Jumat, 30 November 2012

pengunduran diri


Pengunduran Diri yang Berintergritas

Dalam suasana dimana begitu banyak orang berlomba-lomba mencari jabatan, baik dalam Pemerintahan maupun di Lembaga-Lembaga Negara lainnya maka berita pengunduran diri bagaikan halilintar disiang hari bolong. Untuk meraih suatu jabatan orang siap mengorbankan uang dan kehormatannya bahkan tidak jarang juga menghalalkan segala cara, maka tidak heran ketika jabatan itu didapkarena tidak dapat memenuhi at maka pemengang jabatan akan memanfatkan kewenangannya semaksimal mungkin dan selama mungkin.
Berlawanan dengan sinyalemen di atas pengunduran diri Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama pada tanggal 02 Juni 2010 setelah menjabat selama delapan bulan merupakan berita yang mengejutkan bagi masyarakat kita, apalagi jika dikaitkan dengan alasan pengunduran diri sang Perdana Menteri yang berasal dari Partai Demokrat tersebut. Disamping alasan adanya skandal dana politik yang dilakukan dua anggota kabinet yang dinilainya telah mencemarkan nama baiknya, alasan utama Hatoyama mengundurkan diri ialah karena tidak dapat memenuhi janjinya dalam Pemilu. Perdana Menteri Jepang tersebut malu karena tidak dapat memindahkan pangkalan marinir Amerika Serikat dari Pulau Okinawa sebagaimana janjinya dalam pemilu. Bandingkan dengan janji politik pejabat publik kita yang walaupun tidak pernah dipenuhi namun tetap saja menjabat dan bahkan berkeinginan meneruskan jabatannya untuk periode berikutnya. Janji Gubernur DKI Jakarta sewaktu Pilkada misalnya untuk menciptakan Jakarta yang lebih baik karena merasa dirinya sebagai seorang ahli, namun kenyataannya setelah 3 (tiga) Tahun berkuasa tidak juga mampu mencitakan Jakarta yang lebih baik, namun tidak ada keinginan sang Gubernur untuk mengundurkan diri. Ada yang mencari pembenaran dengan menyatakan bahwa justru dengan tidak mengundurkan diri itulah, maka pejabat yang bersangkutan membuktikan tanggung jawabnya. Ada pula yang berdalilih bahwa pengunduran diri merupakan budaya “luar” khususnya budaya Jepang, sedangkan kita tidak mengenal budaya tersebut. Pokoknya macam-macam dalih disampaikan untuk mempertahankan jabatannya walaupun terasa mengada-ngada yang kadang juga tidak tahu malu.
Pengunduran diri yang cukup menghebohkan belakakngan ini juga menyangkut, pengunduran diri Komisioner KPU Andi Nurpati, yang bersangkutan mundur karena memilih menjadi pengurus partai Demokrat, yang merupakan “the rulling party” dan karena itu sesuai dengan undang-undang No. 22 Tahun 2007 Tentang KPU yang bersangkutan tidak dapat lagi memenuhi syarat menjadi Komisioner KPU. Pengunduran diri Andi Nurpati terasa kontrovesial karena berdasarkan UU KPU, seorang Komisioner tidak boleh mengundurkan diri kecuali sakit baik fisik maupun mental dan tidak lagi sanggup menjalankan fungsinya sebagai komisioner KPU. Walaupun ada ketentuan tersebut namun Andi Nurpati tetap “ngotot” mundur dari KPU dan memilih menjadi pengurus partai Demokrat yang sekarang di nahkodai oleh ketua umum baru Anas Urbaningrum. Public bertanya-tanya apa motifasi Andi Nurpati memilih menjadi pengurus Partai yang sedang berkuasa itu? Tidak kah yang bersangkutan tahu bahwa sebagai Komisioner KPU ia tidak boleh mundur? Apakah jabatan baru Andi Nurpati di partai Demokrat sebagai balas budi kepada dirinya karena partai Demokrat menang pemilu. Sungguh pengunduran diri Andi Nurpati senagai Komisioner KPU merupakan hal yang kontrovesial dan bukan suatu teladan yang baik. Tak heran jika Komisioner KPU lainya I Gusti Putu Artha dalam suatu wawancara disebuah televisi swasta menyatakan pengunduran diri Andi Nurpati tidaklah menguntungkan KPU.
Dalam keadaan sesak nafas akibat didera dengan berbagai pemberitaan yang tidak menyenangkan dari dalam negeri seperti berita tentang pornografi dari pemeran yang mirip artis Ariel, Luna Maya dan Cut Tari serta berita pengunduran diri Andi Nurpati yang kontrovesial. Public Indonesia mungkin dapat bernafas lega dengan pengunduran diri Todung Mulya Lubis sebagai anggota pembina partai Demokrat walaupun berita pengunduran diri Todung tidaklah seheboh dan sebesar berita Ariel Cs atau berita Andi Nurpati, namun berita pengunduran diri anggota Pansel KPK tersebut dari Partai bintang dengan dominasi biru cukup melegakan publik. Sang advokad senior dalam pernyataannya menyatakan ia lebih memilih menjadi anggota Pansel KPK karena menganggap pemberantasan korupsi harus didahulukan, dibandingkan agenda-agenda lainnya dan oleh karena itu tokoh Tranparansi Internasional ini mengundurkan diri dari pengangkatan dirinya sebagai anggota Pembina “the rulling party”. Penolakan Todung Mulya Lubis menjadi anggota Pembina partai demokrat merupakan teladan yang langkah bagi masyarakat kita yang pragmatis dan hedonis yang umumnya mengutamakan kepentingan sendiri dibandingkan kepentingan masyarakat atau Negara. Dengan menjadi anggota Pembina partai yang sedang berkuasa Todung Mulya Lubis sebetulnya dapat menikmati “nikmatnya kue kekuasaan” tersebut namun karena integritas tokoh hak asasi manusia ini ia lebih memilih menjadi anggota Pansel KPK yang hanya bersifat sementara/ad hoc. Untuk itu kita perlu menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya dan inilah salah satu bentuk dari pengunduran diri yang berintergritas.
Dari contoh diatas kita dapat menyingkirkan asumsi bahwa pengunduran diri yang berintergritas hanya milik bangsa Jepang, dan tidak pernah menjadi bagian dari bangsa kita. Pengunduran diri Todung Mulya Lubis dari anggota Pembina partai Demokrat membuktikan orang Indonesiapun dapat melakukan hal yang terpuji penuh intergritas sebagaimana yang dilakukan Yukio Hatoyama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar