Minggu, 12 Agustus 2012

mengatasi konflik dalam dan luar diri


Tugas Budi Pekerti 

Mengatasi Konflik Dalam Diri Dan Lingkungan Sekitar


Nama Kelompok    :       Asprilia Dewi
                                        Delvi Handayani
                                        Marlina Herlen
                                        Shelim
                                        Suryani A.R
                                        Susana Wijaya
                                        Velen Viliany
Kelas                       :       IX A
Guru Pembimbing:        Harto Ari Saputro

Tahun Ajaran 2011/2012
Smp. Sariputra Kota Jambi












Kata Pengantar

Puji dan syukur kita panjatkan kepada tuhan yang maha esa atas karunia dan berkahnya tugas budi pekerti tentang mengatasi konflik dalam diri dan lingkungan sekitar.
Karya ini yang bertujuan untuk pengetahuan kita tentang cara-cara mengatasi konflik yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Baik lingkungan Keluarga, lingkungan Sekolah, maupun lingkungan bermasyarakat.
Diharapkan kita semua bisa mengerti dalam  cara mengatasi konflik-konflik yang ada dan terjadi.
Jika ada kesalahan dalam bentuk apapun mohon dimaafkan dan dimaklumi karna sesungguhnya kita tidak ada yang sempurna. Akhirnya saya tutup dengan terima kasih Semoga dapat bermanfaat  bagi kita semua.


17 Februari 2012

Penulis




Daftar Isi
Mengatasi Konflik …………………… 4
Mengenali Diri Sendiri……………………..…. 6
Kesimpulan………………………………………...10














A.           Mengatasi Konflik
Konflik merupakan suatu kondisi dimana terjadi pertarungan fisikologis dalam diri manusia, yang lazimnya terjadi secara tidak sadar dan berasal dari munculnya sikap Oposisi dari pihak lawan.
Konflik dapat dilihat sebagai sebuah kondisi ketidak harmonisan antar individu, yang muncul dari adanya perbedaan ide, kepentingan, pendapat, pandangan, dan tujuan.
Di dalam menangani konflik, pola yang paling efektif dan efisien untuk dilakukan adalah dengan terlebih dahulu memunculkan niat baik dari para individu di dalam masyarakat. Semaksimal apapun langkah-langkah yang dilakukan untuk meredamkan konflik, tentu tidak terlaksana secara optimal apa bila masing-masing individu tidak memiliki kesadaran. Individu akan dapat menghindari terjadinya konflik apabila ia telah memiliki niat yang baik (good will) di dalam hati nurani untuk tidak mengulangi konflik di masa yang akan datang.
Cara yang paling efektif dalam menghadapi suatu konflik atau permasalahan adalah bukan pada menangani Permasalahan itu sendiri, akan tetapi lebih tertuju kepada bagaimana pola pencegahan yang efektif untuk mencegah agar konflik atau permasalahan tersebut tidak sampai muncul ke permukaan.
Konflik terjadi apabila kita dan orang lain bertemu dan tidak dapat mengendalikan emosi. Namun kondisi ini bukan merupakan satu-satunya faktor yang dapat memunculkan konflik. Kondisi sehari-hari yang kita lalui maupun yang kita jalankan serta yang kita kerjakan secara rutin juga dapat menjadi pemicu akan hadirnya konflik atau permasalahan.
Pada masa ini, masa dimana kita sebagai seorang remaja dihadapkan pada berbagai persoalan, baik itu yang terjadi diantara teman, sahabat, relasi, maupun keluarga dan orang-orang disekitar kita. Yang terpenting adalah bagaimana kita sebagai remaja menghadapi permasalahan tersebut, karena setiap persoalan yang dihadapi tentu tidak melebihi dari kemampuan kita untuk menyelesaikannya. Oleh karena itulah kita harus memiliki hati yang sabar dan bersih dalam menghadapi segala macam persoalan yang ada.








B.            Mengenali Diri Sendiri
1.  Berawal dari Bangun Tidur
Pagi hari merupakan awal dari aktifitas kita sehari-hari. Kegiatan di pagi hari seperti ibadah dan olahraga sangatlah menyehatkan. Apabila dilakukan secara rutin, tidak saja tubuh kita akan menjadi sehat, namun kemampuan belajar kita juga akan meningkat karena sel-sel otak mendapat suplai oksigen yang cukup.
Berikut ini merupakan contoh dari beberapa hal yang terkadang menjadi pemicu Konflik :
a.   Mandi
Mungkin kedengaranny sepele, akan tetapi saat-saat mandi juga dapat menimbulkan Konflik. Hal ini seringkali terjadi apabila kita tinggal bersama keluarga besar dengan satu kamar mandi. Konflik akan muncul apabila tidak terdapat pengertian yang baik antara sesama anggota keluarga mengenai urutan pemakaian kamar mandi.
b.   Persiapan Sekolah
Setelah selesai mandi,kita tentu menyiapkan segala sesuatunya untuk berangkat ke sekolah, seperti buku-buku dan alat tulis.
Konflik dalam diri akan terjadi ketika kita tidak dapat menemukan barang yang kita cari, terlebih lagi jika buku pekerjaan rumah kita tidak kita temukan.
c.    Berangkat Sekolah
Berangkat sekolah juga bisa mejadi penyebab konflik dalam diri kita. Misalnya : Jemputan datang terlambat, lalu-lintas yang macet, bis kota yang sangat penuh dan harus berdesak-desakan, motor atau mobil yang tiba-tiba mogok.

2.  Tiba di Sekolah
Di sekolah, potensi munculnya konflik terus bermunculan, baik yang berhubungan dengan teman, guru, maupun diri sendiri. Konflik yang timbul di sekolah lebih mungkin terjadi apabila sebelum tiba di sekolah, kita telah mengalami masalah-masalah terlebih dahulu, seperti yang telah di jabarkan pada bagian Berawal dari Bangun Tidur.


Wining menyatakan bahwa persoalan-persoalan yang berpotensi menimbulkan konflik di sekolah antara lain sebagai berikut.
a.   Terlambat masuk sekolah
b.   Tidak membawa PR
c.    Teman
Pamela Espeland menyatakan bahwa terdapat 8 langkah penyelesaian konflik yang dapat kita lakukan apabila terjadi Konflik dengan teman, yaitu :
·       Tenangkan diri
·       Paparkan konflik
·       Paparkan dengan Jelas apa yang menyebabkan Konflik
·       Ungkapkan perasaan-perasaan yang muncul akibat konflik
·       Dengarkan dengan Cermat dan penuh rasa Hormat pada saat teman sedang berbicara
·       Diskusikan penyelesaian konflik
·       Cobalah penyelesaian itu
·       Kalau sebuah penyelesaian tidak berhasil dengan baik, cobalah penyelesaian yang lainnya



3.   Kembali ke Rumah
John W.Santrock melihat bahwa terjadinya konflik dengan orang tua memang meningkat pada saat seorang individu memasuki masa awal remaja. Ia melihat bahwa konflik yang terjadi antara orang tua dan remaja antara lain disebabkan oleh bagaimana remaja melihat permasalahan sebagai masalah pribadi,sementara orang tua melihatnya dari sisi yg lebih luas.
Jalan keluar dari seluruh persoalan yang sering dihadapi adalah persiapan yang matang ,pembiasaan diri untuk tidak menunda-nunda pekerjaan dan berpikir positif. Apabila kita kita mengambil jalan keluar tersebut ,maka potensi timbulnya konflik dalam diri dan lingkungan sosial akan kita hindari dengan maksimal.











Kesimpulan

·       Konflik merupakan suatu kondisi dimana terjadi pertarungan fisikologis dalam diri manusia yang terjadi secara tidak sadar dan berasal dari munculnya sikap oposisi dari pihak lawan.
·       Di satu sisi, konflik merupakan warna yang hadir sebagai akibat dari proses interaksi yang kita lakukan setiap hari, baik itu didalam lingkungan keluarga, sekolah, atau pun lingkungan sepermainan.
·       Konflik juga merupakan suatu hal yang sedapat mungkin harus dihindarin, karena akan merusak hubungan sosial yang tercipta antara yang satu dengan yang lainnya

Senin, 06 Agustus 2012

Buddha Dharma Dan Kecantikan

 
uddha Dharma Dan Kecantikan
Oleh: Jo Priastana S.S, M. Hum.

Sudah menjadi kodrat bahwa setiap orang suka akan kecantikan. Karena realitas dalam diri manusia dan juga masyarakat adalah senang akan kecantikan. Wanita yang cantik disukai pria, diburu periklanan, dijadikan bintang sinteron, dan wanita akan selalu merasa dan mengusahakan agar dirinya senantiasa menjadi cantik. Tetapi apakah sesungguhnya kecantikan itu? Mengapa pria memburu wanita yang cantik dan kerap bertekuk lutut di kerling matanya? Mengapakah wanita mengusahakan kecantikan dirinya, tidakkah mereka itu korban dari stereotipe, citra, mitos, ideal, atau definisi kecantikan yang dikonsepsikan justru bukan oleh kaumnya sendiri, melainkan entah itu oleh masyarakat, budaya, ideologi kaum patriarkhi (lelaki), pedagang, atau industri kapitalis.
Benarkah kecantikan itu ada secara kodrati, obyektif, dan universal; atau kecantikan itu relatif, subyektif, dan hasil konstruksi sosial semata? Apakah kecantikan hanya sebatas kulit, atau lebih dari sebatas permukaan kulit, namun jauh menjangkau lebih dalam lagi (inner beauty) yang menyelusup sampai kepada kepribadian dan intelegensia?
Konstruksi Kecantikan
Apakah cantik? Pertanyaan sederhana ini sulit jawabnya. Setiap orang -atau juga sekelompok orang- punya definisi sendiri tentang cantik. Yang pasti, industri kecantikan tumbuh subur dengan memanfaatkan kebutuhan orang untuk tampil cantik. Dalam situasi krisis ekonomi seperti sekarangpun, urusan untuk tampil cantik, cantik fisik yang ikut mendongkrak rasa percaya diri tetap saja tidak kunjung surut.
Memang kecantikan selalu dikejar wanita dan menjadi problem psikologis banyak wanita yang kurang percaya diri. Hal ini terjadi karena kecantikan tidak lepas dari konstruksi sosial. Majalah, film, televisi, dan periklanan, sering menyajikan perempuan dengan bentuk tubuh yang dikonstruksikan ideal, karenanya Industri kecantikan seperti pelangsingan tubuh dan perawatan awet muda tumbuh menjadi industri milyaran dollar.
Kecantikan tampaknya relatif, karena tiap masyarakat punya definisinya tentang cantik. Tubuh yang subur pernah menjadi citra kecantikan wanita Jawa seperti tampak pada relief candi Borobudur, begitu pula masyarakat Fiji di Pasifik. Para perempuan suku Dayak di Kalimantan mengenakan anting-anting yang makin banyak jumlahnya. Sampai paruh pertama abad 20, perempuan di Cina yang kakinya kecil dianggap cantik.
Sepanjang peradaban manusia, apa yang disebut cantik selalu berubah menurut apa yang dikonstruksikan oleh masyarakat itu. Pandangan tentang cantik berubah bersama perkembangan teknologi. Di Barat, semenjak Revolusi Industri terjadi perubahan konsep kecantikan. Dimulainya era industrialisasi membuat banyak perempuan bekerja di luar rumah dan independen secara material.
Keadaan ini, seperti yang diungkapkan Naomi Wolf, aktivis gerakan perempuan dalam bukunya The Beauty Myth, mendorong perempuan membelanjakan uangnya, menjadi konsumen demi kecantikan yang sejalan dengan penciptaan mitos cantik secara massal oleh kaum industri kapitalis; seperti misalnya: tubuh yang ramping cenderung kurus, muka cantik, bersih, dan kulit kencang.
Karena mitos dan kriteria cantik itu, banyak wanita tergoda terhadap tawaran paket mempercantik diri yang kini banyak bertebaran. Mulai dari melangsingkan tubuh, memutihkan kulit, mentato alis mata, membentuk bokong atau payudara, membuat lesung pipit, sampai mendandani “organ paling intim”. Paha, pinggul, lengan, dan perut adalah tidak bagus kalau terlihat gemuk sehingga ada paket sedot lemak untuk merampingkannya. Tampaknya di mata bengkel kecantikan, selalu ada saja bagian tubuh yang dianggap tidak indah, dari ujung rambut hingga ujung kaki sampai bagian terdalam.
Citra kecantikan dikonstruksikan oleh kaum industri kapitalis kecantikan seperti yang ditawarkan iklan dalam media massa. Padahal menurut Wendy Chapkins dalam Beauty Secrets, Women and the Politics of Appearance (1986), kecantikan seperti yang ditawarkan itu akan mengubah bentuk wajah dan tubuh seseorang menjadi apa yang ingin dicitrakan suatu merk kosmetika atau suatu program kecantikan.
Banyak orang mengejar citra cantik seperti yang telah dikonstruksikan secara sosial, agar tetap terlihat muda, kulit yang kenyal dan halus seperti bayi, khususnya para wanita separuh baya. Padahal usia tetap merambat dan sebenarnya tidak ada yang dapat melawan hukum alam anicca bahwa tidak ada yang kekal di dunia, semua akan menjadi tua dan mati.
“Jika bumi, gunung semeru, dan samudra hancur oleh kobaran api dari tujuh matahari, dan tak ada sebutir debupun yang tersisa, lalu kenapa berpikir bahwa manusia yang begitu lemah adalah abadi?” (Nagarjuna dalam Suhrleka).
“Akhir yang pasti dari tubuh adalah berubah menjadi debu, mengering, dan membusuk; dan adalah tumpukan tulang kotor yang tidak memiliki apa-apa, organ-organ tubuh akan rusak dan membusuk. Ketahuilah bahwa tubuh memiliki sifat akan terurai.” (Nagarjuna dalam Suhrleka).
Dewasa ini, kecantikan yang dicitrakan dan dikonstruksikan secara sosial itu berkaitan dengan modus ekonomi. Padahal mungkin saja kecantikan memang terletak pada mata orang yang melihat dan subyektif sifatnya. Kita menyebut sesuatu cantik, indah, atau bagus, bila hal itu menyukakan atau menyenangkan kita dengan cara tertentu. Apa yang menyenangkan seseorang tidak berarti juga menyenangkan orang lain. Itulah sebabnya kadang-kadang dikatakan bahwa kecantikan itu hanya ada pada orang yang melihat.
Tetapi mengapakah kecantikan bisa juga dikatakan untuk orang yang sama, dan banyak orang memburu wanita-wanita yang dikatakan cantik. Selain subyektif, tidakkah ada nilai yang obyektif sehingga banyak orang dapat mengatakan bahwa dia itu, entah Lady Di almh., Paramita Rusady, Dessy Ratnasari, Megawati, Hartati Murdaya, Julia Roberts, atau Kwan Ce Lin memang cantik.
Thomas Aquinas (1225-1274) dan Immanuel Kant (1724-1804) mengajarkan kita bahwa keindahan seperti kecantikan misalnya mengandung aspek subyektif dan obyektif. Kenikmatan estetis yang diberikan obyek-obyek tertentu kepada pengamat (subyek) bersangkutan dengan nilai-nilai intrinsik yang ada dalam obyek itu sendiri. Jadi selain memang orang itu cantik, subyektifitas seseorang juga menentukan. Bagi suami, istrinya tentulah dianggap cantik.
Kecantikan Luar
Memang ada yang bilang kecantikan itu relatif, namun ada juga yang memberikan ukuran bahwa kecantikan merupakan perpaduan harmoni, keseimbangan, dan keselarasan. Ada kecantikan luar (outer beauty) yang menyangkut fisik, seperti kulit, wajah, dan bentuk; tetapi yang lebih penting lagi adalah kecantikan dalam (inner beauty) yang berhubungan dengan seluruh kepribadian dan dimensi psikis-rohani dan lebih abadi sifatnya.
Kendati begitu, baik kecantikan luar (outer beauty) maupun kecantikan dalam (inner beauty) memiliki nilainya sendiri dan tidak perlu diabaikan, karena keseluruhan kecantikan wanita terletak pada sifatnya yang tidak terduga. Wanita adalah makhluk yang kaya akan dimensi. Karena itu wanita sudah sewajarnya merawat dan memperhatikan tubuhnya, memiliki kosmetik atau melakukan perawatan kecantikan sekedarnya agar dapat muncul semua kepribadian dan kecantikan dalamnya.
Kecantikan luar memang lebih langsung menonjol dan tampak, misalnya pada wajah, paras, bentuk, dan kulit. Karenanya, kulit, terutama kulit wajah banyak yang memperlakukannya bagaikan sebuah tanaman: perlu dipelihara, disiram, diberi pupuk supaya subur, dengan cara memakai kosmetik atau pergi ke klinik bedah kosmetik. Banyak wanita mengusahakan kecantikan dirinya dengan tidak sewajarnya melalui berbagai cara, bahkan pergi ke paranormal, orang pintar, dukun, dan sebagainya untuk pemasangan susuk agar dirinya terlihat cantik dan suaminya tidak pernah meninggalkannya.
Tetapi darimanakah asal usul sebab musababnya seseorang itu cantik, cantik sejak lahirnya, cantik meski dibungkus oleh pakaian yang butut atau tidak terhias aksesoris perhiasan. Tidak hanya cantik, mungkin juga disertai kepintaran dan berada dalam keluarga yang kaya. Sedangkan sebaliknya, ada mereka yang miskin, tidak cantik, atau tidak cerdas. Atau ada yang cantik, cerdas, tetapi miskin; dan kaya, bodoh, tetapi cantik.
Mallika seorang perempuan miskin bersahaja dan tidak menarik pernah bertanya kepada Sang Buddha, apa sebabnya ada wanita yang buruk rupa, miskin, tanpa wibawa dan pengaruh? Ada pula wanita yang buruk rupa, tetapi kaya raya, sangat berwibawa dan berpengaruh. Ada wanita yang cantik, tetapi miskin, tanpa wibawa dan pengaruh. Lainnya wanita yang cantik, sekaligus kaya, berwibawa dan berpengaruh.
Menurut Sang Buddha, perbuatan wanita dalam kehidupan di masa lalu itulah yang menentukan, misalnya cepat marah menghasilkan wajah yang buruk, dan sifatnya yang kikir mengakibatkan kemiskinan dalam kehidupan berikutnya. (Anguttara Nikaya IV, 20 :197)
Kecantikan merupakan pahala dari perbuatan baik dan kemurahan hati dalam kehidupan sebelumnya. “Wajah yang cantik, suara yang merdu, kegantengan, dan kebijaksanaan, kekuasaan, serta mempunyai banyak pengikut, semua ini dapat diperoleh sebagai pahala perbuatan baik.” (Nidhikhanda Sutta)
Memang, kulit yang halus dan sehat adalah dambaan setiap wanita. Bukan apa-apa, kulit adalah bagian tubuh yang langsung terlihat, sehingga setiap kejanggalan pada kulit akan menarik perhatian. Dalam pergaulan, hal itu akan membuat seseorang merasa kurang percaya diri. Di samping kulit yang halus, sebagian wanita juga mendambakan kulit yang cerah.
Tetapi, kulit setiap orang itu memang tidak sama. Dan itu dapat disebabkan karena faktor internal seperti ras, keturunan, dan genetik, maupun faktor eksternal yang meliputi kebiasaan seseorang, misalnya merokok, terbakar sinar matahari (ultraviolet), minum obat antibiotik, maupun akibat pemakaian kosmetik secara berlebihan.
Memang kulit merupakan etalase kecantikan fisik. Bahkan Sang Buddha sendiri dalam rangka untuk menyadari kerelatifan kecantikan, ketidakkekalan tubuh yang bagaimanapun moleknya dan agar tidak melekat terhadap kecantikan yang hanya bentuk luar itu, melukiskan kecantikan fisik itu tidak lebih hanya sebatas kulit.
“Dilihat dari sudut pandang yang berbeda, kemolekan tubuh seorang wanita adalah tidak murni, punya sembilan lubang, seperti bejana bau busuk dan sulit diisi; dan dari sudut pandang lainnya sebuah selubung kulit yang dihiasi.” (Nagarjuna dalam Suhrleka).
Ratthapala, seorang murid Sang Buddha melukiskan wanita (penggoda) sebagai berikut: “Lihatlah tubuh itu khayali, membalut seperangkat rangka, penuh luka, berpenyakit, dan menuntut banyak pikiran. Baginya tiada yang pernah tetap, tiada abadi. Lihatlah wujud khayali, walaupun dalam pakaian gemerlap, dengan cincin dan perhiasan, tulang belulang bersarungkan kulit. Kuku diwarnai cat, wajah dipulas bedak, cukup memperdaya si dungu, namun tidak bagi pencari kekekalan.(Majjhima Nikaya 82)
Bila Buddha mengingatkan bahwa kecantikan fisik itu hanyalah sebatas kulit, dan tidaklah perlu tergantung atau melekat kepadanya, maka filsuf Yunani Plato mengungkapkan bahwa kecantikan tidak pernah menempel pada sesuatu yang berdaging; karena itu sia-sialah semua upaya manusia untuk mempertahankan kecantikannya. Kecantikan Platonik yang memuja keabadian ini mengingatkan bahwa kecantikan adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat bentuknya dari wajah, kaki, tangan, tubuh, dan dari segala sesuatu yang berdaging.
Kecantikan Dalam
Sesungguhnya mereka yang memang cantik tak perlu kuatir terhadap aksesoris luar tubuhnya. Pakaian yang indah belum tentu bisa mengangkat rupa seseorang yang memang tidak cantik. Mengapa mesti menyembunyikan bentuk tubuh yang tidak indah di balik pakaian yang mewah. Cinderella, biarpun pakaiannya butut tetap saja tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Akhirnya diketahui dan dipersunting pangeran. Akan tetapi, orang cantik yang suka berteriak-teriak, memaki-maki, berperilaku buruk; maka ia sama sekali tidak cantik di dalamnya.
Kecantikan itu yang penting dari dalam. Tidak usah grogi ketika usia bertambah dan kulit wajah mulai berkerut. Kecantikan abadi itu muncul dari dalam diri, dari hati dan pikiran yang tenang. Bukankah usia tak dapat mencegah pudarnya kecantikan. Tetapi, apa yang dihimpun, dipupuk dalam rohani akan menambah kekuatan, kekayaan, dan bahkan juga bisa menambah kemudaan dan kecantikan. Kecantikan dalam ini (inner beauty), sebagaimana ungkap Plato, tidak pernah menempel pada sesuatu yang berdaging. Karena itu, sia-sialah semua upaya manusia untuk mempertahankan kecantikannya. Menurut Plato, kecantikan dalam itu tidak pernah datang dan tidak pernah pergi, tidak pernah berkembang dan tidak pernah layu, sesuatu yang dalam pandangan siapiapun sama (tetap cantik), di manapun, sekarang dan sampai kapanpun.
Karena itu, bila kemudaan kulit telah memudar seiring dengan bertambahnya usia, mereka yang bijaksana tentu tidak harus cemas dan takut. Justru dengan menjadi tua dan rohani terisi, seseorang akan bertambah matang dan bijaksana.
Keriput yang muncul merupakan warna-warni pelangi hukum anicca yang tidak bisa dihindari, ibarat garis-garis senyuman (smile lines) cermin dari kematangan dan kebijaksanaan. Anggukan kepala, senyuman, dan tatapan matanya bagaikan sinar matahari yang mencerahkan dan menentramkan bagi anak cucu yang datang bersimpuh menanti belaiannya. Karena itu, mengapa harus takut menjadi tua?
Sang Buddha mengatakan bahwa kecantikan adalah hasil dari perbuatan baik dan kemurahan hati. Sejalan dengan itu, maka resep untuk menjadi cantik di bawah ini (dimuat dalam Kompas, 7 Mei 2000) kiranya sangat bermanfaat dan patut dilakukan.
“Untuk mendapatkan bibir yang menawan, ucapkanlah kata-kata kebaikan; untuk mendapatkan mata yang indah, carilah kebaikan pada diri setiap orang; untuk mendapatkan bentuk badan yang langsing, berbagilah makanan dengan mereka yang kelaparan…
Untuk mendapatkan tubuh yang indah, berjalanlah dengan ilmu pengetahuan… Kecantikan perempuan tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, bukan pada kehalusan wajah dan bentuk tubuhnya… tetapi pada matanya: cara ia memandang dunia, karena di matanyalah terletak gerbang menuju ke setiap hati manusia, di mana cinta dapat berkembang.”

Benarkah Aku Beragama Buddha

Benarkah Aku Beragama Buddha
Oleh: Sakyananda

Benarkah anda beragama Buddha ? Sebuah pertanyaan ringan, tapi sulit untuk dijawab dengan cepat, seperti kita menjawab pertanyaan berapa 2 x 2 ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita memerlukan waktu untuk mengadakan perenungan dan intropeksi pada diri kita sendiri. Banyak orang mengaku sebagai umat Buddha, tapi banyak pula yang belum mengetahui Dhamma yang diajarkan Sang Buddha guru junjungan kita. Banyak di antara mereka yang sering datang ke vihara hanya untuk bermain-main atau hanya sekedar ingin bertemu dengan kawan-kawannya yang berasal dari sekolah lain. Apakah ini yang dinamakan bhakti dan sembah sujud kita kepada Sang Buddha selaku umat Buddha ?
Dari ucapan seseorang kita dapat mengetahui kepribadian dan paham yang mereka anut. Alangkah sayangnya, jika seseorang diajak menyelesaikan suatu masalah mereka menjawab dengan jawaban yang tidak pernah ada didalam ajaran oleh Sang Buddha. Tak jarang pula diantara mereka yang mengaku sebagai umat Buddha , tapi sewaktu ditanya masalah Dhamma mereka memberikan suatu jawaban yang jawabannya tidak pernah diajarkan oleh Sang Buddha. Mereka sering mencampuradukkan istilah istilah yang ada di dalam agama lain kedalam agama Buddha.
Sebagai contoh, manusia setelah mati, sebelum dia masuk atau ditentuan masuk ke nereka atau ke surga, ia akan mengalami pengadilan untuk menimbang beratnya perbuatan baik-jeleknya selama hidup sebagai manusia. Pengertian ini tidak pernah ada didalam ajaran Sang Buddha. Kammanyalah yang menentukan seseorang itu dapat masuk ke surga, jika sering berbuat jahat (Akusala kamma) maka ia akan dilahirkan di alam neraka atau alam yang menyedihkan lainnya.
Hukum kamma tau yang lajim disebut hukum sebab-akibat, yaitu hukum alam yang mengatur segala sesuatu tindakan baik yang dilakukan oleh badan jasmani, ucapan dan pikiran yang akan membawa hasil. Dan hasil yang berupa akibat atau buah dari perbuatan kita itu akan buruk, jika kita melakukan perbuatan jahat. Dan akan berbuah dengan baik, jika kita melakukan perbuatan baik. Semua hasil perbuatan ini, baik yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan, kita sendiri yang harus menerimanya.
Mereka yang belum mengerti tentang Dhamma, tidak mau mengakui adannya hukum kamma ini, dan bahkan ada yang mempunyai anggapan bahwa perbuatan jelek atau kesalahannya itu dapat ditembus dengan mengadakan upacara sembahyang atau yang sering disebut dengan istilah pengampunan dosa. Kesalahan- kesalahan seperti diatas amat merugikan kita. Apalagi yang mengajukan pertanyaan itu adalah umat dari agama lain yang ingin mengetahui atau ingin mempelajari Dhamma Sang Buddha.
Sebab jika kita memberikan penjelasan yang salah, mereka juga akan memberikan jawaban yang salah jika ditanya oleh orang lain. Jika mereka sampai tahu bahwa apa yang kita katakan itu salah, maka mungkin saja mereka akan mencemoohkan kita dan akan mengejek atau menyebut kita dengan “Umat Buddha KTP” atau “Umat Buddha Statistik”
Atau bahkan mereka mengatakan “Pura-pura beragama supaya tidak dianggap komunis:, sebab di negara Indonesia kita ini semua orang wajib beragama. Ucapan tanpa tindakan tiadalah berarti. Ibarat intan permata yang indak namun tidak memancarkan sinar karena tidak pernah diasah.
Begitulah dengan kita, jika kita mengetahui dengan mengaku sebagai umat Buddha, maka kita yach.. mau tidak mau harus belajar Dhamma dengan baik. Tak cukup hanya belajar tanpa mau mempraktekkannya didalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sebagai seorang umat Buddha yang baik. Dari tingkah laku dan tindakan kita yang mencerminkan sebagai umat Buddha yang baik, maka masyarakat disekitar kita akan mengetahui dan mengakui bahwa agama Buddha adalah agama yang besar.
Alangkah baiknya, jika kita hidup ditengah tengah masyarakat yang bebas dari cemohan ataupun menjelek-jelekan agama kita karena tingkah laku kita sendiri. Dengan demikian kita ikut menciptakan suasana rukun, tentram, dan damai diantara kita, sehingga akan terbina suatu masyarakat yang penuh toleransi dan rasa saling menghormati.
Pelajarilah Dhamma! Jika suara hatimu mengatakan “Aku umat Buddha atau aku siswa Sang Buddha”, tunjukkan dengan ucapan dan perbuatan yang benar (yang sesuai dengan Dhamma Sang Buddha). Kita perlu membuktikan melalui ucapan dan perbuatan kita agar kita diakui dimasyarakat sebagai umat Buddha yang baik, bukan sebagai umat Buddha KTP.
Sekali lagi pelajarilah Dhamma, jika engkau memang siswa Sang Buddha dan praktekkanlah dalam kehidupan sehari-hari. Niscaya Anda akan hidup bahagia lahir dan bathin.
[ Dikutip dari Majalah Buddhis Sinar Buddha Edisi II ]

Berikan yang Terbaik

Berikan yang Terbaik

Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Sucitto

Di dunia ini, sulit mencari orang yang menginginkan sesuatu yang buruk. Semua orang pasti menginginkan yang terbaik. Sesuatu itu, baik berupa barang, pelayanan, penghormatan, dan nasihat serta segala macam keperluan lainnya. Sayangnya, tidak jarang segala sesuatu yang terbaik —yang diinginkan oleh setiap orang tersebut— tidak kunjung tiba. Sebaliknya hal-hal yang buruk, bahkan yang paling buruk menurut anggapan kita, yang kita terima. Di samping kesulitan mencari yang terbaik —menurut anggapan kita sendiri yang batasannya tidak sama— juga ada jenis kesulitan lainnya. Sangat sulit mencari orang yang mampu memberikan sesuatu yang terbaik. Demikianlah, mendapatkan yang terbaik dan memberikan yang terbaik kepada orang lain merupakan dua hal yang sulit dicari.
Manusia yang memiliki sifat serakah (lobha) menyebabkan mereka tidak akan pernah merasa cukup dan merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki. Semua orang hanya menginginkan yang terbaik dari orang lain, tetapi tidak pernah mau memberikan yang terbaik kepada orang lain sesuai dengan kebutuhan orang itu.
Apabila tindakan di atas kita lalaikan, maka sulit untuk mendapatkan hal yang terbaik, yang kita inginkan. Kita selalu merasa kurang dan tidak mengerti apa yang sesungguhnya yang terbaik, yang kita miliki.
Bagaimana mungkin kita dapat memberikan sesuatu yang terbaik kepada orang lain jika kita tidak tahu sesuatu yang baik,yang kita miliki. Kita tidak bisa memberi kepada orang lain jika kita tetap merasa selalu kekurangan.
Sebaliknya, jika kita memberikan yang terbaik untuk orang lain, apakah sesuatu yang terbaik yang dapat kita berikan? Apakah kita memiliki hal yang terbaik tersebut? Apakah kita tahu sesuatu yang baik itu?
Jawabannya tergantung pada kita masing-masing. Karena ada orang yang memiliki sesuatu yang terbaik tetapi dia sendiri tidak mengetahuinya dan tidak mampu memberikannya. Hal ini disebabkan karena kemelekatan orang itu sendiri.
Semua orang boleh saja berkata;
“Apa yang bisa saya berikan? Saya orang miskin, tidak punya apa-apa, kaum papa, orang bodoh, dan selalu kalah. Tidak ada yang bisa saya berikan”.
Ucapan yang demikian seharusnya tidak perlu muncul karena akan mengembangkan rasa rendah diri, merasa pesimis. Ucapan seperti ini sama sekali tidak pantas, tidak sesuai.
Kita boleh mengaku sebagai orang yang miskin, tidak punya, kaum papa, orang bodoh, orang yang selalu kalah atau yang lainnya. Tetapi di balik semuanya itu, sesungguhnya masih banyak yang bisa kita berikan sebagai pemberian yang terbaik, asal kita melihat dan mengerti cara memberikannya.
Kita tidak punya materi, tetapi kita masih memiliki yang lainnya. Kita dapat memberikan pikiran yang baik, yang tidak diliputi keserakahan dan kebencian. Kita bisa memberikan nasihat, petunjuk, saran-saran, anjuran, dan yang sejenis. Inilah pemberian yang terbaik yang mampu kita berikan.
Apakah perbuatan yang telah kita lakukan kepada orang lain tersebut akan dibalas dengan kebaikan atau tidak? Ini merupakan masalah yang sering menjadi dilema.
Janganlah mengharapkan balasan, pamrih atau akibat yang akan diterima terlebih dahulu. Jika dibalas dengan kebaikan, terimalah sebagaimana adanya. Jika dibalas dengan perhuatan buruk, itupun kita terima dengan tangan terbuka, juga tidak menjadi masalah. Semuanya tidak kita harapkan sebelumnya.
Bila kita memiliki sesuatu yang terbaik dan memberikan yang terbaik kepada orang lain, mengapa harus menuntut balasan yang terbaik? Perbuatan ini telah menunjukkan sifat manusia yang serakah, tidak ikhlas dalam membantu orang lain karena mengharapkan balasan. Apakah kita tidak mau disebut sebagai manusia serakah? Tentu saja, tidak!
Tanpa dimintapun, bila perbuatan baik pasti akan mendatangkan kebahagiaan dan perbuatan buruk akan menghadirkan penderitaan. Ini sudah merupakan hukum alam yang abadi, berlaku kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja; tanpa memandang segala macam perbedaan yang ada.
Dengan kenyataan tersebut, sudah seharusnya kita memberikan sesuatu yang terbaik kepada setiap orang yang sesungguhnya juga dibutuhkan oleh semua orang. Kalau orang bisa melakukan, maka dia akan mengerti bahwa ada sesuatu yang terbaik di dalam dirinya.
Sesuatu hal yang mustahil jika seseorang dapat memberikan sesuatu yang terbaik kepada orang lain tanpa memiliki yang terbaik di dalam dirinya. Dengan memberikan yang terbaik kepada orang lain, orang dapat mengikis keserakahan yang ada di dalam dirinya sendiri.
Dengan memberikan yang terbaik, kita akan merasa bahagia walaupun pemberian tersebut bukan berupa materi. Kita akan memiliki sahabat yang banyak, tidak ada perasaan cemas, takut, khawatir, dan prasangka buruk yang lainnya. Kehidupan kita akan penuh dengan kedamaian, ketentraman, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Ini semua adalah akibat dari perbuatan baik yang kita praktikkan dalam kehidupan ini. Apalagi jika telah menyadari kebenaran Hukum Kamma yang telah ditunjukkan oleh Sang Buddha —Guru Agung junjungan kita— sejak 2500 tahun yang silam, tentunya kita semua tidak ingin mendapatkan hal-hal yang buruk di masa yang akan datang.
Kita semua mengharapkan segala sesuatunya lebih baik dari hari ini. Jika kita ingin yang baik di masa yang akan datang, marilah kita menanam perbuatan baik terlebih dahulu di masa sekarang. Jangan hanya berharap tapi tanpa pernah menanam. Tidak ada buah yang akan dipetik tanpa bibit yang ditanam.
Siapkan diri anda untuk menanam (memberikan) yang terbaik kepada orang lain dan anda pasti akan menerima yang terbaik di masa yang akan datang? Apakah anda sudah siap sekarang.
[ Dikutip dari Jalan Tengah No. 31/Tahun Ke 3/9 April 1991, editor: Dhana Putra ]

berdana dengan pengertian

Berdana Dengan Pengertian

Berdana Dengan Pengertian
Oleh: Yang Arya Bhikkhu Uttamo Thera

Berdana dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama Saat ini akan dijelaskan tentang Sangha Dana, atau mempersembahkan dana kepada anggota Sangha diluar masa Kathina. Walaupun saat tersebut sudah tidak lagi di bulan Kathina tetapi bukan berarti perbuatan baik yang akan dilakukan kemudian menjadi kecil manfaatnya. Sebagai gambaran, kita akan melihat permainan bulu tangkis. Dalam permainan ini ada beberapa peraturan dasar yang harus kita patuhi. Ada garisnya, ada cocknya, ada pemainnya, ada raket, kemudian pakaiannya pun khusus. Kita tidak dapat membayangkan andaikata permainan bulu tangkis ini tidak mempergunakan cock melainkan mempergunakan bola bekel, misalnya. Bagaimana bila bolanya di-smash dan kena kepala lawan main, pasti benjol! Bola bekel untuk bulu tangkis tidak akan cocok. Atau mungkin kita bisa membayangkan bulu tangkis dengan mempergunakan cock tetapi bulunya tinggal satu helai. Jadi kalau dipukul muntir-muntir. Tidak mungkin dipakai. Kita juga bisa tahu bahwa para pemain bulu tangkis membutuhkan pakaian tertentu, celana pendek dan kaos. Bayangkan saja bila kita sekarang bermain bulu tangkis dengan mengenakan jas. Juga tidak mungkin, memang bukan pada tempatnya. Demikianlah ibarat bermain bulu tangkis demikian pula berdana. Kalau kita melihat permainan bulu tangkis ada yang memukul dan ada pula yang menerima, pukul lagi, terima lagi, konsep berdana juga sama, ada yang memberi dan ada yang menerima. Tapi si penerima tidak hanya menerima saja melainkan juga diumpan kembali, terima lagi-umpan lagi, demikian seterusnya. Karena seperti bulu tangkis yang membutuhkan beberapa aturan, maka berdanapun untuk mencapai nilai puncak, mencapai point tinggi, juga membutuhkan peraturan ataupun persyaratan. Persyaratan pertama, dalam mempersembahkan dana kita hendaknya juga memperhatikan barang yang hendak didanakan. Barang yang kita persembahkan hendaknya barang yang bersih. Pengertian ‘bersih’ disini bukan berarti barang yang steril, misalnya piring yang disterilkan. ‘Barang bersih’ artinya kita mempersembahkan barang yang didapatkan dari perbuatan atau usaha yang baik, bukan dari mencuri maupun merampok. Namun sering muncul pertanyaan bagaimana kalau ada orang yang menjadi perampok budiman, merampoki orang kaya kemudian hasilnya dibagikan kepada orang yang miskin. Apakah perbuatan ini juga termasuk berdana? Sebenarnya perbuatan ini dapat dimasukkan sebagai berdana tetapi berdana yang tidak sehat. Kalau ibarat bulu tangkis tadi cocknya bulunya cuma satu helai, bisa dipergunakan untuk bermain, tetapi bila dipukul akan muntir, tidak karuan dan membingungkan. Jadi orang yang berdana bingung dan si penerima dana juga bingung. Dana dengan cara sebagai perampok budiman akan menghasilkan buah yang kecil. Hal ini disebabkan karena barang yang didanakan didapat dari tindakan yang tidak benar. Akan jauh lebih baik bila kita berdana dengan barang yang bersih, barang yang kita dapatkan dari hasil keringat kita sendiri. Barang hasil perjuangan kita sendiri inilah yang memiliki nilai tinggi sekali. Oleh karena itu, umat hendaknya mempersiapkan persembahan dana Kathina ini dengan matang. mempersiapkan diri jauh sebelum bulan Kathina datang. Menyiapkan diri dengan menabung setiap hari sebagian penghasilannya sehingga bila telah tiba hari Kathina, tabungan dibuka dan dipersembahkan.
Ada sebuah cerita dari negara Buddhis, Thailand. Di Thailand para bhikkhu biasanya setiap pagi keluar vihara untuk memberi kesempatan umat berbuat baik dengan mempersembahkan dana makan. Kegiatan ini disebut Pindapatta. Pada waktu Pindapatta para bhikkhu berjalan perlahan sambil membawa mangkuk melewati tempat-tempat umum, kampung dan pasar. Pada suatu saat pernah terjadi seorang bhikkhu yang sedang berjalan membawa mangkuknya. Ia melihat di pinggir sebuah jembatan ada seorang pengemis yang sedang duduk. Pengemis itu memang setiap hari kerjanya duduk di situ. Mengemis. Namun dia tidak pernah mengemis kepada para bhikkhu. Suatu hari pengemis ini hendak mempersembahkan dana makan berupa nasi bungkus kepada bhikkhu tersebut. Si bhikkhu kaget dan berusaha menghindari si pengemis. Si bhikkhu berpikir bahwa si pengemis ini sudah sulit hidupnya karena itu tidak perlu mempersembahkan dana makan kepadanya. Akan tetapi, si pengemis malah meratap dan bertanya apakah ia sebagai pengemis miskin tidak diberi kesempatan berbuat baik? Mendengar kata-kata si pengemis, sang bhikkhu timbullah hati welas asihnya dan diterimalah persembahan dana makan dari si pengemis. Ternyata, si pengemis memang telah bertekad bahwa sebagian dari jumlah uang yang diterimanya pada pagi itu akan dipersembahkan kepada bhikkhu. Dana semacam ini dapat dikelompokkan sebagai dana yang bersih. Dana yang bersih ini bila diibaratkan dengan cock bulu tangkis tadi adalah bagaikan cock yang baru, mulus, timbangannya cocok, tidak oleng-oleng kemana-mana. Oleh karena dana yang diberikan ini betul-betul mulus, murni dari hasil dirinya sendiri.
Persyaratan kedua, barangnya baik. Barang baik adalah barang yang tidak rusak sehingga dapat dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Misalnya, kita sekarang bekerja keras karena mengetahui bahwa besok pagi akan mempersembahkan dana makan kepada para bhikkhu. Dengan hasil yang telah dikumpulkan, kita mempersiapkan makanan, tapi barangnya tidak baik, misalnya makanan yang sudah basi. Hal itu termasuk barang yang bersih tetapi bukan barang baik. Keadaan itu ibarat sebuah cock dengan timbangan baik, tetapi bulunya sudah kusut tidak karuan karena terkena banyak smash.
Selain barang bersih, barang baik, persyaratan ketiga adalah barang layak. Barang layak artinya adalah barang yang sesuai dengan si penerima. Pantas. Janganlah kita mempersembahkan sisir rambut kepada para bhikkhu. Sisir baru yang dibeli dengan uang hasil kerja dalam hal ini memang barang yang bersih dan baik tetapi tidak sesuai untuk dipergunakan para bhikkhu. Begitu pula dengan mempersembahkan dana sepatu kepada para bhikkhu, tidak layak, tidak pantas. Barang-barang semacam ini adalah barang yang tidak sesuai.
Oleh karena itu, sebelum kita mempersembahkan dana, hendaknya kita renungkan terlebih dahulu apakah barang yang kita persembahkan itu telah sesuai untuk para bhikkhu ataukah kurang sesuai. Sesungguhnya para bhikkhu hanya membutuhkan empat kebutuhan pokok saja yaitu sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Tidak ada yang lain. Sandang atau pakaian untuk para bhikkhu hanyalah satu set jubah. Pangan atau makanan yang diperlukan oleh para bhikkhu juga agak terbatas, terbatas waktu makannya. Para bhikkhu paling banyak sehari hanya makan dua kali saja sebelum tengah hari. Setelah jam 12 siang, para bhikkhu berpuasa, tidak makan lagi, minum pun terbatas jenisnya. Papan atau tempat tinggal untuk para bhikkhu biasanya berupa vihara atau untuk beberapa waktu dapat tinggal di rumah yang disediakan oleh umat. Obat-obatan untuk para bhikkhu biasanya juga telah banyak tersedia di vihara. Keadaan ini kadang membuat para umat berpikir, bagaimana umat dapat ber-pindapatta, padahal umat sering baru mempunyai waktu ke vihara setelah jam 12 siang. Kemudian umat juga melihat bahwa para bhikkhu telah memiliki cukup sandang, pangan, dan papan atau tempat tinggal, serta obat-obatan di vihara. Sedangkan kebutuhan para bhikkhu hanyalah empat saja, dan kebutuhan ini pun tidak selalu diperlukan setiap saat, kecuali kebutuhan pangan. Oleh karena itu, kemudian umat mewujudkan empat kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan dan obat-obatan ini dalam bentuk materi penggantinya atau dalam bentuk uang. Persembahan empat kebutuhan pokok dalam bentuk uang ini kemudian dimasukkan ke dalam amplop. Namun, walaupun pada waktu itu yang dipersembahkan adalah uang hendaknya dalam pikiran kita tetap merenungkan bahwa kita berdana empat kebutuhan pokok yaitu, sandang, pangan, papan dan obat-obatan seharga nilai nominal uang yang dipersembahkan. Dengan mengingat hukum sebab dan akibat bahwa sesuai dengan benih yang ditanam demikian pula buah yang akan dipetik, persembahan dana empat kebutuhan pokok itu akan dapat membuahkan kebahagiaan dalam bentuk kecukupan empat kebutuhan pokok dalam kehidupan kita. Sandangnya banyak macam, makanannya berlimpah ruah, tempat tinggalnya lebih dari satu, fasilitas obat-obatan lengkap, dapat berobat kemana-mana.
Berbicara tentang barang yang kita berikan kalau ibarat bulutangkis tadi adalah bolanya, maka disamping itu, bulutangkis juga perlu memperhatikan ketepatan waktu. Waktu memukul bola hendaknya dilakukan bila bola sudah datang, jangan bolanya masih dipegang musuh, kita sudah memukulnya, ketika bola datang kita malah diam tidak bergerak. Hal ini salah. Jadi, waktu atau saat memukul ini penting. Demikian pula, kapankah waktu kita berdana? Segera dilaksanakan, adalah merupakan persyaratan yang keempat. Apabila pikiran baik kita muncul, pada saat itu juga segera kerjakanlah. Jikalau kita menunda mengerjakan suatu perbuatan baik maka ada kemungkinan kita malahan membatalkan niat melakukan perbuatan baik itu, pikiran memang mudah berubah. Pikiran yang baik bila diproses secara lambat malahan hasilnya kita tidak jadi melakukan perbuatan apa-apa. Oleh karena itu, kapankah kita melakukan perbuatan baik? Pada saat terpikir, pada saat itu juga! Tidak perlu menunggu waktu lagi. Misalnya, kita akan berdana kepada para bhikkhu, tidak perlu menunggu nanti hari Kathina tahun depan saja. Kalau kita masih hidup. Kalau sudah meninggal? Hilanglah kesempatan kita berbuat baik. Kita juga tidak perlu menunggu jumlah bhikkhu yang hadir genap sembilan orang. Kalau bhikkhunya tidka datang semua? Atau kita harus menunggu kalau jumlah bhikkhunya mencapai empat orang karena jumlah itulah yang dapat disebut dengan Sangha. Itupun pendapat yang salah. Biarlah, seadanya bhikkhu saja. Justru bukan jumlah bhikkhu yang perlu kita pikirkan tetapi menjaga kondisi pikiran kita agar tetap memiliki niat baik itulah yang penting. Oleh karena itu, bila pikiran baik muncul, segera kerjakanlah.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul keinginan berdana tetapi jarang menjumpai bhikkhu. Kesulitan ini dapat diatasi dengan cara mempersiapkan di rumah sebuah kotak dana terkunci. Anak kunci kotak ini dapat dititipkan pada seorang bhikkhu atau di vihara, misalnya. Jadi begitu timbul pikiran baik segera masukkan uang ke kotak dana tadi. Perbuatan ini dapat kita ulang setiap saat. Bila telah dirasa cukup dan masanya pun telah tiba, bolehlah kotak dana tadi dibuka dan isinya diserahkan ke vihara. Beres. Oleh karena itu, dalam berbuat kebaikan, hendaknya barangnya baik, bersih, sesuai, kemudian waktunya pun hendaknya segera dilaksanakan.
Sebagai persyaratan kelima, persembahan hendaknya sering dilakukan. Artinya bukan berdana sekali seumur hidup dalam jumlah sebesar-besarnya kemudian tidak pernah melaksanakannya lagi. Itu keliru. Contohnya, seseorang melaksanakan pelepasan satwa sejumlah 1000 ekor burung tetapi kemudian seumur hidup sudah tidak pernah dilakukannya lagi. Sikap ini juga kurang tepat, hal ini berarti orang hanya mempunyai pikiran dan perbuatan baik sekali itu saja. Dalam pengertian agama Buddha kita hendaknya sering memberi kondisi pikiran dan perbuatan kita untuk melakukan kebaikan. Jadi, kalau memang kita telah bertekad dalam satu tahun akan membebaskan makhluk sebanyak seribu ekor, maka cobalah dibagi menjadi 20 kali melepas, misalnya; jadi setiap kali melepas sekitar 50 ekor. Dengan demikian, pikiran akan terkondisi untuk lebih sering berbuat baik. Jadi sering-seringlah untuk melakukan kebaikan seperti badminton yang tidak gampang turun bolanya karena para pemainnya trampil mengolah bola. Itu baru permainan menarik. Tapi apabila baru sekali pukul kemudian bolanya sudah jatuh, dipukul lagi, jatuh lagi. Sungguh permainan yang tidak menarik. Hal itu sama dengan orang yang setahun sekali baru berbuat baik, kurang besar manfaat bagi dirinya.
Apabila kita telah dapat melaksanakan dana secara rutin, maka hendaknya kita berdana dengan pikiran yang baik. Pikiran yang baik adalah persyaratan keenam. Diibaratkan pakaian orang bermain badminton harus bercelana pendek dan memakai kaos olah raga. Sulit dibayangkan bila seseorang hanya memakai salah satu dari pakaian perlengkapan bermain badminton tadi. Hanya pakai celana tanpa baju atau mengenakan baju tanpa celana…. Pikiran yang baik ini adalah pikiran bahagia pada saat kita mempersiapkan, mempersembahkan dan setelah mempersembahkan dana. Ada sebuah cerita tentang orang yang berdana. Hatinya senang ketika sedang mempersiapkan dana. Pada waktu mempersembahkan dana, ia masih merasa senang, namun setelah mempersembahkan dana timbullah penyesalan. Kondisi pikiran ini akan membuahkan kelahiran kembali sebagai anak orang kaya. Sejak kecil banyak harta dimilikinya. Kondisi kebahagian ini berlangsung sampai dengan ia dewasa. Akan tetapi, di masa tuanya ia jatuh miskin. Penderitaan di hari tua ini adalah buah penyesalannya setelah mempersembahkan dana tadi.
Sebaliknya, ada orang pada awalnya merasa tidak senang melakukan perbuatan baik. Pada waktu mempersembahkan dana juga memiliki pikiran yang kurang simpatik. Namun, setelah mempersembahkan dana ia merasakan kebahagiaan. Apakah buah karma pikiran semacam ini? Apabila ia terlahir kembali maka dimasa kecilnya ia menderita; pada usia dewasa ia juga masih menderita namun dihari tuanya ia akan berbahagia. Jadi kondiisi pikiran sebelum mempersembahkan dana mewakili keadaan kita di masa kecil dalam kehidupan yang akan datang. Kondisi pikiran ketika mempersembahkan dana mewakili usia dewasa. Kondisi pikiran setelah mempersembahkan dana mewakili usia tua. Oleh karena itu, sejak kecil, dewasa, sampai tua bahkan seumur hidup kita akan bahagia bila pada waktu mempersiapkan, mempersembahkan dan setelah mempersembahkan dana pikiran kita selalu berbahagia.
Kembali tentang perumpamaan permainan bulu tangkis. Dalam permainan ini dibutuhkan para pemain. Para pemain hendaknya telah mengetahui aturan mainnya. Dengan mengikuti aturan main bulu tangkis maka permainan akan tertib, tidak kacau. Begitu pula dalam berdana, si pemberi dan si penerima hendaknya mempunyai kemoralan sila yang sama, minimal Pancasila Buddhis. Oleh karena itu, masalah tentang perampok budiman di atas adalah seperti permainan bulu tangkis yang tidak seimbang pemainnya. Seperti orang yang pandai badminton melawan orang yang baru saja belajar. Pusing. Demikian pula perampok yang mempersembahkan hasil rampokannya untuk vihara.
Begitu pula bila seorang wanita tuna susila mempersembahkan dana. Dana yang dipersembahkan diperoleh dari perbuatan yang melanggar sila. Memang dana itu masih tetap dapat diterima, sebab bila tidak diterima, kapan lagi mereka memiliki kesempatan berbuat baik dan memperbaiki keadaan? Jadi walaupun orang yang diberi dan yang memberi ini tidak seimbang, tetapi tetap, tetap bisa membawa manfaat. Seperti orang main badminton yang satu mengenakan jas sedangkan pemain yang lainnya mengenakan pakaian olah raga. Juga tidak apa-apa, masih tetap bisa bermain, hanya saja tidak seimbang.
Oleh karena itu, sebaiknya sebelum berdana kita memohon sila terlebih dahulu, minimal Pancasila Buddhis. Walaupun di luar gerbang Vihara ini kita telah melanggar salah satu sila atau bahkan kelima-limanya, tetapi kalau di dalam kompleks Vihara hendaknya kemoralan kita diperbaiki. Caranya adalah dengan memohon tuntunan Pancasila Buddhis yang terdiri dari tekad untuk tidak melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, bohong dan mabuk-mabukkan. Dengan menjalankan tuntunan itu, minimal selama dalam kompleks Vihara kemoralan kita menjadi lebih baik. Sehingga antara fihak yang memberi dan yang diberi sudah seimbang kemoralannya. Hal ini akan memperbesar manfaat dan buah kebjikannya. Permainan badmintonnya akan enak dinikmati. Para umat memberi, para bhikkhu pun memberi. Para umat memberikan materi yang diperoleh dari bekerja keras dalam masyarakat. Sedangkan para bhikkhu memberikan buah kebajikan yang besar kepada para umat yaitu dengan cara pengolahan diri sesuai Ajaran Sang Buddha, pelaksanaan kemoralan dengan sebaik-baiknya. Sehingga para umat benar-benar seperti menanam di ladang yang subur. Dana dari umat akan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sepiring nasi yang dipersembahkan bukan hanya untuk main-main tetapi akan diolah oleh tubuh para bhikkhu menjadi tenaga untuk menjaga kesehatan, menyambung kehidupan dan sekaligus untuk tenaga membabarkan Buddha Dhamma. Dengan demikian, sepiring nasi yang dipersembahkan, nilainya bukan lagi harga nominal sepiring nasi sewaktu dibeli. Bukan. Sepiring nasi ini nilainya menjadi nilai Dhamma, karena telah diubah menjadi tenaga untuk membabarkan dan melestarikan Buddha Dhamma. Di dalam Dhammapada XXIV, 21 dikatakan bahwa Pemberian Kebenaran (Dhamma) mengalahkan segenap pemberian lainnya. Dengan sepiring nasi yang dipersembahkan kepada para bhikkhu sama dengan melaksanakan Dhammadana. Jenis dana yang paling tinggi untuk dipersembahkan. Dengan menerima persembahan kebutuhan sandang, pangan, papan dan obat-obatan, para bhikkhu dapat memanfaatkannya untuk pembabaran Dhamma di daerah-daerah lain. Dengan demikian, hasil setiap tetes keringat yang diberikan kepada para bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana. Buah Dhammadana ini juga akan dinikmati sendiri oleh si pemberi dalam kehidupan ini.
Itulah hal yang bisa dilakukan dalam permainan bulu tangkis perbuatan baik ini. Para umat memberikan dukungan moral, kemudian memberikan dukungan material, menunjang kehidupan para bhikkhu. Para bhikkhu pun memberikan dukungan mental kepada para umat dengan memberikan contoh moral serta berjuang dalam kebajikan. Para bhikkhu pun selalu merenungkan dan mengingatkan diri sendiri, bahwa para umat telah menunjang kehidupan para bhikkhu selama menjalani kehidupan kebhikkhuan. Jadi, bila seorang bhikkhu telah 23 tahun menjadi bhikkhu, berarti selama 23 tahun pula hidupnya disokong oleh umat. Padahal, para umat bukanlah sanak maupun keluarganya. Umat dengan rela dan ikhlas telah menyantuni kehidupan para bhikkhu sampai sekian lama. Apakah sekarang balas jasa para bhikkhu kepada umat? Seperti dalam permainan bulu tangkis tadi, bila seorang pemain setelah mendapatkan bola hendaknya segera mengembalikannya kepada pemain yang lain. Demikian pula dengan para bhikkhu, setelah menerima persembahan hendaknya mengembalikannya lagi kepada umat dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin perjuangan dalam Dhamma dan pelaksanaan peraturan kemoralan. Sehingga semakin banyak umat menanam kebajikan, semakin lebat pula buah kebajikan yang diterimanya.
Dalam Manggala Sutta disebutkan bahwa berdana dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama. Para umat Buddha yang melaksanakan Dhamma dengan mempersembahkan dana kepada Sangha dapat juga disebut sebagai Dhammadana. Sebab, apapun yang dipersembahkan kepada para bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana, menjadi sarana pembabaran Dhamma kepada orang lain sehingga buah lebatnya akan dapat dimiliki si pemberi.
Berdana dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama Saat ini akan dijelaskan tentang Sangha Dana, atau mempersembahkan dana kepada anggota Sangha diluar masa Kathina. Walaupun saat tersebut sudah tidak lagi di bulan Kathina tetapi bukan berarti perbuatan baik yang akan dilakukan kemudian menjadi kecil manfaatnya. Sebagai gambaran, kita akan melihat permainan bulu tangkis. Dalam permainan ini ada beberapa peraturan dasar yang harus kita patuhi. Ada garisnya, ada cocknya, ada pemainnya, ada raket, kemudian pakaiannya pun khusus. Kita tidak dapat membayangkan andaikata permainan bulu tangkis ini tidak mempergunakan cock melainkan mempergunakan bola bekel, misalnya. Bagaimana bila bolanya di-smash dan kena kepala lawan main, pasti benjol! Bola bekel untuk bulu tangkis tidak akan cocok. Atau mungkin kita bisa membayangkan bulu tangkis dengan mempergunakan cock tetapi bulunya tinggal satu helai. Jadi kalau dipukul muntir-muntir. Tidak mungkin dipakai. Kita juga bisa tahu bahwa para pemain bulu tangkis membutuhkan pakaian tertentu, celana pendek dan kaos. Bayangkan saja bila kita sekarang bermain bulu tangkis dengan mengenakan jas. Juga tidak mungkin, memang bukan pada tempatnya. Demikianlah ibarat bermain bulu tangkis demikian pula berdana. Kalau kita melihat permainan bulu tangkis ada yang memukul dan ada pula yang menerima, pukul lagi, terima lagi, konsep berdana juga sama, ada yang memberi dan ada yang menerima. Tapi si penerima tidak hanya menerima saja melainkan juga diumpan kembali, terima lagi-umpan lagi, demikian seterusnya. Karena seperti bulu tangkis yang membutuhkan beberapa aturan, maka berdanapun untuk mencapai nilai puncak, mencapai point tinggi, juga membutuhkan peraturan ataupun persyaratan. Persyaratan pertama, dalam mempersembahkan dana kita hendaknya juga memperhatikan barang yang hendak didanakan. Barang yang kita persembahkan hendaknya barang yang bersih. Pengertian ‘bersih’ disini bukan berarti barang yang steril, misalnya piring yang disterilkan. ‘Barang bersih’ artinya kita mempersembahkan barang yang didapatkan dari perbuatan atau usaha yang baik, bukan dari mencuri maupun merampok. Namun sering muncul pertanyaan bagaimana kalau ada orang yang menjadi perampok budiman, merampoki orang kaya kemudian hasilnya dibagikan kepada orang yang miskin. Apakah perbuatan ini juga termasuk berdana? Sebenarnya perbuatan ini dapat dimasukkan sebagai berdana tetapi berdana yang tidak sehat. Kalau ibarat bulu tangkis tadi cocknya bulunya cuma satu helai, bisa dipergunakan untuk bermain, tetapi bila dipukul akan muntir, tidak karuan dan membingungkan. Jadi orang yang berdana bingung dan si penerima dana juga bingung. Dana dengan cara sebagai perampok budiman akan menghasilkan buah yang kecil. Hal ini disebabkan karena barang yang didanakan didapat dari tindakan yang tidak benar. Akan jauh lebih baik bila kita berdana dengan barang yang bersih, barang yang kita dapatkan dari hasil keringat kita sendiri. Barang hasil perjuangan kita sendiri inilah yang memiliki nilai tinggi sekali. Oleh karena itu, umat hendaknya mempersiapkan persembahan dana Kathina ini dengan matang. mempersiapkan diri jauh sebelum bulan Kathina datang. Menyiapkan diri dengan menabung setiap hari sebagian penghasilannya sehingga bila telah tiba hari Kathina, tabungan dibuka dan dipersembahkan.
Ada sebuah cerita dari negara Buddhis, Thailand. Di Thailand para bhikkhu biasanya setiap pagi keluar vihara untuk memberi kesempatan umat berbuat baik dengan mempersembahkan dana makan. Kegiatan ini disebut Pindapatta. Pada waktu Pindapatta para bhikkhu berjalan perlahan sambil membawa mangkuk melewati tempat-tempat umum, kampung dan pasar. Pada suatu saat pernah terjadi seorang bhikkhu yang sedang berjalan membawa mangkuknya. Ia melihat di pinggir sebuah jembatan ada seorang pengemis yang sedang duduk. Pengemis itu memang setiap hari kerjanya duduk di situ. Mengemis. Namun dia tidak pernah mengemis kepada para bhikkhu. Suatu hari pengemis ini hendak mempersembahkan dana makan berupa nasi bungkus kepada bhikkhu tersebut. Si bhikkhu kaget dan berusaha menghindari si pengemis. Si bhikkhu berpikir bahwa si pengemis ini sudah sulit hidupnya karena itu tidak perlu mempersembahkan dana makan kepadanya. Akan tetapi, si pengemis malah meratap dan bertanya apakah ia sebagai pengemis miskin tidak diberi kesempatan berbuat baik? Mendengar kata-kata si pengemis, sang bhikkhu timbullah hati welas asihnya dan diterimalah persembahan dana makan dari si pengemis. Ternyata, si pengemis memang telah bertekad bahwa sebagian dari jumlah uang yang diterimanya pada pagi itu akan dipersembahkan kepada bhikkhu. Dana semacam ini dapat dikelompokkan sebagai dana yang bersih. Dana yang bersih ini bila diibaratkan dengan cock bulu tangkis tadi adalah bagaikan cock yang baru, mulus, timbangannya cocok, tidak oleng-oleng kemana-mana. Oleh karena dana yang diberikan ini betul-betul mulus, murni dari hasil dirinya sendiri.
Persyaratan kedua, barangnya baik. Barang baik adalah barang yang tidak rusak sehingga dapat dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Misalnya, kita sekarang bekerja keras karena mengetahui bahwa besok pagi akan mempersembahkan dana makan kepada para bhikkhu. Dengan hasil yang telah dikumpulkan, kita mempersiapkan makanan, tapi barangnya tidak baik, misalnya makanan yang sudah basi. Hal itu termasuk barang yang bersih tetapi bukan barang baik. Keadaan itu ibarat sebuah cock dengan timbangan baik, tetapi bulunya sudah kusut tidak karuan karena terkena banyak smash.
Selain barang bersih, barang baik, persyaratan ketiga adalah barang layak. Barang layak artinya adalah barang yang sesuai dengan si penerima. Pantas. Janganlah kita mempersembahkan sisir rambut kepada para bhikkhu. Sisir baru yang dibeli dengan uang hasil kerja dalam hal ini memang barang yang bersih dan baik tetapi tidak sesuai untuk dipergunakan para bhikkhu. Begitu pula dengan mempersembahkan dana sepatu kepada para bhikkhu, tidak layak, tidak pantas. Barang-barang semacam ini adalah barang yang tidak sesuai.
Oleh karena itu, sebelum kita mempersembahkan dana, hendaknya kita renungkan terlebih dahulu apakah barang yang kita persembahkan itu telah sesuai untuk para bhikkhu ataukah kurang sesuai. Sesungguhnya para bhikkhu hanya membutuhkan empat kebutuhan pokok saja yaitu sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Tidak ada yang lain. Sandang atau pakaian untuk para bhikkhu hanyalah satu set jubah. Pangan atau makanan yang diperlukan oleh para bhikkhu juga agak terbatas, terbatas waktu makannya. Para bhikkhu paling banyak sehari hanya makan dua kali saja sebelum tengah hari. Setelah jam 12 siang, para bhikkhu berpuasa, tidak makan lagi, minum pun terbatas jenisnya. Papan atau tempat tinggal untuk para bhikkhu biasanya berupa vihara atau untuk beberapa waktu dapat tinggal di rumah yang disediakan oleh umat. Obat-obatan untuk para bhikkhu biasanya juga telah banyak tersedia di vihara. Keadaan ini kadang membuat para umat berpikir, bagaimana umat dapat ber-pindapatta, padahal umat sering baru mempunyai waktu ke vihara setelah jam 12 siang. Kemudian umat juga melihat bahwa para bhikkhu telah memiliki cukup sandang, pangan, dan papan atau tempat tinggal, serta obat-obatan di vihara. Sedangkan kebutuhan para bhikkhu hanyalah empat saja, dan kebutuhan ini pun tidak selalu diperlukan setiap saat, kecuali kebutuhan pangan. Oleh karena itu, kemudian umat mewujudkan empat kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan dan obat-obatan ini dalam bentuk materi penggantinya atau dalam bentuk uang. Persembahan empat kebutuhan pokok dalam bentuk uang ini kemudian dimasukkan ke dalam amplop. Namun, walaupun pada waktu itu yang dipersembahkan adalah uang hendaknya dalam pikiran kita tetap merenungkan bahwa kita berdana empat kebutuhan pokok yaitu, sandang, pangan, papan dan obat-obatan seharga nilai nominal uang yang dipersembahkan. Dengan mengingat hukum sebab dan akibat bahwa sesuai dengan benih yang ditanam demikian pula buah yang akan dipetik, persembahan dana empat kebutuhan pokok itu akan dapat membuahkan kebahagiaan dalam bentuk kecukupan empat kebutuhan pokok dalam kehidupan kita. Sandangnya banyak macam, makanannya berlimpah ruah, tempat tinggalnya lebih dari satu, fasilitas obat-obatan lengkap, dapat berobat kemana-mana.
Berbicara tentang barang yang kita berikan kalau ibarat bulutangkis tadi adalah bolanya, maka disamping itu, bulutangkis juga perlu memperhatikan ketepatan waktu. Waktu memukul bola hendaknya dilakukan bila bola sudah datang, jangan bolanya masih dipegang musuh, kita sudah memukulnya, ketika bola datang kita malah diam tidak bergerak. Hal ini salah. Jadi, waktu atau saat memukul ini penting. Demikian pula, kapankah waktu kita berdana? Segera dilaksanakan, adalah merupakan persyaratan yang keempat. Apabila pikiran baik kita muncul, pada saat itu juga segera kerjakanlah. Jikalau kita menunda mengerjakan suatu perbuatan baik maka ada kemungkinan kita malahan membatalkan niat melakukan perbuatan baik itu, pikiran memang mudah berubah. Pikiran yang baik bila diproses secara lambat malahan hasilnya kita tidak jadi melakukan perbuatan apa-apa. Oleh karena itu, kapankah kita melakukan perbuatan baik? Pada saat terpikir, pada saat itu juga! Tidak perlu menunggu waktu lagi. Misalnya, kita akan berdana kepada para bhikkhu, tidak perlu menunggu nanti hari Kathina tahun depan saja. Kalau kita masih hidup. Kalau sudah meninggal? Hilanglah kesempatan kita berbuat baik. Kita juga tidak perlu menunggu jumlah bhikkhu yang hadir genap sembilan orang. Kalau bhikkhunya tidka datang semua? Atau kita harus menunggu kalau jumlah bhikkhunya mencapai empat orang karena jumlah itulah yang dapat disebut dengan Sangha. Itupun pendapat yang salah. Biarlah, seadanya bhikkhu saja. Justru bukan jumlah bhikkhu yang perlu kita pikirkan tetapi menjaga kondisi pikiran kita agar tetap memiliki niat baik itulah yang penting. Oleh karena itu, bila pikiran baik muncul, segera kerjakanlah.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul keinginan berdana tetapi jarang menjumpai bhikkhu. Kesulitan ini dapat diatasi dengan cara mempersiapkan di rumah sebuah kotak dana terkunci. Anak kunci kotak ini dapat dititipkan pada seorang bhikkhu atau di vihara, misalnya. Jadi begitu timbul pikiran baik segera masukkan uang ke kotak dana tadi. Perbuatan ini dapat kita ulang setiap saat. Bila telah dirasa cukup dan masanya pun telah tiba, bolehlah kotak dana tadi dibuka dan isinya diserahkan ke vihara. Beres. Oleh karena itu, dalam berbuat kebaikan, hendaknya barangnya baik, bersih, sesuai, kemudian waktunya pun hendaknya segera dilaksanakan.
Sebagai persyaratan kelima, persembahan hendaknya sering dilakukan. Artinya bukan berdana sekali seumur hidup dalam jumlah sebesar-besarnya kemudian tidak pernah melaksanakannya lagi. Itu keliru. Contohnya, seseorang melaksanakan pelepasan satwa sejumlah 1000 ekor burung tetapi kemudian seumur hidup sudah tidak pernah dilakukannya lagi. Sikap ini juga kurang tepat, hal ini berarti orang hanya mempunyai pikiran dan perbuatan baik sekali itu saja. Dalam pengertian agama Buddha kita hendaknya sering memberi kondisi pikiran dan perbuatan kita untuk melakukan kebaikan. Jadi, kalau memang kita telah bertekad dalam satu tahun akan membebaskan makhluk sebanyak seribu ekor, maka cobalah dibagi menjadi 20 kali melepas, misalnya; jadi setiap kali melepas sekitar 50 ekor. Dengan demikian, pikiran akan terkondisi untuk lebih sering berbuat baik. Jadi sering-seringlah untuk melakukan kebaikan seperti badminton yang tidak gampang turun bolanya karena para pemainnya trampil mengolah bola. Itu baru permainan menarik. Tapi apabila baru sekali pukul kemudian bolanya sudah jatuh, dipukul lagi, jatuh lagi. Sungguh permainan yang tidak menarik. Hal itu sama dengan orang yang setahun sekali baru berbuat baik, kurang besar manfaat bagi dirinya.
Apabila kita telah dapat melaksanakan dana secara rutin, maka hendaknya kita berdana dengan pikiran yang baik. Pikiran yang baik adalah persyaratan keenam. Diibaratkan pakaian orang bermain badminton harus bercelana pendek dan memakai kaos olah raga. Sulit dibayangkan bila seseorang hanya memakai salah satu dari pakaian perlengkapan bermain badminton tadi. Hanya pakai celana tanpa baju atau mengenakan baju tanpa celana…. Pikiran yang baik ini adalah pikiran bahagia pada saat kita mempersiapkan, mempersembahkan dan setelah mempersembahkan dana. Ada sebuah cerita tentang orang yang berdana. Hatinya senang ketika sedang mempersiapkan dana. Pada waktu mempersembahkan dana, ia masih merasa senang, namun setelah mempersembahkan dana timbullah penyesalan. Kondisi pikiran ini akan membuahkan kelahiran kembali sebagai anak orang kaya. Sejak kecil banyak harta dimilikinya. Kondisi kebahagian ini berlangsung sampai dengan ia dewasa. Akan tetapi, di masa tuanya ia jatuh miskin. Penderitaan di hari tua ini adalah buah penyesalannya setelah mempersembahkan dana tadi.
Sebaliknya, ada orang pada awalnya merasa tidak senang melakukan perbuatan baik. Pada waktu mempersembahkan dana juga memiliki pikiran yang kurang simpatik. Namun, setelah mempersembahkan dana ia merasakan kebahagiaan. Apakah buah karma pikiran semacam ini? Apabila ia terlahir kembali maka dimasa kecilnya ia menderita; pada usia dewasa ia juga masih menderita namun dihari tuanya ia akan berbahagia. Jadi kondiisi pikiran sebelum mempersembahkan dana mewakili keadaan kita di masa kecil dalam kehidupan yang akan datang. Kondisi pikiran ketika mempersembahkan dana mewakili usia dewasa. Kondisi pikiran setelah mempersembahkan dana mewakili usia tua. Oleh karena itu, sejak kecil, dewasa, sampai tua bahkan seumur hidup kita akan bahagia bila pada waktu mempersiapkan, mempersembahkan dan setelah mempersembahkan dana pikiran kita selalu berbahagia.
Kembali tentang perumpamaan permainan bulu tangkis. Dalam permainan ini dibutuhkan para pemain. Para pemain hendaknya telah mengetahui aturan mainnya. Dengan mengikuti aturan main bulu tangkis maka permainan akan tertib, tidak kacau. Begitu pula dalam berdana, si pemberi dan si penerima hendaknya mempunyai kemoralan sila yang sama, minimal Pancasila Buddhis. Oleh karena itu, masalah tentang perampok budiman di atas adalah seperti permainan bulu tangkis yang tidak seimbang pemainnya. Seperti orang yang pandai badminton melawan orang yang baru saja belajar. Pusing. Demikian pula perampok yang mempersembahkan hasil rampokannya untuk vihara.
Begitu pula bila seorang wanita tuna susila mempersembahkan dana. Dana yang dipersembahkan diperoleh dari perbuatan yang melanggar sila. Memang dana itu masih tetap dapat diterima, sebab bila tidak diterima, kapan lagi mereka memiliki kesempatan berbuat baik dan memperbaiki keadaan? Jadi walaupun orang yang diberi dan yang memberi ini tidak seimbang, tetapi tetap, tetap bisa membawa manfaat. Seperti orang main badminton yang satu mengenakan jas sedangkan pemain yang lainnya mengenakan pakaian olah raga. Juga tidak apa-apa, masih tetap bisa bermain, hanya saja tidak seimbang.
Oleh karena itu, sebaiknya sebelum berdana kita memohon sila terlebih dahulu, minimal Pancasila Buddhis. Walaupun di luar gerbang Vihara ini kita telah melanggar salah satu sila atau bahkan kelima-limanya, tetapi kalau di dalam kompleks Vihara hendaknya kemoralan kita diperbaiki. Caranya adalah dengan memohon tuntunan Pancasila Buddhis yang terdiri dari tekad untuk tidak melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, bohong dan mabuk-mabukkan. Dengan menjalankan tuntunan itu, minimal selama dalam kompleks Vihara kemoralan kita menjadi lebih baik. Sehingga antara fihak yang memberi dan yang diberi sudah seimbang kemoralannya. Hal ini akan memperbesar manfaat dan buah kebjikannya. Permainan badmintonnya akan enak dinikmati. Para umat memberi, para bhikkhu pun memberi. Para umat memberikan materi yang diperoleh dari bekerja keras dalam masyarakat. Sedangkan para bhikkhu memberikan buah kebajikan yang besar kepada para umat yaitu dengan cara pengolahan diri sesuai Ajaran Sang Buddha, pelaksanaan kemoralan dengan sebaik-baiknya. Sehingga para umat benar-benar seperti menanam di ladang yang subur. Dana dari umat akan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sepiring nasi yang dipersembahkan bukan hanya untuk main-main tetapi akan diolah oleh tubuh para bhikkhu menjadi tenaga untuk menjaga kesehatan, menyambung kehidupan dan sekaligus untuk tenaga membabarkan Buddha Dhamma. Dengan demikian, sepiring nasi yang dipersembahkan, nilainya bukan lagi harga nominal sepiring nasi sewaktu dibeli. Bukan. Sepiring nasi ini nilainya menjadi nilai Dhamma, karena telah diubah menjadi tenaga untuk membabarkan dan melestarikan Buddha Dhamma. Di dalam Dhammapada XXIV, 21 dikatakan bahwa Pemberian Kebenaran (Dhamma) mengalahkan segenap pemberian lainnya. Dengan sepiring nasi yang dipersembahkan kepada para bhikkhu sama dengan melaksanakan Dhammadana. Jenis dana yang paling tinggi untuk dipersembahkan. Dengan menerima persembahan kebutuhan sandang, pangan, papan dan obat-obatan, para bhikkhu dapat memanfaatkannya untuk pembabaran Dhamma di daerah-daerah lain. Dengan demikian, hasil setiap tetes keringat yang diberikan kepada para bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana. Buah Dhammadana ini juga akan dinikmati sendiri oleh si pemberi dalam kehidupan ini.
Itulah hal yang bisa dilakukan dalam permainan bulu tangkis perbuatan baik ini. Para umat memberikan dukungan moral, kemudian memberikan dukungan material, menunjang kehidupan para bhikkhu. Para bhikkhu pun memberikan dukungan mental kepada para umat dengan memberikan contoh moral serta berjuang dalam kebajikan. Para bhikkhu pun selalu merenungkan dan mengingatkan diri sendiri, bahwa para umat telah menunjang kehidupan para bhikkhu selama menjalani kehidupan kebhikkhuan. Jadi, bila seorang bhikkhu telah 23 tahun menjadi bhikkhu, berarti selama 23 tahun pula hidupnya disokong oleh umat. Padahal, para umat bukanlah sanak maupun keluarganya. Umat dengan rela dan ikhlas telah menyantuni kehidupan para bhikkhu sampai sekian lama. Apakah sekarang balas jasa para bhikkhu kepada umat? Seperti dalam permainan bulu tangkis tadi, bila seorang pemain setelah mendapatkan bola hendaknya segera mengembalikannya kepada pemain yang lain. Demikian pula dengan para bhikkhu, setelah menerima persembahan hendaknya mengembalikannya lagi kepada umat dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin perjuangan dalam Dhamma dan pelaksanaan peraturan kemoralan. Sehingga semakin banyak umat menanam kebajikan, semakin lebat pula buah kebajikan yang diterimanya.
Dalam Manggala Sutta disebutkan bahwa berdana dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama. Para umat Buddha yang melaksanakan Dhamma dengan mempersembahkan dana kepada Sangha dapat juga disebut sebagai Dhammadana. Sebab, apapun yang dipersembahkan kepada para bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana, menjadi sarana pembabaran Dhamma kepada orang lain sehingga buah lebatnya akan dapat dimiliki si pemberi.
[ Dikutip dari Website Samaggi-Phala WWW.samaggi-phala.or.id ]

Pencarian Populer :

  • kata bijak buddha tentang berdana
  • budha sangha makan hanya 2 kali

alamat blog tentang buddhis

Artikel Buddhis | Ajaran Buddha | Cerita Positif dan Infomasi ...


artikel buddhis, cerita agama buddha, kitab agama buddha, ajaran buddha, motivasi positif, cerita positif