnya masa hidup sesuatu makhluk tertentu. Kematian semacam ini disebut “AYU-KHAYA”.
(ii) Kematian yang disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat terjadinya kelahiran dari makhluk yang meninggal tersebut. Hal ini disebut“KAMMA-KHAYA”.
(iii) Kematian yang disebabkan oleh berakhirnya kedua sebab tersebut di atas, yang terjadi secara berturut-turut. Disebut “UBHAYAKKHAYA”.
(iv) Kematian yang disebabkan oleh keadaan luar, yaitu: kecelakaan, kejadian-kejadian yang tidak pada waktunya, atau bekerjanya gejala alam dari suatu karma akibat kelahiran terdahulu yang tidak termasuk dalam butir (iii) di atas. Disebut“UPACHEDAKKA”.

Ada suatu perumpamaan yang tepat sekali untuk menjelaskan keempat macam kematian ini, yaitu perumpamaan dari sebuah lampu minyak yang cahayanya diibaratkan sebagai kehidupan. Cahaya dari lampu minyak dapat padam akibat salah satu sebab berikut ini:

(i) Sumbu dalam lampu telah habis terbakar. Hal ini serupa dengan kematian akibat berakhirnya masa hidup suatu makhluk.
(ii) Habisnya minyak dalam lampu seperti halnya dengan kematian akibat berakhirnya tenaga karma.
(iii) Habisnya minyak dalam lampu dan terbakar habisnya sumbu lampu pada saat bersamaan, sama halnya seperti kematian akibat kombinasi dari sebab-sebab yang diuraikan pada butir (i) dan (ii) di atas.
(iv) Pengaruh dari faktor luar, misalnya ada angin yang meniup padam api lampu. Sama halnya seperti kematian yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar.

Oleh karena itu karma bukan merupakan satu-satunya sebab dari kematian. Dalam Anguttara Nikaya dan Kitab-kitab lainnya, Sang Buddha menyatakan dengan pasti bahwa karma bukan merupakan penyebab dari segala hal.


CARA MENGHADAPI KENYATAAN
Bagaimana cara terbaik bagi seseorang dalam menghadapi peristiwa kematian yang tak terelakkan ini? Terlebih dahulu kita harus menyadari dan merenungkan bahwa kematian akan dan pasti tiba dalam waktu yang cepat atau lambat. Akan tetapi hal ini bukanlah berarti umat Buddha harus memandang kehidupan dengan suram, karena kematian merupakan kenyataan dan harus dihadapi oleh setiap makhluk. Buddha-Dhamma adalah suatu agama atau Ajaran yang dapat diterima oleh akal pikiran dan umat Buddha dilatih untuk menghadapi kenyataan yang kadang-kadang tidak menyenangkan. Guru Nanak berkata: “Dunia mencemaskan kematian, tetapi bagiku kematian itu membawa kebahagiaan”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa orang-orang besar dan mulia tidak takut akan kematian, dan mereka selalu siap menghadapinya. Banyak orang besar yang telah mengorbankan hidup mereka demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak.

Nama-nama mereka tercatat dalam sejarah dunia dengan tinta emas. Pemimpin besar Amerika, Saul Alinsky berkata: “Satu hal terpenting yang pernah saya pelajari adalah bahwa saya akan mengalami kematian, dan sekali anda dapat menerima kematianmu sendiri, maka seketika itu juga anda bebas untuk hidup. Anda tidak lagi peduli dan selama hidup dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai suatu tujuan yang anda yakini”. Hal ini merupakan cara pribadi-pribadi besar memandang konsep tentang kematian.


KEMATIAN TAK TERELAKKAN
Tampaknya agak bertentangan bahwa meskipun kita seringkali melihat kematian yang menghentikan kehidupan, namun kita jarang sekali berhenti untuk merenungkan bahwa kitapun dapat dengan segera menjadi korban maut. Karena keterikatan kita yang kuat terhadap kehidupan, maka merasa segan untuk membawa-bawa pikiran yang menakutkan tersebut. Walaupun
merupakan suatu kenyataan bahwa kematian adalah suatu kejadian yang pasti. Namun kita lebih suka menyingkirkan pikiran yang menakutkan ini sejauh mungkin, dan menipu diri sendiri dengan menganggap bahwa kematian hanya merupakan gejala yang jauh dan tidak perlu dirisaukan. Kita harus mempunyai cukup keberanian untuk menghadapi kenyataan tersebut dan harus siap menerima bahwa kematian merupakan kejadian yang nyata. Jika kita dapat menghargai peristiwa seperti itu dan melengkapi diri dengan kesadaran bahwa kematian merupakan suatu peristiwa tak terelakkan, yang harus diterima sebagai suatu kejadian biasa dan bukan merupakan suatu peristiwa yang menakutkan, maka kita akan mampu menghadapi, bilamana peristiwa itu tiba, dengan ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri.


TUGAS DAN KEWAJIBAN KITA
Setelah mengetahui bahwa kematian akan menghampiri kita pada suatu saat, maka kita harus dapat memutuskan dengan ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri yang sama untuk melepaskan tugas dan kewajiban kita pada generasi penerus. Kita tidak boleh berleha-leha dan menunda hingga besok hal-hal yang dapat kita kerjakan hari ini. Kita harus dapat menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan menjalankan kehidupan yang bermanfaat. Tugas terhadap istri atau suami dan anak-anak harus dijalankan dalam waktu yang sama. Kita harus melaksanakan keinginan dan wasiat terakhir tanpa menunggu saat-saat yang terakhir, sehingga di kemudian hari tidak menimbulkan kesulitan dan masalah akibat dari kelalaian kesulitan dan masalah akibat dari kelalaian itu. Kematian dapat memanggil setiap saat dan tidak mengenal waktu, oleh sebab itu kita harus mampu menghadapi saat-saat terakhir dengan berani dan tenang.


KESERAKAHAN DAN KEBODOHAN
Dapatkah kematian diatasi? Jawabannya adalah dapat! Kematian terjadi karena adanya kelahiran. Hal ini merupakan dua mata rantai dalam lingkaran kehidupan yang dikenal dengan nama“Pattica Samuppada”, dan keseluruhannya ada dua belas mata rantai dalam lingkaran tersebut, yang beberapa di antaranya adalah Kilesa atau kekotoran batin. Beberapa karma atau perbuatan menimbulkan Vipaka atau Hasil (dalam lingkaran kehidupan ini) dan Vipaka ini terjadi berulang-ulang. Pengulangan dari kelahiran yang tak terhitung ini disebut Samsara. Jika kita ingin menghentikan lingkaran kehidupan ini hanyalah dengan cara memotongnya pada tahap kekotoran batin, yaitu: Avijja (kebodohan) dan Tanha (nafsu keinginan). Inilah akar-akar dalam lingkaran kelahiran yang harus dimusnahkan, karena itu jika kita dapat memotong nafsu keinginan dan kebodohan, maka kelahiran akan dapat diatasi dan sekaligus kematian juga dapat diatasi, sehingga Samsara teratasi dan tercapailah Nibbana


SEGALA SESUATU ADALAH TIDAK PASTI
Kita harus berusaha mengerti bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini adalah tidak pasti. Kehidupan hanyalah suatu khayalan dan bayangan. Bila kita mengadakan analisa terhadap segala sesuatu, baik secara ilmu pengetahuan ataupun secara filosofis, maka akhirnya kita tidak akan menemukan apa-apa, kecuali kekosongan.

Menurut Sang Buddha, ketidak-kekalan, ketidak-puasan dan ketidak-mampuan untuk menguasai di dalam segala hal merupakan gejala yang wajar dalam alam semesta ini. Mereka yang telah memahami ketiga sifat ini akan terbebas dari ketakutan yang tidak perlu, ketegangan, kekecewaan dan kesedihan. Hanya dengan menyadari kebenaran universal inilah kita akan dapat mempertahankan kedamaian dan ketenangan di dalam diri kita.

Penerjemah : Tidak tercantum
Sumber :internet

Riwayat Agung Buddha Gotama 3
×
Empat Puluh Satu Arahanta Thera
dan Gelar Etadagga

Berikut ini adalah kisah dari beberapa Thera yang dikutip dari Ekakanipàta, Etadagga Vagga dari Komentar Anguttara Nikaya

yang dimulai dari kisah Thera Kondanna,
yang diambil dari anggota Saÿgha para Siswa Buddha yang memiliki ciri mulia seperti Suppañipannatà.
(1) Thera Kondanna

Dalam membahas kisah para Thera ini, penjelasan akan diberikan dalam empat tahap: (a) Cita-cita masa lampau, (b) Kehidupan pertapaan yang dijalankan dalam kehidupan sekarang, (c) Pencapaian spiritualitas istimewa, dan (d) Gelar Etadagga (tertinggi) yang dicapai.

(a) Cita-cita masa lampau
Balik ke masa lampau dalam bhadda kappa ini, lebih dari seratus kappa yang lalu, muncullah Buddha Padumuttara. Setelah muncul diantara tiga kelompok makhluk, Buddha Padumuttara disertai seratus ribu bhikkhu mengumpulkan dàna makanan dengan mengunjungi sejumlah desa, kota, dan ibukota kerajaan dengan tujuan untuk membebaskan banyak makhluk (dari penderitaan) dan akhirnya tiba di Kota (asal) Haÿsàvatã. Ayah Beliau, Raja ânanda, mendengar berita baik mengenai kunjungan putranya, dan pergi menyambut
Buddha bersama banyak pengikutnya. Ketika Buddha memberikan khotbah kepada kerumunan yang dipimpin oleh Raja ânanda, beberapa orang menjadi Sotàpanna, beberapa mencapai kesucian Sakadàgàmã, beberapa mencapai kesucian Anàgàmã, dan yang lainnya mencapai kesucian Arahatta pada akhir khotbah tersebut. Raja kemudian mengundang Buddha untuk makan pada keesokan harinya, dan pada keesokan harinya ia mengutus seorang kurir untuk menyampaikan pesan kepada Buddha tentang waktu makan. Ia memberikan persembahan makanan secara besar-besaran kepada Buddha dan seratus ribu bhikkhu di istana emasnya. Buddha Padumuttara membabarkan khotbah penghargaan atas persembahan makanan tersebut, kemudian Beliau kembali ke vihàra. Demikian pula, para penduduk juga memberikan Mahàdana pada keesokan harinya. Pada hari ketiga raja kembali memberikan persembahan. Demikianlah, Mahàdana dilakukan oleh raja dan para penduduk bergantian dalam waktu yang lama.

Pada waktu itu, seseorang yang baik, kelak menjadi Kondanna, terlahir dalam sebuah keluarga kaya. Suatu hari, sewaktu Buddha sedang memberikan khotbah, ia melihat para penduduk Haÿsàvatã membawa bunga, wewangian, dan lain-lain, pergi menuju kediaman Tiga Permata dan ia pergi bersama mereka ke tempat Buddha membabarkan khotbah.

Ketika itu, Buddha Padumuttara sedang menceritakan pertemuan-Nya dengan seorang bhikkhu tertentu yang merupakan bhikkhu pertama dari seluruh bhikkhu rattanna (telah lama bergabung dalam Sangha) yang menembus Empat Kebenaran dan terbebas dari samsara di dalam masa pengajaran-Nya. Saat si orang baik tersebut mendengar hal itu, ia merenungkan, “Sungguh mulia orang itu! Dikatakan bahwa selain Buddha sendiri, tidak ada orang lain sebelumnya yang telah menembus Empat Kebenaran. Bagaimana jika aku juga menjadi seorang bhikkhu sepertinya dan dapat menembus Empat Kebenaran sebelum yang lainnya dalam masa pengajaran Buddha mendatang!” Pada akhir khotbah Buddha, orang baik tersebut mendekati Buddha dan mengundang Beliau, “Sudilah Buddha Yang Mulia menerima persembahan makanan dariku besok!” Buddha menerima undangan tersebut dengan berdiam diri. Mengetahui bahwa Buddha telah menerima undangannya, si orang baik tersebut bersujud kepada Buddha dan kembali ke rumahnya. Semalam suntuk ia menghabiskan waktu dengan menghias tempat duduk dengan bunga-bunga harum dan juga mempersiapkan makanan-makanan lezat. Keesokan harinya ia melayani Buddha dan seratus ribu bhikkhu di rumahnya dengan mempersembahkan makanan-makanan mewah nasi sàli dan makanan-makanan lainnya.

Ketika acara makan selesai, ia meletakkan kain buatan Negeri Vaïga yang cukup untuk membuat tiga helai jubah di kaki Buddha. Kemudian ia merenungkan, “Aku tidak mencari posisi religius yang kecil tetapi aku mencari yang besar. Satu hari memberikan Mahàdana seperti ini tidaklah cukup untuk mencapai cita-cita agung. Oleh karena itu aku akan bercita-cita dengan melakukan mahàdàna selama tujuh hari berturut-turut.” Orang baik itu memberikan Mahàdana dengan cara yang sama selama tujuh hari. Ketika upacara persembahan makanan selesai, ia membuka gudang kainnya dan meletakkan kain-kain mewah dan halus di kaki Buddha dan mempersembahkan tiga helai jubah kepada masing-masing dari seratus ribu bhikkhu tersebut. Kemudian ia mendekati Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung, seperti halnya bhikkhu yang engkau puji sebagai seorang yang bergelar Etadagga tujuh hari yang lalu, semoga aku juga dapat menjadi yang pertama menembus Empat Kebenaran setelah mengenakan jubah dalam masa pengajaran Buddha mendatang.” Setelah mengatakan hal itu, ia tetap bersujud dengan cara bertiarap di kaki Buddha. Mendengar cita-cita orang tersebut, Buddha Padumuttara melihat ke masa depan, “Orang baik ini telah melakukan jasa yang sangat besar. Apakah cita-citanya akan tercapai atau tidak?” Beliau melihat dengan jelas bahwa hal itu pasti akan terjadi.

Sesungguhnya tidak ada halangan apa pun, bahkan sekecil atom
yang dapat menghalangi pandangan Beliau jika Buddha ingin melihat masa lampau atau masa depan atau masa sekarang. Semua peristiwa pada masa lampau atau pada masa depan meskipun dalam rentang waktu ber-crore-crore kappa, atau semua peristiwa pada masa sekarang meskipun dalam jarak ribuan alam semesta, semua dapat dilihat dalam perenungan. (Segera saat semua itu direnungkan, maka semua hal tersebut terlihat dengan jelas.)

Demikianlah dengan kekuatan intelektual-Nya yang tidak dapat dihalangi, Buddha Padumuttara melihat dalam pandangan-Nya bahwa, “Seratus ribu kappa kemudian akan muncul seorang Buddha bernama Gotama, di antara tiga kelompok makhluk. Dan cita-cita orang ini akan tercapai!” Mengetahui hal ini, Buddha mengucapkan ramalan, “Sahabat, seratus ribu kappa sejak sekarang, seorang Buddha bernama Gotama akan muncul di dunia ini. Saat Buddha Gotama membabarkan khotbah pertama `Roda Dhamma`; pada akhir khotbah tersebut, Dhammacakkappavattana Sutta, dengan tiga fungsinya, engkau akan mencapai Sotàpatti-Phala bersama dengan delapan belas crore brahma.