Jumat, 31 Agustus 2012



Benam diri dalam khutbah perdana Buddha Gautama

“Guru Agung memberikan jalan kepada manusia untuk memadamkan hawa nafsu yang berkobar. 
Kita boleh punya keinginan tetapi yang berdasarkan kearifan…
agar tidak berkobar menjadi hawa nafsu.”
Minggu, 29 Juli 2012 04:00 WIB | M. Hari Atmoko
Seorang di antara ratusan biksu beranjak dari tempatnya bersila di samping kiri altar besar di barat Candi Mendut. Ia lalu berjalan perlahan dan berhenti sejenak tepat di depan patung Sang Buddha Gautama.
Biksu tua berumur 59 tahun itu, Sri Pannavaro Mahathera, mengatupkan kedua tangan di depan dadanya lalu membungkuk sebagai tanda hormat kepada Guru Agung Sang Buddha Gautama yang dilambangkan dalam bentuk patung berwarna kuning keemasan di tengah altar berhiaskan rangkaian bunga-bunga, 10 lilin aneka warna, dan lima penjor dari janur berwarna kuning.
Suasana takzim seakan telah meresap di sanubari ribuan umat Buddha berasal dari sejumlah tempat di Indonesia dan beberapa lainnya dari luar negeri seperti India, Belanda, dan Prancis yang berkumpul dengan bersila di atas karpet merah di depan tiga altar besar di sisi bagian barat, selatan, dan timur Candi Mendut.
Hari memang sudah petang dengan bulan berbentuk separo berhiaskan perarakan perlahan awan di langit Candi Mendut mengikuti sapuan irama angin. Ratusan lampion aneka warna menghias pagar yang mengelilingi pelataran Mendut.
Bante Pannavaro yang juga Ketua Sangga Theravada Indonesia itu naik ke kursi warna merah nan tampak gagah bagaikan singgasana di depan bagian kanan dari patung Sang Buddha Gautama. Kedua kakinya dilipat. Ia yang puluhan tahun lalu merintis perayaan Waisak di Candi Borobudur, Mendut, dan Pawon itu duduk bertimpuh dengan ribuan umat di hadapannya.
Satu lipatan kain warna kuning khas biksu Sangga Theravada yang dikenakan, dirapikannya dengan diletakkan di antara kedua lutut, lalu tangannya membetulkan bagian lain kain itu yang menyampir di pundak kanannya.
Kedua tanggannya kembali dikatupkan di depan dada, lalu ia pejamkan kedua mata, dan terlihat seakan ia mengatur pernapasan selama beberapa saat, sebelum ia memulai mendaraskan kata-kata bernas melalui khutbah Hari Asadha.
Suasana terasakan makin dalam balutan hening dibangun seluruh umat Buddha yang sedang merayakan Hari Asadha di pelataran Candi Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar tiga kilometer timur Candi Borobudur, Sabtu (28/7).
Perayaan Asadha 2556 Era Buddhis atau 2012 Masehi oleh umat Buddha untuk memperingati saat Sang Buddha membabarkan pertama kali dhamma atau yang sering disebut dengan Pemuataran Roda Dhamma, kepada lima pertapa yakni Kondanna, Assaji, Bhadiya, Vappa, dan Mahanama di Taman Rusa Isipatana, dekat Benares, India.
Asadha atau juga disebut Asalha berasal dari nama bulan keempat dalam penanggalan lunisolar (kalender yang disesuaikan dengan pergerakan bulan dan matahari), masa India kuno atau jatuh antara Juli-Agustus dalam penanggalan Masehi. Perayaan Asadha 2556 bertepatan dengan 2600 tahun pembabaran pertama kali tentang dhamma oleh Sang Buddha.
Kata “dhamma” berasal dari bahasa Pali, sedangkan dalam bahasa Sansekerta “dharma” yang artinya hukum atau ajaran dalam agama Buddha. Bante Pannavaro menyebutkan bahwa pembabaran perdana dhamma oleh Sidharta Gautama pada 26 abad lalu itu sebagai waktu kelahiran agama Buddha.
Rangkaian perayaan Asadha 2556 oleh umat Buddha Indonesia antara lain ditandai dengan puja bakti berupa penghormatan terhadap relik Sang Buddha di Candi Pawon sekitar satu kilometer timur Candi Borobudur. Selain itu, ribuan umat dengan masing-masing membawa bunga sedap malam bersama sekitar 170 biksu, samanera (calon biksu), dan atasilani (kaum perempuan pertapa) melanjutkan rangkaian perayaan itu dengan prosesi jalan kaki dari Candi Pawon menuju Candi Mendut.
Para biksu dengan iringan musik rohani buddhis kemudian berpradaksina atau berjalan mengelilingi pelataran Candi Mendut melewati tiga altar dan ribuan umat yang duduk bersila di depan masing-masing altar, sedangkan sejumlah biksu lainnya memasuki candi itu untuk membacakan paritta.
Mereka kemudian melanjutkan prosesi puja bakti selama beberapa saat berupa pembacaan doa yang dipimpin oleh Romo Pandita Sugiyanto di pelataran Candi Mendut.
“Terpujilah Sang Bagava, yang telah mencapai penerangan sempurna. Kami berlindung kepada Sang Bagava, Sang Bagava Guru Agung kami. Saat ini kami berkumpul di sini. Pada hari purnama di Bulan Asadha, untuk memperingati terputarnya roda dhamma. Muncul himpunan sinar mulia, lengkap dengan tirta. Dengan tangan sendiri kami lakukan persembahan antara lain pelita, dupa, bunga, dan benang kebajikan nyata Sang Bagava. Kami lakukan puja pada candi dengan persembahan sebagaimana kami haturkan kepada Sang Bagava yang telah lama pariwibana, yang tampak melalui sifat-sifat kebajikan. Puja kami demi kesejahteraan dan kebahagiaan kami semua, untuk selama-lamanya,” demikian penggalan doa puja bakti itu yang dipimpin Pandita Sugiyanto dan dilafalkan secara bersama-sama oleh umat Buddha.
Beberapa biksu secara bergantian kemudian memimpin pengucapan doa-doa yang ditirukan secara takzim oleh seluruh umat di pelataran Candi Mendut itu.
Pada kesempatan itu, dua pemudi dan seorang pemuda Buddhis membacakan kisah tentang pembabaran perdana ajaran Sang Buddha. Ajaran itu antara lain tentang delapan jalan untuk membuka batin manusia yakni pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.
Selain itu, pembabaran menyangkut penderitaan yang dialami manusia, penyebab penderitaan itu, dan jalan yang harus ditempuh manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan tersebut.
“Malam ini ibu, bapak, saudara-saudara, para biksu, samanera, atasilani, padita, ribuan umat Buddha duduk dengan hening, merenungkan dan mengagungkan kembali, seolah-olah ingatan kita pada 2600 tahun lalu, saat bulan purnama di Bulan Asadha, di kesunyian Taman Kijang Isipatana, Guru Agung membabarkan dhamma,” kata Bante Pannavaro saat berkhutbah dengan tampak kharismatis itu.
Ketika pembabaran pertama dhamma oleh Sang Buddha, katanya, 10 ribu tata surya bergetar dan berguncang, laksana alam pikiran manusia waktu itu dan mungkin saat ini juga bergetar dan berguncang memperingati Hari Asadha.
Ia menjelaskan, penderitaan manusia bukan datang dari luar dirinya, bukan pula suatu hukuman, akan tetapi konsekuensi atau akibat perbuatan manusia yang tidak baik. Penderitaan manusia bersumber persis di dalam dan dari dalam diri manusia sendiri.
“Sebab penderitaan itu karena maksud dan keinginan yang tidak terkendali, yang berkobar. Keinginan, hawa nafsu berkobar mendapat pemenuhan itu menjadi kelekatan yang sulit dilepaskan. Keinginan yang terpenuhi akan menuntut kembali lebih hebat. Kita kejar untuk dipenuhi kembali. Kita rasakan bahagia sebentar. Keinginan yang terpenuhi, bukan itu kebahagiaan. Ya itu kebahagiaan tetapi sepintas,” katanya.
Guru Agung Buddha Gautama, katanya, mengajarkan bahwa kebahagiaan terjadi apabila api hawa nafsu yang berkobar itu menjadi padam atau setidaknya mengecil. Saat itulah manusia merasakan ketenteraman.
“Memenuhi hawa nafsu tidak ada akhirnya, hawa nafsu mengakibatkan penderitaan. Tetapi mengecilkan dan bahkan memadamkan hawa nafsu memberi ketenteraman. Keserakahan yang berkurang, iri hati yang berkurang, dendam yang berkurang, benci yang berkurang, sudah memberi kebahagiaan,” katanya dalam khutbah dengan suara perlahan, irama teratur, dan bernada “berat”.
Ia mengemukakan tentang pentingnya pemanfaatkan kedudukan atau kekuasaan secara baik dan materi secara tepat untuk banyak orang. Selain itu, sikap jujur dan tidak korupsi harus dilakukan mereka agar terbangun hidup yang damai, karena kedudukan dan materi bukan penjamin kebahagiaan.
Orang bijaksana, katanya, menyadari bahwa hawa nafsu yang berkobar-kobar itu harus diredam atau setidaknya dikecilkan agar tergapai kehidupan yang tenteram dan damai itu. Hawa nafsu yang diumbar akan mendatangkan kehancuran hidup baik pribadi, masyarakat, lingkungan, maupun peradaban.
Guru Agung meminta umat untuk bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri karena hidup bukan misteri, sedangkan apa yang dialami manusia sebagai akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.
“Guru Agung memberikan jalan kepada manusia untuk memadamkan hawa nafsu yang berkobar. Kita boleh punya keinginan tetapi yang berdasarkan kearifan, harus selektif dengan keinginan agar tidak berkobar menjadi hawa nafsu,” katanya.
Ia menjelaskan, upaya memadamkan kobaran hawa nafsu itu melalui pengendalian diri, berpuasa. Ajaran mengendalikan diri juga berlaku di semua agama. Ajaran itu membuat hidup manusia menjadi damai dan harmoni baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
Perbaikan atas regulasi atau undang-undang, katanya, tidaklah sebagai hal yang cukup untuk kehidupan bersama, akan tetapi upaya itu harus disertai dengan penegakan pengendalian diri setiap orang.
“Lingkungan memberi pengaruh, masyarakat memberi pengaruh kepada kita, dan sebaliknya perilaku kita berpengaruh kepada orang lain, masyarakat, dan lingkungan,” katanya saat khutbah renungan Hari Asadha itu.
Selain itu, katanya, Guru Agung juga mengajarkan pentingnya meditasi sebagai jalan untuk membersihkan pikiran dari berbagai ikhwal yang buruk karena pikiran buruk menjadi akar kekotoran batin.
Ia menjelaskan, jalan meditasi bukan semata-mata untuk manusia mencari ketenangan, melainkan membangun kesadaran dan menguatkan manusia, serta menjadikan manusia makin awas atas pikirannya.
“Pengendalian diri tidak cukup tanpa meditasi. Meditasi mencabut kekotoran batin dan membersihkan pikiran. Pikiran yang bersih membebaskan manusia dari penderitaan. Dengan pikiran yang bersih, manusia dapat menjaga diri, menjaga keluarga, dan menjaga masyarakat. Dan semoga semua makhluk berbahagia,” katanya.
Renungan Hari Asadha di pelataran Candi Mendut oleh sang biksu senior tersebut, seakan begitu terasa membenamkan ajaran dhamma Buddha Gautama kepada batin terdalam setiap umat. (M029)
Editor: B Kunto Wibisono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar