Rabu, 17 September 2014

korupsi


FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT IDEALISME,MATERIALISME, DAN PRAGMATISME

Bab I. Pendahuluan
*       
1.1 Latar Belakang masalah
Sebagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu (Ibid : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar dari gaji mereka dan lain-lain.
Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar, membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan serta fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.
Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga diselesaikan dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justeru terjadi setelah masa reformasi. Fenomena ini membuat kita bertanya kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan korupsi, mungkinkah kita salah mengartikan tentang mana yang dianggap korupsi dan mana yang tidak korupsi. Makalah singkat ini akan mengkaji kembali dari sudut pandang filsafat ilmu tentang fenomena korupsi di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.    Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2.    Bagaimanakah Filsafat idealisme dalam memandang korupsi di Indonesia?
3.    Bagaimanakah Filsafat Materialisme dalam memandang korupsi di Indonesia?
4.    Bagaimanakah Filsafat Pragmatisme dalam memandang korupsi di Indonesia?
1.3 Batasan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi permasalahan yang berkenaan dengan “fenomena Korupsi Di Indonesia Dari Sudut Pandang Filsafat idealisme,materialisme, dan pragmatisme”.
1.4 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan menjelaskan :
1.    Pengertian Korupsi
2.    Filsafat idealisme dalam memandang korupsi di Indonesia
3.    Filsafat Materialisme dalam memandang korupsi di Indonesia
4.    Filsafat Pragmatisme dalam memandang korupsi di Indonesia.

Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Korupsi
Menurut Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah “
Kedua pengertian tersebut hanyalah dapat dimengerti dengan baik oleh para ahli hukum atau pejabat dalam bidang hukum. Kalangan awam menganggap bahwa pengertian korupsi bisa jauh lebih luas dari itu, yaitu segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri yang terkait dengan kekayaan negara. Apakah perbuatan itu merugikan negara atau tidak, hal itu bukanlah persoalan utama.
Untuk mengkaji lebih jauh, kita merujuk pada apa yang dimaksud korupsi dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi. Beberapa kata kunci yang merupakan unsur tindak pidana yang perlu didalami yaitu kata-kata: perbuatan”, “melawan hukum”, memperkaya diri sendiri atau orang lain”,merugikan keuangangan/perekonomian negara”, “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya,menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
Dengan batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Seperti yang ditulis oleh Jeremy Pope (Jeremy Pope, 2003 : 31) ternyata bahwa pandangan responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di New South Wales, Australia, dikatakan “penting sekali bagi semua orang yang ingin turut mengurangi korupsi untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai perilaku korupsi akan berbeda-beda dari satu responden ke responden lain. Bahkan konvensi PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan korupsi. Karena itu upaya pemberantasan korupsi semakin sulit karena tidak ada pengertian yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi.
Demikian juga halnya di Indonesia dengan rumusan, yang demikian rumitdapat mempersempit arti apa yang dimaksud perbuatan korupsi. Karena pengertian yang sempit itu, seorang pejabat atau pegawai negeri yang sebenarnya telah melakukan perbuatan tercela yang seharusnya diputuskan/divonis korupsi, tapi bisa dilepaskan dari tuntutan hukum. Sebaliknya dengan rumusan yang demikian juga dapat memperluas apa yang dimaksud korpsi, sehingga orang-orang yang sebenarnya bekerja baik dan efektif serta efisien, karena dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain walaupun dirinya tetap hidup miskin dapat divonis sebagai korupsi padahal bisa jadi tidak ada sedikitpun maksud dari yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tercela yang berupa korupsi.
 Karena itu, sebenarnya inti dari “perbuatan korupsi” adalah “perbuatan tercela”. Untuk menghindari bias pengertian perbuatan tercela ini maka perlu dibuat suatu standar etik yang berlaku dalam birokrasi tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk mengurangi korupsi.
2.2 Filsafat idealisme dalam memandang korupsi di Indonesia
Pengertian korupsi pada perundang-undangan kita adalah cara pandang yang didasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide. Apa yang ada dalam kepala itulah yang diasumsikan sebagai kebenaran, padahal ide tidak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi. Dalam perumusan tindak pidana korupsi telah menjadikan ide sebagai kebenaran dan ide itu dipositifkan kedalam undang-undang. Padahal ide banyak hambatannya dalam melihat suatu kebenaran. Sir Francis Bacon seorang filosof Inggeris, (F.Budi Hardiman, 2004 : 28-29) tidak begitu yakin dengan kebenaran ide, karena ide kadang-kadang terhambat oleh adanya “idola”, yaitu rintangan yang berupa tradisi-tradisi yang merasuki jalan pikiran kita sehingga kita tidak kritis menilai sesuatu.
Menurut F. Bacon, ada 4 macam “idola” yang menjadi rintangan berpikir kritis itu yaitu, pertama; idola trubus, yaitu semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh atas keajekan-keajekan tatanan alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif. Kedua idola cave, yaitu pengalaman-pengalaman dan minta-minat kita pribadi mengarahkan kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan. Ketiga idola fora, yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian kita yang tak teruji. Dan keempat idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan kenyataan subyektif dari para filosofnya.

2.3 Filsafat Materialisme dalam memandang korupsi di Indonesia
Pengertian korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat materialisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga, membantu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungka rakyat secara umum atau menguntungkan negara secara tidak langsung dan perbuatan-perbuatan lain yang terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai perbuatan korupsi. Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.
Korupsi harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu sesuatu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada sebabnya. Sebab itulah yang menimbulkan akibat. Karupsi adalah akibat, yiatu akibat dari sistem yang longgar. Sistem yang memberikan peluang orang untuk melakukan korupsi. Korupsi juga adalah akibat dari kehilangan idealisme dan pengutamaan pada materialisme. Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme maka ada banyak aspek perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat kita sudah dirasuki oleh pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi dan kekayaan.
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain walaupun dapat merugikan negara, tidak selalu berkonotasi jahat sehingga harus dihukum dan dianggap korupsi jika dipandang dari filsafat materialisme itu. Dalam banyak kasus korupsi, koruptor merasa telah banyak berjasa pada negara dengan berjuang dan bekerja keras sehingga negara diuntungkan dari kerjanya itu. Negara pada sisi lain tidak memberikan kontra prestasi material kepada yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan merasa sah-sah saja mendapatkan uang dari negara dalam berbagai bentuknya
Dengan demikian perlu dikaji kembali apa yang dimkasud perbuatan korupasi itu sehingga kita dapat memberikan definisi yang tepat tentang yang disebut “korupsi” dan apa yang tidak “korupsi”, dan tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja pikiran ideal dari para pembentuk undang-undang yang sebenarnya bisa bias kalau dilihat dari sisi empiris. Disamping itu pendekatan hukum untuk memahami korupsi tidak saja dilakukan dengan pendekatan dari pandangan positivis, tetapi juga dilihat dari sudut pandang legal realism.

2.4 Filsafat Pragmatisme dalam memandang korupsi di Indonesia.
Mengamati kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapatkan kekayaan dari keuangan negara apakah legal atau tidak legal dapat mengenangkan banyak orang bahkan pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian bahkan status sosial yang lebih tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan bantuan sosial, sumbangan keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan bahkan dapat membantu negara secara tidak langsung dengan banyak menabung dan menyimpan uang di bank yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomia negara. Orang kaya akan banyak mendapat pujian dan decak kagum dari masyarakat, tidak perduli apakah kekyaan itu berasal dari pekerjaan legal atau tidak legal. Bahkan banyak anggota masyarakat yang berani mati membela orang kaya. Jadi tidak seluruhnya benar bahwa korupsi merugikan orang lain dan merugikan negara atau merupakan perbuatan tercela. Kita harus melihat dari filsafat apa kita melihatnya.
Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.
Demikian juga persoalan suap. Dari sudut mana kita memandang bahwa suap itu adalah perbuatan tercela yang harus dihukum. Dalam banyak hal “suap” itu dibutuhkan untuk efisiensi dan efektifitas dalam filsafat kapitalisme dan ekonomi pasar. Pasarlah yang menentukan seseorang untuk mengambil suatu putusan. Persaingan kehidupan modern sekarang selalu diukur dengan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, karena jika tidak, maka pasti akan ketinggalan.
 Itulah filsafat abad modern. Ketaatan pada aturan main kadang dianggap bisa menghambat kemajuan ekonomi dan persaingan dalam dunia bisnis yang serba cepat. Karena itulah negosiasi pelanggaran lalulintas di jalan antara polisi dan pelanggar lalulintas untuk memberi dan menerima suap adalah lebih efektif dan efisien daripada diproses tilang yang harus datang ke pengadilan menghabiskan waktu dan biaya yang bisa lebih besar. Demikian juga dalam pengurusan ijin-ijin usaha dan lisensi yang membutuhkan kecepatan maka pemberian hadiah dan fasilitas bagi penentu kebijakan akan dapat mempercepat penyelesaian perijinan dan dikeluarkanya kerbijakan itu. Pemegang saham dan atasan di perusahaan akan memberikan apresiasi yang luar biasa atas pekerjaan seseorang atau pimpinan perusahaan yang efektif dan efisien untuk kemajuan perusahaan dan secara tidak langsung akan menguntungkan bagi negara karena negara akan mendapat pemasukan pajak yang lebih besar dan karyawan akan mendapat kesejahteraan lebih baik. Jadi “suap” dari sudut pandang filsfat ekonomi pasar yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi dapat merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak merugikan negara atau orang lain.
Bab III Penutup
1.    Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dari kajian filsafat ilmu terdapat banyak kekurangan yang ditemukan dalam memberikan pengertian tentang korupsi, terutama dari segi rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut ternyata tidak menjangkau seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap “korup” dan apa yang tidak. Sehingga rumusan tersebut potensial tidak menyentuh seluruh aspek perbuatan tercela yang seharusnya dianyatakan sebagai perbuatan “korup”, dan bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan korupsi, sebenarnya bukanlah perbuatan tercela yang seharusnya tidak dapat dihukum.
Persoalan tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya epistemologi penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi. Penulis melihat bahwa pembentuk undang-undang lebih banyak mempergunakan pendekatan dari sisi idealisme dan tidak berdasarkan pendekatan sisi materislisme dan empiris. Disamping itu, dari sisi filsafat hukum pendekatan yang dipergunakan lebih menonjolkan sisi pandang positivis dibanding sudut pandang prgamatis dan “legal realisme”. Apa yang diuraikan di atas adalah baru dari satu persoalan saja yaitu persoalan rumusan tindak pidana korupsi dan suap belum lagi persoalan-persoalan lain yang diatur dalam undang-undang pemberantasan korupsi itu.
2.    Saran
Penggunaan pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan dalam pendekatan mengakibatkan salah persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya pemberantasan korupsi. Untuk penyempurnaan ke depan perlu pendekatan yang lebih komprehensip dalam membuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan dalam implementasinya yaitu tidak saja menggunakan pendekatan idealisme, tapi perlu juga pendekatan lain yaitu pendekatan dari sudut pandang materialisme dan pragmatisme. Penggunaan pendekatan yang utuh seperti ini akan dapat memberikan pemahaman utuh tentang tindak pidana korupsi.

—————————
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin Lopa & Moh Yamin, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 3 tahun 1971) Breikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek, Alumni, Bandung, 1987.
Budi Hardiman, F., Filsfat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzhe, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Donald Walters, J., Crisis in Modern Thought, Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Conny Semiawan, at.al., Panorama Filsafat Ilmu, Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005.
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cet. Kedua, Penerbit Belukar, Yogyakarta, 2005.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, 2001.
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integrasi Nasional,Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia, Jakarta, 2003.
Bank Dunia (The World Bank), Memerangi Korupsi di Indonesia, Kantor Bank Dunia Jakarta, 2003.
United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Korupsi, 2003), Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2004).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

buddha dhamma




BUDDHA DHARMA

1.       BUDDHA
1.1   PENGERTIAN BUDDHA
Menurut Arthur Anthony Macdonell dalam Practical Sanskrit Dictionary, kata Buddha berasal dari bahasa Sansekerta. Budh berarti menjadi sadar, kesadaran sepenuhnya; bijaksana, dikenal, diketahui, mengamati, mematuhi. 
Kata Buddha berarti “Yang Tercerahkan Sepenuhnya” atau “Yang Sadar”. Buddha berarti orang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta.
Buddha adalah gelar kesucian bagi sosok yang tercerahkan sepenuhnya karena Ia telah menyadari kebenaran dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Melalui kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Ia mengetahui apa yang baik dan apa yang tidak baik bagi setiap orang dan menunjukkan kepada kita jalan menuju Kebahagiaan Sejati.
1.2 SIFAT-SIFAT MULIA SANG BUDDHA
Di dalam Anguttara Nikaya Tikanipata 20/265, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sang Buddha, atau disebut Buddhaguna. Ada sembilan Buddhaguna, yaitu:
1.      Araham= manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin
2.      Sammasambuddho = manusia yang mencapai penerangan sempurna dengan usahanya sendiri
3.      Vijjacaranasampanno = mempunyai pengetahuan sempurna dan tindakannya juga sempurna
4.      Sugato = yang terbahagia
5.      Lokavidu = mengetahui dengan sempurna keadaan setiap alam
6.      Anuttaro purisadammasarathi = pembimbing umat manusia yang tiada bandingnya
7.      Satta devamanussanam = guru para dewa dan manusia
8.      Buddho = yang sadar
9.      Bhagava = yang patut dimuliakan (dijunjung)
1.3  TINGKAT PENCAPAIAN BUDDHA
Tingkat kebuddhaan adalah tingkat pencapaian penerangan sempurna.  Menurut tingkat pencapaiannya, Buddha dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1.      Samma sambuddha, memiliki ciri-ciri :
1.     Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usahanya sendiri, tanpa bantuan mahluk lain
2.      Mampu mengajarkan ajaran yang ia peroleh (Dhamma) kepada mahluk lain
3.      Yang diajar tersebut bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti dirinya  
2         Pacceka Buddha, memiliki ciri-ciri :
1.       Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usahanya sendiri, tanpa bantuan mahluk lain
2.       Tidak mengajarkan ajaran yang ia peroleh kepada mahluk lain secara meluas
3.       Yang diajar tersebut belum mampu mencapai tingkat-tingkat kesucian €seperti dirinya.
3         Savaka Buddha, memiliki ciri-ciri :
1.       Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan karena mendengarkan dan melaksanakan ajaran dari Sammasambuddha
2.       Mampu mengajarkan ajaran yang ia peroleh kepada mahluk lain.
3.       Yang diajar bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti dirinya.


Para Buddha pada dasarnya mempunyai tiga prinsip dasar ajaran, yaitu seperti yang tercantum di dalam Dhammapada 183 (Bab XIV Buddha Vagga 5) sebagai berikut:
Sabbapapassa akaranam = tidak melakukan segala bentuk kejahatan
Kusalasupasampada = senantiasa mengembangkan kebajikan
Sacittapariyodapanam = membersihkan batin atau pikiran
Etam buddhana sasanam = inilah ajaran para Buddha

2.      DHARMA
2.1 PENGERTIAN DHARMA
Kata Dhamma berasal dari bahasa Pali atau dharma dalam bahasa Sansekerta, yang berasal dari akar kata “dhr” (baca : dri) yang berarti ‘berada dalam dirinya atau mendukung, menjunjung, menunjang dirinya’ - jadi berarti ada.
Segala sesuatu yang tidak kekal dan selalu berubah, memiliki hakikat ketidakkekalan dan perubahan. Dengan kata lain, ia berada dan menyokong dirinya di dalam arus perubahan. Sedangkan segala yang tidak berubah menyokong dirinya karena tidak ada perubahan. Maka bila disimpulkan dari kedua hal itu, dhamma berarti ‘berada atau mendukung dirinya’. Oleh karena itu, secara harfiah kata dhamma berarti ‘segala sesuatu kecuali ketiadaan (nihil) karena tidak ada sesuatu yang tidak dapat berada dalam dirinya’.
Dhamma mencakup pengertian yang sangat luas, yaitu :
1.       Doktrin ; ajaran Sang Buddha
2.       Norma ; hukum ; alam
3.       Kebenaran ; realitas akhir
4.       Yang luar biasa, khususnya Nibbana
5.       Kebenaran ; keluhuran ; moralitas ; perilaku yang baik ; tingkah laku yang benar
6.       Tradisi ; prakktik ; prinsip ; peraturan ; tugas
7.       Keadilan ; tidak memihak
8.       Benda ; fenomena
9.       Objek yang dapat dikognisi ; objek pikiran ; ide
10.   Keadaan mental ; factor mental ; aktivitas mental
11.   Kondisi ; penyebab ; yang bersebab
2.2  PENGOLONGAN DHARMA
Dharma dapat dibagi atas 2 golongan, yaitu :
  1. Paramattha Dhamma : kebenaran tertinggi / hakekat tertinggi dari segala sesuatu baik berupa batin maupun materi ( Citta, Cetasika, Rupa dan Nibbana) /Paramattha sacca. Paramattha Dhamma terbagi atas 2 golongan, yaitu :
  1. Sankhata/ Sakhara (keadaan yang bersyarat):
    1. Citta (Kesadaran/Pikiran)
    2. Cetasika (bentuk-bentuk batin)
    3. Rupa (materi)
  2. Asankhata/Asankhara ( keadaan yang tak bersyarat), yaitu Nibbana

  1. Paùùati Dhamma : sesuatu yang bukan ada sendiri atau jadi sendiri, tetapi sesuatu yang diberikan nama, untuk dijadikan panggilan sesuai dengan konsep manusia (dunia konsep, dunia kesepakatan) /Samutti sacca. Pannatti dhamma terdiri dari 2 golongan besar , yaitu :
    1. Nama Pannatti, yaitu nama, istilah, sebutan yang diberikan terhadap objek.
    2.   Attha Pannati, yaitu : ide, gagasan yang menerangkan objek , gambaran umum atas nama yang diberikan.

2.3 SIFAT-SIFAT DHARMA
Berdasarkan Kitab Anggutara Nikaya 11.12, ada 6 kualitas/ sifat Dharma, yaitu :
1.       Svākkhāto, yaitu Dharma telah dibabarkan sempurna oleh Buddha. Buddha telah mengajarkan semua yang kita perlukan untuk menjadi baik, bahagia, dan selalu sadar, tidak ada yang ketinggalan. Buddha tidak mengajarkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
2.       Sandiáš­áš­hiko, yaitu Dharma terlihat amat jelas. Kita bisa melihat Dharma dimana saja dalam kehidupan kita sehari-hari.
3.       Akāliko, yaitu Dharma tidak bersela waktu. Dharma diajarkan Buddha ribuan tahun yang lalu. Saat itu, Dharma adalah kebenaran dan dapat membuat hidup kita bahagia. Saat ini, Dharma masih merupakan kebenaran dan membuat kita bahagia. Dan, ribuan tahun mendatang, Dharma tetap merupakan kebenaran, dan membuat hidup kita bahagia. Dharma senantiasa indah, dulu, kini dan nanti.
4.       Ehipassiko, yaitu Dharma mengundang untuk dibuktikan. Buddha mengajarkan kita untuk tidak percaya begitu saja terhadap apa yang kita dengar. Sekalipun Buddha sendiri yang mengucapkannya. Buddha mengajak kita semua untuk datang dan melihat langsung ajaran-Nya.
5.       Opanayiko, yaitu Dharma yang menuntun ke dalam batin. Jika kita menjalani Dharma dengan sungguh-sungguh, Dharma akan membimbing batin kita menjadi tenang dan bahagia.
6.       Paccattaᚃ veditabbo viùùōhi, yaitu Dharma yang dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing. Semua orang, siapapun dia, bisa belajar Dharma, namun kita tidak belajar Dharma dengan menghafal atau tahu saja. Kita mempelajari Dharma dengan hati dan hidup sesuai Dharma.
Untuk dapat mengerti dengan benar mengenai Dhamma tersebut, maka kita harus melaksanakan dengan tiga tahap, yaitu:
1.       Pariyatti Dhamma
Mempelajari Dhamma secara teori, dalam hal ini, yaitu mempelajari dengan tekun Kitab Suci Tipitaka, mendengarkan dharma dari bhikkhu, dharmaduta ataupun media elektronik lainnya.
2.       Patipatti Dhamma
Melaksanakan (mempraktikkan) Dhamma tersebut di dalam kehidupan sehari-hari melalui pelatihan Sila, Samadhi dan Panna.
3.       Pativedha Dhamma Hasil (penembusan), yaitu hasil menganalisa dan merealisasi kejadian-kejadian hidup melalui meditasi pandangan terang (vipassana) hingga merealisasi Kebebasan Mutlak.
3.       BUDDHA DHARMA
Buddha Dharma adalah Dharma yang disadari dan dibabarkan oleh Sang Buddha Gotama yang merupakan suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidak-puasan.  Buddha Dharma juga dikenal dengan istilah Agama Buddha.
Buddha Dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian, filosofi, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susila, etika, dan sebagainya.
Beberapa Pokok-pokok dasar Buddha Dharma mencakup :
1.             Kitab Suci Tripitaka, dimana Tripitaka berisi intisari ajaran Buddha yang terdiri dari :
1.       Vinaya Pitaka, berisi tentang peraturan kebhikkhuan
2.       Sutta Pitaka, berisi tentang babaran Dharma Sang Buddha dan beberapa siswa utama-Nya
3.       Abhidhamma Pitaka, berisi tentang analisa mendalam ajaran Sang Buddha yang mencakup ilmu fisika dasar, ilmu jiwa, logika, dan etika
2.       Empat kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani), yaitu :
1.       Kebenaran Mulia tentang adanya penderitaan (Dukkha Ariyasacca)
2.       Kebenaran Mulia tentang asal mula penderitaan ( Dukkhasamudaya Ariyasacca)
3.       Kebenaran Mulia tentang lenyapnya penderitaan (Dukkhanirodha Ariyasacca)
4.       Kebenaran Mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan ( Dukkhanirodhagamini-patipada Ariyasacca)
3.       Jalan Mulia Beruas delapan (Ariya Atthangika Magga). Dalam Sutta Pitaka-Majjhima Nikaya-44. Cula Vedalla Sutta, 8 faktor jalan tersebut dibagi menjadi
1.       Pandangan Benar (Samma Ditthi)                                             Panna
2.       Pikiran Benar (Samma Sankappa)                                            
3.       Ucapan Benar (Samma Vaca)                                                      Sila
4.       Perbuatan Benar (Samma Kammanta)
5.       Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
6.       Usaha Benar (Samma Vayama)                                                  Samadhi
7.       Perhatian Benar (Samma Sati)
8.       Konsentrasi Benar ( Samma Samadhi)
4.       Tilakkhana ( 3 corak umum ), yaitu :
1.       Anicca (tidak kekal)
2.       Dukkha (penderitaan)
3.       Anatta (tanpa inti)
5.       Tiratana ( Tiga Mustika )
6.       Kamma dan Patisandhi/ Punabbhava ( Hukum Karma dan Tumimbal lahir)
7.       Paticcasamuppada (Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan)
8.       Nibbana (Kebahagiaan Tertinggi)

4.      PERUMPAMAAN BUDDHA, DHARMA DAN SANGHA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Perumpamaan Buddha sebagai Dokter
Perlindungan kepada Buddha, Dharma, Sangha dapat diumpamakan sebagai dokter, obat dan perawat bagi orang sakit yang perlu disembuhkan. Kita ibarat orang sakit karena terjangkit penyakit situasi yang tidak memuaskan dalam hidup kita. Untuk mencari solusinya, kita berkonsultasi pada dokter yang piawai yaitu Buddha, yang mendiagnosis penyebab penyakit kita lalu memberikan resep obat, yaitu Dharma, ajaran-Nya, mengenai bagaimana mencapai pencerahan.
Perumpamaan Dharma sebagai Obat
Kita harus mempraktikkan Dharma, yang diumpamakan sebagai obat yang diresepkan Buddha kepada kita untuk mencapai pencerahan. Tidaklah cukup hanya mendengarkan Dharma, kita harus aktif menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hubungan kita dengan orang lain. Ini berarti kita harus berusaha berperhatian murni dan sadar ketika sikap yang mengganggu muncul. Kemudian, kita menggunakan obat yang membuat kita dapat mengamati situasi yangs sesungguhnya. Jika orang sakit punya obat tetapi tidak meminumnya, orang itu tidak akan sembuh. Begitu pula, bisa jadi kita punya tempat pemujaan megah dan perpustakaan lengkap berisi buku Dharma di rumah, tetapi jika kita tidak bisa membaca isi dari buku tersebut maka kita tidak akan mengetahui apa itu Dharma.
Perumpamaan Sangha sebagai Perawat
Anggota Sangha diumpamakan sebagai perawat yang membantu kita untuk meminum obat Dharma. Perawat akan mengingatkan kita ketika kita lupa pil mana yang harus diminum. Jika kita kesulitan menelan pil yang besar, perawat akan memecahkan pil besar tersebut menjadi potongan-potongan kecil untuk kita. Begitu pula, ketika kita bingung, Sangha akan membantu kita dalam menjalankan Dharma dengan benar. Praktisi yang lebih berpengalaman dari kita dapat menjadi sahabat spiritual yang dapat membantu kita.


KESIMPULAN
Menjadi umat Buddha bukan hanya tertulis di KTP atau kartu identitas lainnya kita beragama Buddha tapi bagaimana kita bisa mempraktikkan Dharma yang kita pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Karena tujuan utama Sang Buddha mengajarkan Dharma dari sejak dahulu, saat ini, dan masa yang akan datang adalah untuk membebaskan diri dari penderitaan.
Dharma bukan hanya tertulis di Kitab Suci atau buku-buku Dharma lainnya ataupun hanya berupa ceramah dari anggota Sangha dan dharmaduta, tapi Dharma berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, untuk mengerti dan memahami dengan benar mengenai Buddha Dharma, maka kita harus melaksanakan 3 cara, yaitu :
1.       Mempelajari Dharma secara teori
2.       Melaksanakan Dharma
3.       Hasil dari realisasi/ penembusan Dharma
Sabda Sang Buddha yang dikutip dari Majjhima Nikaya 10, Satipatthana Sutta, yaitu : “ Tidaklah mungkin, O para siswa, untuk menguasai Samadhi tanpa menguasai Sila. Tidaklah mungkin pula untuk menguasai Panna tanpa menguasai Samadhi .“
Dengan mencermati Sabda Sang Buddha tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa “Praktik Dharma “ bukanlah hanya terbatas pada pengertian yang sempit dan terfokus pada praktik Samadhi (meditasi) saja, atau upacara-upacara ritual dan moralitas saja, atau berdasarkan kebijaksanaan (Panna) saja. Namun perlu dipahami bahwa pengelompokan 3 inti Dharma yaitu : Sila, Samadhi dan Panna itu sendiri hanyalah merupakan ‘pengelompokan’ dari masing-masing unsur Dharma yang terdapat dalam “Jalan Mulia berfaktor Delapan” dan di dalam Praktik atau pelaksanaannya adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipilih dan dipisah-pisahkan. Misalnya, kita memilih praktik silanya dulu, baru praktik yang lain. Atau memilih praktik Samadhi-nya dulu baru melaksanakan Sila dan Panna. Dalam pelaksanannya ketiganya dilaksanakan secara berbarengan.
Dengan demikian, semoga kita sebagai umat Buddhist ‘ yang berpandangan secara Buddhist’ diharapkan tidak lagi berpandangan sempit apalagi berpandangan salah terhadap pengertian serta pemahaman dari makna ‘belajar dan praktik Buddha Dharma’.
                Manfaat pelaksanaan Dharma adalah untuk memperoleh kebahagiaan bagi mereka yang melaksanakannya, bukan hanya untuk diri sendiri saja melainkan juga bagi makhluk lainnya.

“Dhammo have rakkhati dhammacarim
dhammo sucinno sukha mavahati
esanisamso dhamme sucinne
na duggatim gacchati dhammacari”
Artinya
“Dhamma akan melindungi mereka yang mempraktikkan Dharma.
Praktik Dharma akan membawa kebahagiaan
Barangsiapa mengikuti dhamma tidak akan pergi ke alam penderitaan”

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
                Sekian dan terima kasih.

Metta citena,


DAFTAR PUSTAKA

Practical Sanskrit Dictionary, Arthur Anthony Macdonell, Oxford University Press, London, 1965
Dhammapada Sabda-Sabda Buddha Gotama, tim penerjemah Kitab Suci Agama Buddha, CV Dewi Kayana Abadi, Jakarta, 2002
Dharma untuk anak, Handaka Vijjananda, Ehipassiko Foundation, Jakarta, 2013
Rampaian Dhamma, Pandit Jinaratana Kaharuddin, DPP PERVITUBI, Jakarta, 2004
Masuk ke arus Dhamma, Phra Acariya Thoon Khippanno, Wisma Sambodhi Klaten, 1992 
Majjhima Nikaya 1, terjemahan dari Bahasa pali oleh bhikkhu Nanamoli dan bhikkhu Bodhi, terjemahan bahasa Inggris ke Indonesia oleh Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati, Endang Widyawati, S.Pd, Wisma Sambodhi Klaten, 2008
Dhamma, Arti kata dan penggunaannya dalam Agama Buddha, Pandita Dhammavisarada Drs. Teja S.M.Rashid, Buddhist Bodhi, 1996
Abhidhammatthasangaha, Pandit J. Kaharuddin, Vihara Padumuttara, Tangerang, 2005

TEORI BELAJAR HUMANISTIK


 TEORI BELAJAR HUMANISTIK


Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. \proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
            Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
  1. Proses pemerolehan informasi baru,
  2. Personalia informasi ini pada individu.

Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.

  1. Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
            Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
            Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

  1. Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
(1)   suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2)   kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
            Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.

  1. Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
            Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
    1. Kognitif (kebermaknaan)
    2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)

Guru menghubungan pengetahuan akademik ke  dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
            Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1.      Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2.      Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
3.      Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4.      Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.

Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
a.       Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b.      Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c.       Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d.      Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e.       Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f.       Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g.      Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h.      Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.        Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j.        Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.  Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
  1. Merespon perasaan siswa
  2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
  3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
  4. Menghargai siswa
  5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
  6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
  7. Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.

Implikasi Teori Belajar Humanistik

a. Guru Sebagai Fasilitator
            Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
1.      Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2.      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.      Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.      Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.      Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6.      Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7.      Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8.      Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9.      Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
10.  Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.


Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa

            Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
            Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
            Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
  1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
  2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
  3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
  4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
  5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
  6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
  7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
  8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa

Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

Sumber:
  1. Psikologi Belajar: Dr. Mulyati, M.Pd
  2. Psikologi Belajar: Drs. H. Abu Ahmadi dan Drs. Widodo Supriyono
  3. Psikologi Pendidikan: Sugihartono,dkk
  4. Psikologi Pendidikan: Rochman Natawidjaya dan Moein Moesa
  5. Landasan Kependidikan: Prof. Dr. Made Pidarta