Berdana Dengan Pengertian
Berdana Dengan Pengertian
Oleh: Yang Arya Bhikkhu Uttamo Thera
Oleh: Yang Arya Bhikkhu Uttamo Thera
Berdana
dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama Saat ini akan dijelaskan
tentang Sangha Dana, atau mempersembahkan dana kepada anggota Sangha
diluar masa Kathina. Walaupun saat tersebut sudah tidak lagi di bulan
Kathina tetapi bukan berarti perbuatan baik yang akan dilakukan
kemudian menjadi kecil manfaatnya. Sebagai gambaran, kita akan melihat
permainan bulu tangkis. Dalam permainan ini ada beberapa peraturan
dasar yang harus kita patuhi. Ada garisnya, ada cocknya, ada pemainnya,
ada raket, kemudian pakaiannya pun khusus. Kita tidak dapat
membayangkan andaikata permainan bulu tangkis ini tidak mempergunakan
cock melainkan mempergunakan bola bekel, misalnya. Bagaimana bila
bolanya di-smash dan kena kepala lawan main, pasti benjol! Bola bekel
untuk bulu tangkis tidak akan cocok. Atau mungkin kita bisa
membayangkan bulu tangkis dengan mempergunakan cock tetapi bulunya
tinggal satu helai. Jadi kalau dipukul muntir-muntir. Tidak mungkin
dipakai. Kita juga bisa tahu bahwa para pemain bulu tangkis membutuhkan
pakaian tertentu, celana pendek dan kaos. Bayangkan saja bila kita
sekarang bermain bulu tangkis dengan mengenakan jas. Juga tidak
mungkin, memang bukan pada tempatnya. Demikianlah ibarat bermain bulu
tangkis demikian pula berdana. Kalau kita melihat permainan bulu
tangkis ada yang memukul dan ada pula yang menerima, pukul lagi, terima
lagi, konsep berdana juga sama, ada yang memberi dan ada yang menerima.
Tapi si penerima tidak hanya menerima saja melainkan juga diumpan
kembali, terima lagi-umpan lagi, demikian seterusnya. Karena seperti
bulu tangkis yang membutuhkan beberapa aturan, maka berdanapun untuk
mencapai nilai puncak, mencapai point tinggi, juga membutuhkan
peraturan ataupun persyaratan. Persyaratan pertama, dalam
mempersembahkan dana kita hendaknya juga memperhatikan barang yang
hendak didanakan. Barang yang kita persembahkan hendaknya barang yang
bersih. Pengertian ‘bersih’ disini bukan berarti barang yang steril,
misalnya piring yang disterilkan. ‘Barang bersih’ artinya kita
mempersembahkan barang yang didapatkan dari perbuatan atau usaha yang
baik, bukan dari mencuri maupun merampok. Namun sering muncul
pertanyaan bagaimana kalau ada orang yang menjadi perampok budiman,
merampoki orang kaya kemudian hasilnya dibagikan kepada orang yang
miskin. Apakah perbuatan ini juga termasuk berdana? Sebenarnya
perbuatan ini dapat dimasukkan sebagai berdana tetapi berdana yang
tidak sehat. Kalau ibarat bulu tangkis tadi cocknya bulunya cuma satu
helai, bisa dipergunakan untuk bermain, tetapi bila dipukul akan
muntir, tidak karuan dan membingungkan. Jadi orang yang berdana bingung
dan si penerima dana juga bingung. Dana dengan cara sebagai perampok
budiman akan menghasilkan buah yang kecil. Hal ini disebabkan karena
barang yang didanakan didapat dari tindakan yang tidak benar. Akan jauh
lebih baik bila kita berdana dengan barang yang bersih, barang yang
kita dapatkan dari hasil keringat kita sendiri. Barang hasil perjuangan
kita sendiri inilah yang memiliki nilai tinggi sekali. Oleh karena itu,
umat hendaknya mempersiapkan persembahan dana Kathina ini dengan
matang. mempersiapkan diri jauh sebelum bulan Kathina datang.
Menyiapkan diri dengan menabung setiap hari sebagian penghasilannya
sehingga bila telah tiba hari Kathina, tabungan dibuka dan
dipersembahkan.
Ada sebuah cerita dari negara
Buddhis, Thailand. Di Thailand para bhikkhu biasanya setiap pagi keluar
vihara untuk memberi kesempatan umat berbuat baik dengan
mempersembahkan dana makan. Kegiatan ini disebut Pindapatta. Pada waktu
Pindapatta para bhikkhu berjalan perlahan sambil membawa mangkuk
melewati tempat-tempat umum, kampung dan pasar. Pada suatu saat pernah
terjadi seorang bhikkhu yang sedang berjalan membawa mangkuknya. Ia
melihat di pinggir sebuah jembatan ada seorang pengemis yang sedang
duduk. Pengemis itu memang setiap hari kerjanya duduk di situ.
Mengemis. Namun dia tidak pernah mengemis kepada para bhikkhu. Suatu
hari pengemis ini hendak mempersembahkan dana makan berupa nasi bungkus
kepada bhikkhu tersebut. Si bhikkhu kaget dan berusaha menghindari si
pengemis. Si bhikkhu berpikir bahwa si pengemis ini sudah sulit
hidupnya karena itu tidak perlu mempersembahkan dana makan kepadanya.
Akan tetapi, si pengemis malah meratap dan bertanya apakah ia sebagai
pengemis miskin tidak diberi kesempatan berbuat baik? Mendengar
kata-kata si pengemis, sang bhikkhu timbullah hati welas asihnya dan
diterimalah persembahan dana makan dari si pengemis. Ternyata, si
pengemis memang telah bertekad bahwa sebagian dari jumlah uang yang
diterimanya pada pagi itu akan dipersembahkan kepada bhikkhu. Dana
semacam ini dapat dikelompokkan sebagai dana yang bersih. Dana yang
bersih ini bila diibaratkan dengan cock bulu tangkis tadi adalah
bagaikan cock yang baru, mulus, timbangannya cocok, tidak oleng-oleng
kemana-mana. Oleh karena dana yang diberikan ini betul-betul mulus,
murni dari hasil dirinya sendiri.
Persyaratan kedua, barangnya baik.
Barang baik adalah barang yang tidak rusak sehingga dapat dipergunakan
sesuai dengan tujuannya. Misalnya, kita sekarang bekerja keras karena
mengetahui bahwa besok pagi akan mempersembahkan dana makan kepada para
bhikkhu. Dengan hasil yang telah dikumpulkan, kita mempersiapkan
makanan, tapi barangnya tidak baik, misalnya makanan yang sudah basi.
Hal itu termasuk barang yang bersih tetapi bukan barang baik. Keadaan
itu ibarat sebuah cock dengan timbangan baik, tetapi bulunya sudah
kusut tidak karuan karena terkena banyak smash.
Selain barang bersih, barang baik,
persyaratan ketiga adalah barang layak. Barang layak artinya adalah
barang yang sesuai dengan si penerima. Pantas. Janganlah kita
mempersembahkan sisir rambut kepada para bhikkhu. Sisir baru yang
dibeli dengan uang hasil kerja dalam hal ini memang barang yang bersih
dan baik tetapi tidak sesuai untuk dipergunakan para bhikkhu. Begitu
pula dengan mempersembahkan dana sepatu kepada para bhikkhu, tidak
layak, tidak pantas. Barang-barang semacam ini adalah barang yang tidak
sesuai.
Oleh karena itu, sebelum kita
mempersembahkan dana, hendaknya kita renungkan terlebih dahulu apakah
barang yang kita persembahkan itu telah sesuai untuk para bhikkhu
ataukah kurang sesuai. Sesungguhnya para bhikkhu hanya membutuhkan
empat kebutuhan pokok saja yaitu sandang, pangan, papan dan
obat-obatan. Tidak ada yang lain. Sandang atau pakaian untuk para
bhikkhu hanyalah satu set jubah. Pangan atau makanan yang diperlukan
oleh para bhikkhu juga agak terbatas, terbatas waktu makannya. Para
bhikkhu paling banyak sehari hanya makan dua kali saja sebelum tengah
hari. Setelah jam 12 siang, para bhikkhu berpuasa, tidak makan lagi,
minum pun terbatas jenisnya. Papan atau tempat tinggal untuk para
bhikkhu biasanya berupa vihara atau untuk beberapa waktu dapat tinggal
di rumah yang disediakan oleh umat. Obat-obatan untuk para bhikkhu
biasanya juga telah banyak tersedia di vihara. Keadaan ini kadang
membuat para umat berpikir, bagaimana umat dapat ber-pindapatta,
padahal umat sering baru mempunyai waktu ke vihara setelah jam 12
siang. Kemudian umat juga melihat bahwa para bhikkhu telah memiliki
cukup sandang, pangan, dan papan atau tempat tinggal, serta obat-obatan
di vihara. Sedangkan kebutuhan para bhikkhu hanyalah empat saja, dan
kebutuhan ini pun tidak selalu diperlukan setiap saat, kecuali
kebutuhan pangan. Oleh karena itu, kemudian umat mewujudkan empat
kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan dan obat-obatan ini dalam
bentuk materi penggantinya atau dalam bentuk uang. Persembahan empat
kebutuhan pokok dalam bentuk uang ini kemudian dimasukkan ke dalam
amplop. Namun, walaupun pada waktu itu yang dipersembahkan adalah uang
hendaknya dalam pikiran kita tetap merenungkan bahwa kita berdana empat
kebutuhan pokok yaitu, sandang, pangan, papan dan obat-obatan seharga
nilai nominal uang yang dipersembahkan. Dengan mengingat hukum sebab
dan akibat bahwa sesuai dengan benih yang ditanam demikian pula buah
yang akan dipetik, persembahan dana empat kebutuhan pokok itu akan
dapat membuahkan kebahagiaan dalam bentuk kecukupan empat kebutuhan
pokok dalam kehidupan kita. Sandangnya banyak macam, makanannya
berlimpah ruah, tempat tinggalnya lebih dari satu, fasilitas
obat-obatan lengkap, dapat berobat kemana-mana.
Berbicara tentang barang yang kita
berikan kalau ibarat bulutangkis tadi adalah bolanya, maka disamping
itu, bulutangkis juga perlu memperhatikan ketepatan waktu. Waktu
memukul bola hendaknya dilakukan bila bola sudah datang, jangan bolanya
masih dipegang musuh, kita sudah memukulnya, ketika bola datang kita
malah diam tidak bergerak. Hal ini salah. Jadi, waktu atau saat memukul
ini penting. Demikian pula, kapankah waktu kita berdana? Segera
dilaksanakan, adalah merupakan persyaratan yang keempat. Apabila
pikiran baik kita muncul, pada saat itu juga segera kerjakanlah.
Jikalau kita menunda mengerjakan suatu perbuatan baik maka ada
kemungkinan kita malahan membatalkan niat melakukan perbuatan baik itu,
pikiran memang mudah berubah. Pikiran yang baik bila diproses secara
lambat malahan hasilnya kita tidak jadi melakukan perbuatan apa-apa.
Oleh karena itu, kapankah kita melakukan perbuatan baik? Pada saat
terpikir, pada saat itu juga! Tidak perlu menunggu waktu lagi.
Misalnya, kita akan berdana kepada para bhikkhu, tidak perlu menunggu
nanti hari Kathina tahun depan saja. Kalau kita masih hidup. Kalau
sudah meninggal? Hilanglah kesempatan kita berbuat baik. Kita juga
tidak perlu menunggu jumlah bhikkhu yang hadir genap sembilan orang.
Kalau bhikkhunya tidka datang semua? Atau kita harus menunggu kalau
jumlah bhikkhunya mencapai empat orang karena jumlah itulah yang dapat
disebut dengan Sangha. Itupun pendapat yang salah. Biarlah, seadanya
bhikkhu saja. Justru bukan jumlah bhikkhu yang perlu kita pikirkan
tetapi menjaga kondisi pikiran kita agar tetap memiliki niat baik
itulah yang penting. Oleh karena itu, bila pikiran baik muncul, segera
kerjakanlah.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering
muncul keinginan berdana tetapi jarang menjumpai bhikkhu. Kesulitan ini
dapat diatasi dengan cara mempersiapkan di rumah sebuah kotak dana
terkunci. Anak kunci kotak ini dapat dititipkan pada seorang bhikkhu
atau di vihara, misalnya. Jadi begitu timbul pikiran baik segera
masukkan uang ke kotak dana tadi. Perbuatan ini dapat kita ulang setiap
saat. Bila telah dirasa cukup dan masanya pun telah tiba, bolehlah
kotak dana tadi dibuka dan isinya diserahkan ke vihara. Beres. Oleh
karena itu, dalam berbuat kebaikan, hendaknya barangnya baik, bersih,
sesuai, kemudian waktunya pun hendaknya segera dilaksanakan.
Sebagai persyaratan kelima,
persembahan hendaknya sering dilakukan. Artinya bukan berdana sekali
seumur hidup dalam jumlah sebesar-besarnya kemudian tidak pernah
melaksanakannya lagi. Itu keliru. Contohnya, seseorang melaksanakan
pelepasan satwa sejumlah 1000 ekor burung tetapi kemudian seumur hidup
sudah tidak pernah dilakukannya lagi. Sikap ini juga kurang tepat, hal
ini berarti orang hanya mempunyai pikiran dan perbuatan baik sekali itu
saja. Dalam pengertian agama Buddha kita hendaknya sering memberi
kondisi pikiran dan perbuatan kita untuk melakukan kebaikan. Jadi,
kalau memang kita telah bertekad dalam satu tahun akan membebaskan
makhluk sebanyak seribu ekor, maka cobalah dibagi menjadi 20 kali
melepas, misalnya; jadi setiap kali melepas sekitar 50 ekor. Dengan
demikian, pikiran akan terkondisi untuk lebih sering berbuat baik. Jadi
sering-seringlah untuk melakukan kebaikan seperti badminton yang tidak
gampang turun bolanya karena para pemainnya trampil mengolah bola. Itu
baru permainan menarik. Tapi apabila baru sekali pukul kemudian bolanya
sudah jatuh, dipukul lagi, jatuh lagi. Sungguh permainan yang tidak
menarik. Hal itu sama dengan orang yang setahun sekali baru berbuat
baik, kurang besar manfaat bagi dirinya.
Apabila kita telah dapat melaksanakan
dana secara rutin, maka hendaknya kita berdana dengan pikiran yang
baik. Pikiran yang baik adalah persyaratan keenam. Diibaratkan pakaian
orang bermain badminton harus bercelana pendek dan memakai kaos olah
raga. Sulit dibayangkan bila seseorang hanya memakai salah satu dari
pakaian perlengkapan bermain badminton tadi. Hanya pakai celana tanpa
baju atau mengenakan baju tanpa celana…. Pikiran yang baik ini adalah
pikiran bahagia pada saat kita mempersiapkan, mempersembahkan dan
setelah mempersembahkan dana. Ada sebuah cerita tentang orang yang
berdana. Hatinya senang ketika sedang mempersiapkan dana. Pada waktu
mempersembahkan dana, ia masih merasa senang, namun setelah
mempersembahkan dana timbullah penyesalan. Kondisi pikiran ini akan
membuahkan kelahiran kembali sebagai anak orang kaya. Sejak kecil
banyak harta dimilikinya. Kondisi kebahagian ini berlangsung sampai
dengan ia dewasa. Akan tetapi, di masa tuanya ia jatuh miskin.
Penderitaan di hari tua ini adalah buah penyesalannya setelah
mempersembahkan dana tadi.
Sebaliknya, ada orang pada awalnya
merasa tidak senang melakukan perbuatan baik. Pada waktu
mempersembahkan dana juga memiliki pikiran yang kurang simpatik. Namun,
setelah mempersembahkan dana ia merasakan kebahagiaan. Apakah buah
karma pikiran semacam ini? Apabila ia terlahir kembali maka dimasa
kecilnya ia menderita; pada usia dewasa ia juga masih menderita namun
dihari tuanya ia akan berbahagia. Jadi kondiisi pikiran sebelum
mempersembahkan dana mewakili keadaan kita di masa kecil dalam
kehidupan yang akan datang. Kondisi pikiran ketika mempersembahkan dana
mewakili usia dewasa. Kondisi pikiran setelah mempersembahkan dana
mewakili usia tua. Oleh karena itu, sejak kecil, dewasa, sampai tua
bahkan seumur hidup kita akan bahagia bila pada waktu mempersiapkan,
mempersembahkan dan setelah mempersembahkan dana pikiran kita selalu
berbahagia.
Kembali tentang perumpamaan permainan
bulu tangkis. Dalam permainan ini dibutuhkan para pemain. Para pemain
hendaknya telah mengetahui aturan mainnya. Dengan mengikuti aturan main
bulu tangkis maka permainan akan tertib, tidak kacau. Begitu pula dalam
berdana, si pemberi dan si penerima hendaknya mempunyai kemoralan sila
yang sama, minimal Pancasila Buddhis. Oleh karena itu, masalah tentang
perampok budiman di atas adalah seperti permainan bulu tangkis yang
tidak seimbang pemainnya. Seperti orang yang pandai badminton melawan
orang yang baru saja belajar. Pusing. Demikian pula perampok yang
mempersembahkan hasil rampokannya untuk vihara.
Begitu pula bila seorang wanita tuna
susila mempersembahkan dana. Dana yang dipersembahkan diperoleh dari
perbuatan yang melanggar sila. Memang dana itu masih tetap dapat
diterima, sebab bila tidak diterima, kapan lagi mereka memiliki
kesempatan berbuat baik dan memperbaiki keadaan? Jadi walaupun orang
yang diberi dan yang memberi ini tidak seimbang, tetapi tetap, tetap
bisa membawa manfaat. Seperti orang main badminton yang satu mengenakan
jas sedangkan pemain yang lainnya mengenakan pakaian olah raga. Juga
tidak apa-apa, masih tetap bisa bermain, hanya saja tidak seimbang.
Oleh karena itu, sebaiknya sebelum
berdana kita memohon sila terlebih dahulu, minimal Pancasila Buddhis.
Walaupun di luar gerbang Vihara ini kita telah melanggar salah satu
sila atau bahkan kelima-limanya, tetapi kalau di dalam kompleks Vihara
hendaknya kemoralan kita diperbaiki. Caranya adalah dengan memohon
tuntunan Pancasila Buddhis yang terdiri dari tekad untuk tidak
melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, bohong dan
mabuk-mabukkan. Dengan menjalankan tuntunan itu, minimal selama dalam
kompleks Vihara kemoralan kita menjadi lebih baik. Sehingga antara
fihak yang memberi dan yang diberi sudah seimbang kemoralannya. Hal ini
akan memperbesar manfaat dan buah kebjikannya. Permainan badmintonnya
akan enak dinikmati. Para umat memberi, para bhikkhu pun memberi. Para
umat memberikan materi yang diperoleh dari bekerja keras dalam
masyarakat. Sedangkan para bhikkhu memberikan buah kebajikan yang besar
kepada para umat yaitu dengan cara pengolahan diri sesuai Ajaran Sang
Buddha, pelaksanaan kemoralan dengan sebaik-baiknya. Sehingga para umat
benar-benar seperti menanam di ladang yang subur. Dana dari umat akan
dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sepiring nasi yang
dipersembahkan bukan hanya untuk main-main tetapi akan diolah oleh
tubuh para bhikkhu menjadi tenaga untuk menjaga kesehatan, menyambung
kehidupan dan sekaligus untuk tenaga membabarkan Buddha Dhamma. Dengan
demikian, sepiring nasi yang dipersembahkan, nilainya bukan lagi harga
nominal sepiring nasi sewaktu dibeli. Bukan. Sepiring nasi ini nilainya
menjadi nilai Dhamma, karena telah diubah menjadi tenaga untuk
membabarkan dan melestarikan Buddha Dhamma. Di dalam Dhammapada XXIV,
21 dikatakan bahwa Pemberian Kebenaran (Dhamma) mengalahkan segenap
pemberian lainnya. Dengan sepiring nasi yang dipersembahkan kepada para
bhikkhu sama dengan melaksanakan Dhammadana. Jenis dana yang paling
tinggi untuk dipersembahkan. Dengan menerima persembahan kebutuhan
sandang, pangan, papan dan obat-obatan, para bhikkhu dapat
memanfaatkannya untuk pembabaran Dhamma di daerah-daerah lain. Dengan
demikian, hasil setiap tetes keringat yang diberikan kepada para
bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana. Buah Dhammadana ini juga akan
dinikmati sendiri oleh si pemberi dalam kehidupan ini.
Itulah hal yang bisa dilakukan dalam
permainan bulu tangkis perbuatan baik ini. Para umat memberikan
dukungan moral, kemudian memberikan dukungan material, menunjang
kehidupan para bhikkhu. Para bhikkhu pun memberikan dukungan mental
kepada para umat dengan memberikan contoh moral serta berjuang dalam
kebajikan. Para bhikkhu pun selalu merenungkan dan mengingatkan diri
sendiri, bahwa para umat telah menunjang kehidupan para bhikkhu selama
menjalani kehidupan kebhikkhuan. Jadi, bila seorang bhikkhu telah 23
tahun menjadi bhikkhu, berarti selama 23 tahun pula hidupnya disokong
oleh umat. Padahal, para umat bukanlah sanak maupun keluarganya. Umat
dengan rela dan ikhlas telah menyantuni kehidupan para bhikkhu sampai
sekian lama. Apakah sekarang balas jasa para bhikkhu kepada umat?
Seperti dalam permainan bulu tangkis tadi, bila seorang pemain setelah
mendapatkan bola hendaknya segera mengembalikannya kepada pemain yang
lain. Demikian pula dengan para bhikkhu, setelah menerima persembahan
hendaknya mengembalikannya lagi kepada umat dengan cara meningkatkan
semaksimal mungkin perjuangan dalam Dhamma dan pelaksanaan peraturan
kemoralan. Sehingga semakin banyak umat menanam kebajikan, semakin
lebat pula buah kebajikan yang diterimanya.
Dalam Manggala Sutta disebutkan bahwa
berdana dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama. Para umat Buddha
yang melaksanakan Dhamma dengan mempersembahkan dana kepada Sangha
dapat juga disebut sebagai Dhammadana. Sebab, apapun yang
dipersembahkan kepada para bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana,
menjadi sarana pembabaran Dhamma kepada orang lain sehingga buah
lebatnya akan dapat dimiliki si pemberi.
Berdana dan melaksanakan Dhamma
adalah Berkah Utama Saat ini akan dijelaskan tentang Sangha Dana, atau
mempersembahkan dana kepada anggota Sangha diluar masa Kathina.
Walaupun saat tersebut sudah tidak lagi di bulan Kathina tetapi bukan
berarti perbuatan baik yang akan dilakukan kemudian menjadi kecil
manfaatnya. Sebagai gambaran, kita akan melihat permainan bulu tangkis.
Dalam permainan ini ada beberapa peraturan dasar yang harus kita
patuhi. Ada garisnya, ada cocknya, ada pemainnya, ada raket, kemudian
pakaiannya pun khusus. Kita tidak dapat membayangkan andaikata
permainan bulu tangkis ini tidak mempergunakan cock melainkan
mempergunakan bola bekel, misalnya. Bagaimana bila bolanya di-smash dan
kena kepala lawan main, pasti benjol! Bola bekel untuk bulu tangkis
tidak akan cocok. Atau mungkin kita bisa membayangkan bulu tangkis
dengan mempergunakan cock tetapi bulunya tinggal satu helai. Jadi kalau
dipukul muntir-muntir. Tidak mungkin dipakai. Kita juga bisa tahu bahwa
para pemain bulu tangkis membutuhkan pakaian tertentu, celana pendek
dan kaos. Bayangkan saja bila kita sekarang bermain bulu tangkis dengan
mengenakan jas. Juga tidak mungkin, memang bukan pada tempatnya.
Demikianlah ibarat bermain bulu tangkis demikian pula berdana. Kalau
kita melihat permainan bulu tangkis ada yang memukul dan ada pula yang
menerima, pukul lagi, terima lagi, konsep berdana juga sama, ada yang
memberi dan ada yang menerima. Tapi si penerima tidak hanya menerima
saja melainkan juga diumpan kembali, terima lagi-umpan lagi, demikian
seterusnya. Karena seperti bulu tangkis yang membutuhkan beberapa
aturan, maka berdanapun untuk mencapai nilai puncak, mencapai point
tinggi, juga membutuhkan peraturan ataupun persyaratan. Persyaratan
pertama, dalam mempersembahkan dana kita hendaknya juga memperhatikan
barang yang hendak didanakan. Barang yang kita persembahkan hendaknya
barang yang bersih. Pengertian ‘bersih’ disini bukan berarti barang
yang steril, misalnya piring yang disterilkan. ‘Barang bersih’ artinya
kita mempersembahkan barang yang didapatkan dari perbuatan atau usaha
yang baik, bukan dari mencuri maupun merampok. Namun sering muncul
pertanyaan bagaimana kalau ada orang yang menjadi perampok budiman,
merampoki orang kaya kemudian hasilnya dibagikan kepada orang yang
miskin. Apakah perbuatan ini juga termasuk berdana? Sebenarnya
perbuatan ini dapat dimasukkan sebagai berdana tetapi berdana yang
tidak sehat. Kalau ibarat bulu tangkis tadi cocknya bulunya cuma satu
helai, bisa dipergunakan untuk bermain, tetapi bila dipukul akan
muntir, tidak karuan dan membingungkan. Jadi orang yang berdana bingung
dan si penerima dana juga bingung. Dana dengan cara sebagai perampok
budiman akan menghasilkan buah yang kecil. Hal ini disebabkan karena
barang yang didanakan didapat dari tindakan yang tidak benar. Akan jauh
lebih baik bila kita berdana dengan barang yang bersih, barang yang
kita dapatkan dari hasil keringat kita sendiri. Barang hasil perjuangan
kita sendiri inilah yang memiliki nilai tinggi sekali. Oleh karena itu,
umat hendaknya mempersiapkan persembahan dana Kathina ini dengan
matang. mempersiapkan diri jauh sebelum bulan Kathina datang.
Menyiapkan diri dengan menabung setiap hari sebagian penghasilannya
sehingga bila telah tiba hari Kathina, tabungan dibuka dan
dipersembahkan.
Ada sebuah cerita dari negara
Buddhis, Thailand. Di Thailand para bhikkhu biasanya setiap pagi keluar
vihara untuk memberi kesempatan umat berbuat baik dengan
mempersembahkan dana makan. Kegiatan ini disebut Pindapatta. Pada waktu
Pindapatta para bhikkhu berjalan perlahan sambil membawa mangkuk
melewati tempat-tempat umum, kampung dan pasar. Pada suatu saat pernah
terjadi seorang bhikkhu yang sedang berjalan membawa mangkuknya. Ia
melihat di pinggir sebuah jembatan ada seorang pengemis yang sedang
duduk. Pengemis itu memang setiap hari kerjanya duduk di situ.
Mengemis. Namun dia tidak pernah mengemis kepada para bhikkhu. Suatu
hari pengemis ini hendak mempersembahkan dana makan berupa nasi bungkus
kepada bhikkhu tersebut. Si bhikkhu kaget dan berusaha menghindari si
pengemis. Si bhikkhu berpikir bahwa si pengemis ini sudah sulit
hidupnya karena itu tidak perlu mempersembahkan dana makan kepadanya.
Akan tetapi, si pengemis malah meratap dan bertanya apakah ia sebagai
pengemis miskin tidak diberi kesempatan berbuat baik? Mendengar
kata-kata si pengemis, sang bhikkhu timbullah hati welas asihnya dan
diterimalah persembahan dana makan dari si pengemis. Ternyata, si
pengemis memang telah bertekad bahwa sebagian dari jumlah uang yang
diterimanya pada pagi itu akan dipersembahkan kepada bhikkhu. Dana
semacam ini dapat dikelompokkan sebagai dana yang bersih. Dana yang
bersih ini bila diibaratkan dengan cock bulu tangkis tadi adalah
bagaikan cock yang baru, mulus, timbangannya cocok, tidak oleng-oleng
kemana-mana. Oleh karena dana yang diberikan ini betul-betul mulus,
murni dari hasil dirinya sendiri.
Persyaratan kedua, barangnya baik.
Barang baik adalah barang yang tidak rusak sehingga dapat dipergunakan
sesuai dengan tujuannya. Misalnya, kita sekarang bekerja keras karena
mengetahui bahwa besok pagi akan mempersembahkan dana makan kepada para
bhikkhu. Dengan hasil yang telah dikumpulkan, kita mempersiapkan
makanan, tapi barangnya tidak baik, misalnya makanan yang sudah basi.
Hal itu termasuk barang yang bersih tetapi bukan barang baik. Keadaan
itu ibarat sebuah cock dengan timbangan baik, tetapi bulunya sudah
kusut tidak karuan karena terkena banyak smash.
Selain barang bersih, barang baik,
persyaratan ketiga adalah barang layak. Barang layak artinya adalah
barang yang sesuai dengan si penerima. Pantas. Janganlah kita
mempersembahkan sisir rambut kepada para bhikkhu. Sisir baru yang
dibeli dengan uang hasil kerja dalam hal ini memang barang yang bersih
dan baik tetapi tidak sesuai untuk dipergunakan para bhikkhu. Begitu
pula dengan mempersembahkan dana sepatu kepada para bhikkhu, tidak
layak, tidak pantas. Barang-barang semacam ini adalah barang yang tidak
sesuai.
Oleh karena itu, sebelum kita
mempersembahkan dana, hendaknya kita renungkan terlebih dahulu apakah
barang yang kita persembahkan itu telah sesuai untuk para bhikkhu
ataukah kurang sesuai. Sesungguhnya para bhikkhu hanya membutuhkan
empat kebutuhan pokok saja yaitu sandang, pangan, papan dan
obat-obatan. Tidak ada yang lain. Sandang atau pakaian untuk para
bhikkhu hanyalah satu set jubah. Pangan atau makanan yang diperlukan
oleh para bhikkhu juga agak terbatas, terbatas waktu makannya. Para
bhikkhu paling banyak sehari hanya makan dua kali saja sebelum tengah
hari. Setelah jam 12 siang, para bhikkhu berpuasa, tidak makan lagi,
minum pun terbatas jenisnya. Papan atau tempat tinggal untuk para
bhikkhu biasanya berupa vihara atau untuk beberapa waktu dapat tinggal
di rumah yang disediakan oleh umat. Obat-obatan untuk para bhikkhu
biasanya juga telah banyak tersedia di vihara. Keadaan ini kadang
membuat para umat berpikir, bagaimana umat dapat ber-pindapatta,
padahal umat sering baru mempunyai waktu ke vihara setelah jam 12
siang. Kemudian umat juga melihat bahwa para bhikkhu telah memiliki
cukup sandang, pangan, dan papan atau tempat tinggal, serta obat-obatan
di vihara. Sedangkan kebutuhan para bhikkhu hanyalah empat saja, dan
kebutuhan ini pun tidak selalu diperlukan setiap saat, kecuali
kebutuhan pangan. Oleh karena itu, kemudian umat mewujudkan empat
kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan dan obat-obatan ini dalam
bentuk materi penggantinya atau dalam bentuk uang. Persembahan empat
kebutuhan pokok dalam bentuk uang ini kemudian dimasukkan ke dalam
amplop. Namun, walaupun pada waktu itu yang dipersembahkan adalah uang
hendaknya dalam pikiran kita tetap merenungkan bahwa kita berdana empat
kebutuhan pokok yaitu, sandang, pangan, papan dan obat-obatan seharga
nilai nominal uang yang dipersembahkan. Dengan mengingat hukum sebab
dan akibat bahwa sesuai dengan benih yang ditanam demikian pula buah
yang akan dipetik, persembahan dana empat kebutuhan pokok itu akan
dapat membuahkan kebahagiaan dalam bentuk kecukupan empat kebutuhan
pokok dalam kehidupan kita. Sandangnya banyak macam, makanannya
berlimpah ruah, tempat tinggalnya lebih dari satu, fasilitas
obat-obatan lengkap, dapat berobat kemana-mana.
Berbicara tentang barang yang kita
berikan kalau ibarat bulutangkis tadi adalah bolanya, maka disamping
itu, bulutangkis juga perlu memperhatikan ketepatan waktu. Waktu
memukul bola hendaknya dilakukan bila bola sudah datang, jangan bolanya
masih dipegang musuh, kita sudah memukulnya, ketika bola datang kita
malah diam tidak bergerak. Hal ini salah. Jadi, waktu atau saat memukul
ini penting. Demikian pula, kapankah waktu kita berdana? Segera
dilaksanakan, adalah merupakan persyaratan yang keempat. Apabila
pikiran baik kita muncul, pada saat itu juga segera kerjakanlah.
Jikalau kita menunda mengerjakan suatu perbuatan baik maka ada
kemungkinan kita malahan membatalkan niat melakukan perbuatan baik itu,
pikiran memang mudah berubah. Pikiran yang baik bila diproses secara
lambat malahan hasilnya kita tidak jadi melakukan perbuatan apa-apa.
Oleh karena itu, kapankah kita melakukan perbuatan baik? Pada saat
terpikir, pada saat itu juga! Tidak perlu menunggu waktu lagi.
Misalnya, kita akan berdana kepada para bhikkhu, tidak perlu menunggu
nanti hari Kathina tahun depan saja. Kalau kita masih hidup. Kalau
sudah meninggal? Hilanglah kesempatan kita berbuat baik. Kita juga
tidak perlu menunggu jumlah bhikkhu yang hadir genap sembilan orang.
Kalau bhikkhunya tidka datang semua? Atau kita harus menunggu kalau
jumlah bhikkhunya mencapai empat orang karena jumlah itulah yang dapat
disebut dengan Sangha. Itupun pendapat yang salah. Biarlah, seadanya
bhikkhu saja. Justru bukan jumlah bhikkhu yang perlu kita pikirkan
tetapi menjaga kondisi pikiran kita agar tetap memiliki niat baik
itulah yang penting. Oleh karena itu, bila pikiran baik muncul, segera
kerjakanlah.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering
muncul keinginan berdana tetapi jarang menjumpai bhikkhu. Kesulitan ini
dapat diatasi dengan cara mempersiapkan di rumah sebuah kotak dana
terkunci. Anak kunci kotak ini dapat dititipkan pada seorang bhikkhu
atau di vihara, misalnya. Jadi begitu timbul pikiran baik segera
masukkan uang ke kotak dana tadi. Perbuatan ini dapat kita ulang setiap
saat. Bila telah dirasa cukup dan masanya pun telah tiba, bolehlah
kotak dana tadi dibuka dan isinya diserahkan ke vihara. Beres. Oleh
karena itu, dalam berbuat kebaikan, hendaknya barangnya baik, bersih,
sesuai, kemudian waktunya pun hendaknya segera dilaksanakan.
Sebagai persyaratan kelima,
persembahan hendaknya sering dilakukan. Artinya bukan berdana sekali
seumur hidup dalam jumlah sebesar-besarnya kemudian tidak pernah
melaksanakannya lagi. Itu keliru. Contohnya, seseorang melaksanakan
pelepasan satwa sejumlah 1000 ekor burung tetapi kemudian seumur hidup
sudah tidak pernah dilakukannya lagi. Sikap ini juga kurang tepat, hal
ini berarti orang hanya mempunyai pikiran dan perbuatan baik sekali itu
saja. Dalam pengertian agama Buddha kita hendaknya sering memberi
kondisi pikiran dan perbuatan kita untuk melakukan kebaikan. Jadi,
kalau memang kita telah bertekad dalam satu tahun akan membebaskan
makhluk sebanyak seribu ekor, maka cobalah dibagi menjadi 20 kali
melepas, misalnya; jadi setiap kali melepas sekitar 50 ekor. Dengan
demikian, pikiran akan terkondisi untuk lebih sering berbuat baik. Jadi
sering-seringlah untuk melakukan kebaikan seperti badminton yang tidak
gampang turun bolanya karena para pemainnya trampil mengolah bola. Itu
baru permainan menarik. Tapi apabila baru sekali pukul kemudian bolanya
sudah jatuh, dipukul lagi, jatuh lagi. Sungguh permainan yang tidak
menarik. Hal itu sama dengan orang yang setahun sekali baru berbuat
baik, kurang besar manfaat bagi dirinya.
Apabila kita telah dapat melaksanakan
dana secara rutin, maka hendaknya kita berdana dengan pikiran yang
baik. Pikiran yang baik adalah persyaratan keenam. Diibaratkan pakaian
orang bermain badminton harus bercelana pendek dan memakai kaos olah
raga. Sulit dibayangkan bila seseorang hanya memakai salah satu dari
pakaian perlengkapan bermain badminton tadi. Hanya pakai celana tanpa
baju atau mengenakan baju tanpa celana…. Pikiran yang baik ini adalah
pikiran bahagia pada saat kita mempersiapkan, mempersembahkan dan
setelah mempersembahkan dana. Ada sebuah cerita tentang orang yang
berdana. Hatinya senang ketika sedang mempersiapkan dana. Pada waktu
mempersembahkan dana, ia masih merasa senang, namun setelah
mempersembahkan dana timbullah penyesalan. Kondisi pikiran ini akan
membuahkan kelahiran kembali sebagai anak orang kaya. Sejak kecil
banyak harta dimilikinya. Kondisi kebahagian ini berlangsung sampai
dengan ia dewasa. Akan tetapi, di masa tuanya ia jatuh miskin.
Penderitaan di hari tua ini adalah buah penyesalannya setelah
mempersembahkan dana tadi.
Sebaliknya, ada orang pada awalnya
merasa tidak senang melakukan perbuatan baik. Pada waktu
mempersembahkan dana juga memiliki pikiran yang kurang simpatik. Namun,
setelah mempersembahkan dana ia merasakan kebahagiaan. Apakah buah
karma pikiran semacam ini? Apabila ia terlahir kembali maka dimasa
kecilnya ia menderita; pada usia dewasa ia juga masih menderita namun
dihari tuanya ia akan berbahagia. Jadi kondiisi pikiran sebelum
mempersembahkan dana mewakili keadaan kita di masa kecil dalam
kehidupan yang akan datang. Kondisi pikiran ketika mempersembahkan dana
mewakili usia dewasa. Kondisi pikiran setelah mempersembahkan dana
mewakili usia tua. Oleh karena itu, sejak kecil, dewasa, sampai tua
bahkan seumur hidup kita akan bahagia bila pada waktu mempersiapkan,
mempersembahkan dan setelah mempersembahkan dana pikiran kita selalu
berbahagia.
Kembali tentang perumpamaan permainan
bulu tangkis. Dalam permainan ini dibutuhkan para pemain. Para pemain
hendaknya telah mengetahui aturan mainnya. Dengan mengikuti aturan main
bulu tangkis maka permainan akan tertib, tidak kacau. Begitu pula dalam
berdana, si pemberi dan si penerima hendaknya mempunyai kemoralan sila
yang sama, minimal Pancasila Buddhis. Oleh karena itu, masalah tentang
perampok budiman di atas adalah seperti permainan bulu tangkis yang
tidak seimbang pemainnya. Seperti orang yang pandai badminton melawan
orang yang baru saja belajar. Pusing. Demikian pula perampok yang
mempersembahkan hasil rampokannya untuk vihara.
Begitu pula bila seorang wanita tuna
susila mempersembahkan dana. Dana yang dipersembahkan diperoleh dari
perbuatan yang melanggar sila. Memang dana itu masih tetap dapat
diterima, sebab bila tidak diterima, kapan lagi mereka memiliki
kesempatan berbuat baik dan memperbaiki keadaan? Jadi walaupun orang
yang diberi dan yang memberi ini tidak seimbang, tetapi tetap, tetap
bisa membawa manfaat. Seperti orang main badminton yang satu mengenakan
jas sedangkan pemain yang lainnya mengenakan pakaian olah raga. Juga
tidak apa-apa, masih tetap bisa bermain, hanya saja tidak seimbang.
Oleh karena itu, sebaiknya sebelum
berdana kita memohon sila terlebih dahulu, minimal Pancasila Buddhis.
Walaupun di luar gerbang Vihara ini kita telah melanggar salah satu
sila atau bahkan kelima-limanya, tetapi kalau di dalam kompleks Vihara
hendaknya kemoralan kita diperbaiki. Caranya adalah dengan memohon
tuntunan Pancasila Buddhis yang terdiri dari tekad untuk tidak
melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, bohong dan
mabuk-mabukkan. Dengan menjalankan tuntunan itu, minimal selama dalam
kompleks Vihara kemoralan kita menjadi lebih baik. Sehingga antara
fihak yang memberi dan yang diberi sudah seimbang kemoralannya. Hal ini
akan memperbesar manfaat dan buah kebjikannya. Permainan badmintonnya
akan enak dinikmati. Para umat memberi, para bhikkhu pun memberi. Para
umat memberikan materi yang diperoleh dari bekerja keras dalam
masyarakat. Sedangkan para bhikkhu memberikan buah kebajikan yang besar
kepada para umat yaitu dengan cara pengolahan diri sesuai Ajaran Sang
Buddha, pelaksanaan kemoralan dengan sebaik-baiknya. Sehingga para umat
benar-benar seperti menanam di ladang yang subur. Dana dari umat akan
dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sepiring nasi yang
dipersembahkan bukan hanya untuk main-main tetapi akan diolah oleh
tubuh para bhikkhu menjadi tenaga untuk menjaga kesehatan, menyambung
kehidupan dan sekaligus untuk tenaga membabarkan Buddha Dhamma. Dengan
demikian, sepiring nasi yang dipersembahkan, nilainya bukan lagi harga
nominal sepiring nasi sewaktu dibeli. Bukan. Sepiring nasi ini nilainya
menjadi nilai Dhamma, karena telah diubah menjadi tenaga untuk
membabarkan dan melestarikan Buddha Dhamma. Di dalam Dhammapada XXIV,
21 dikatakan bahwa Pemberian Kebenaran (Dhamma) mengalahkan segenap
pemberian lainnya. Dengan sepiring nasi yang dipersembahkan kepada para
bhikkhu sama dengan melaksanakan Dhammadana. Jenis dana yang paling
tinggi untuk dipersembahkan. Dengan menerima persembahan kebutuhan
sandang, pangan, papan dan obat-obatan, para bhikkhu dapat
memanfaatkannya untuk pembabaran Dhamma di daerah-daerah lain. Dengan
demikian, hasil setiap tetes keringat yang diberikan kepada para
bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana. Buah Dhammadana ini juga akan
dinikmati sendiri oleh si pemberi dalam kehidupan ini.
Itulah hal yang bisa dilakukan dalam
permainan bulu tangkis perbuatan baik ini. Para umat memberikan
dukungan moral, kemudian memberikan dukungan material, menunjang
kehidupan para bhikkhu. Para bhikkhu pun memberikan dukungan mental
kepada para umat dengan memberikan contoh moral serta berjuang dalam
kebajikan. Para bhikkhu pun selalu merenungkan dan mengingatkan diri
sendiri, bahwa para umat telah menunjang kehidupan para bhikkhu selama
menjalani kehidupan kebhikkhuan. Jadi, bila seorang bhikkhu telah 23
tahun menjadi bhikkhu, berarti selama 23 tahun pula hidupnya disokong
oleh umat. Padahal, para umat bukanlah sanak maupun keluarganya. Umat
dengan rela dan ikhlas telah menyantuni kehidupan para bhikkhu sampai
sekian lama. Apakah sekarang balas jasa para bhikkhu kepada umat?
Seperti dalam permainan bulu tangkis tadi, bila seorang pemain setelah
mendapatkan bola hendaknya segera mengembalikannya kepada pemain yang
lain. Demikian pula dengan para bhikkhu, setelah menerima persembahan
hendaknya mengembalikannya lagi kepada umat dengan cara meningkatkan
semaksimal mungkin perjuangan dalam Dhamma dan pelaksanaan peraturan
kemoralan. Sehingga semakin banyak umat menanam kebajikan, semakin
lebat pula buah kebajikan yang diterimanya.
Dalam Manggala Sutta disebutkan bahwa
berdana dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama. Para umat Buddha
yang melaksanakan Dhamma dengan mempersembahkan dana kepada Sangha
dapat juga disebut sebagai Dhammadana. Sebab, apapun yang
dipersembahkan kepada para bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana,
menjadi sarana pembabaran Dhamma kepada orang lain sehingga buah
lebatnya akan dapat dimiliki si pemberi.
[ Dikutip dari Website Samaggi-Phala WWW.samaggi-phala.or.id ]
Pencarian Populer :
- kata bijak buddha tentang berdana
- budha sangha makan hanya 2 kali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar